Ketika hati mencoba berpaling.. namun takdir mempertemukan kita di waktu yang  berbeda. Bahkan status kita pun berubah.. 
Akankah takdir mempermainkan kita kembali? ataukah justru takdir menunjukkan kuasanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SUNFLOWSIST, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. NAYA MELAHIRKAN
Beberapa saat kemudian, Security yang sedang berpatroli melewati ruangan itu bergidik ngeri. Pasalnya ia mendengar rintihan suara meminta tolong namun tidak ada wujudnya. Entah itu manusia atau makhluk halus yang sengaja menggodanya.
Ia pun berlarian di sepanjang lorong rumah sakit. hingga akhirnya menabrak tubuh jangkung milik dokter Wira di ujung lorong tempat itu.
"Astaga ... Maaf pak dokter. Maaf.. " ucapnya dengan nafas terengah dan keringat membasahi wajahnya.
Dokter Wira menatap keheranan, pasalnya cuaca di luar begitu dingin tapi kenapa security itu malah berkeringat.
"Bapak sudah tau kan ini rumah sakit. Kenapa malah berlarian seperti anak kecil? Ini juga sudah malam. Jangan ganggu kenyamanan pasien disini." bentak dokter Wira dengan nada ketusnya.
"Maaf pak dokter.. Saya berlarian juga karena ketakutan. Bukan karena sengaja. Saya mendengar suara orang meminta tolong. Tapi saya lihat tidak ada siapapun disana. Itu mungkin hantu pak dokter. Mungkin hantunya ingin minta sesajen."
"Tidak ada hantu disini pak. Lagian bapak ini aneh - aneh saja hantunya minta sesajen. Paling itu akal - akalan bapak karena malas buat patroli. Tunjukkan dimana suara itu!!" ucap Wira dengan nada jengahnya.
Akhirnya mereka berdua pergi menuju ke tempat asalnya suara tersebut. Dengan penuh ketakutan, security itu bersembunyi di balik punggung dokter Wira. Tangannya berpegangan erat seperti anak kecil yang sedang merengek ketakutan.
Dokter Wira mencoba mendekat ke ruangan itu. Tapi nihil. Tidak ada suara apapun yang terdengar. Sunyi dan sepi. Ia pun berbalik hendak pergi dari tempat itu. Namun tanpa sengaja matanya melihat cairan berwarna merah keluar dari pintu ruangan itu.
Disentuhnya cairan itu untuk memastikan. Kental dan berbau anyir. "Darah? Tapi pintunya terkunci." ucapnya lirih dengan penuh kecurigaan.
"Pak cepat pecahkan jendela kaca ini." teriak dokter Wira dengan nada paniknya.
"Saya ambil kunci saja ya dok?"
"Huh... Kelamaan.. " Tanpa aba - aba dokter Wira memukul jendela kaca dengan kepalan tangannya. Sekali pukul, kaca itu pun pecah dan jatuh berserakan.
Prang... .. ....
Dengan cepat dokter Wira masuk ke dalam ruangan itu. Sebuah pemandangan yang sangat menyayat hati. Naya terkulai lemas tak berdaya seraya memegangi perutnya. Sedangkan darah mengalir di sela kakinya.
"Dokter... Selamatkan bayiku... "ucap Naya dengan suaranya yang lirih tak berdaya.
"Innaya... Innaya.. bangun Innaya... Apa yang terjadi padamu?" ucap dokter Wira dengan bibirnya yang bergetar menahan tangis. Tangannya perlahan menepuk nepuk pipi Naya yang sudah tidak sadarkan diri.
Sejenak kenangan lama itu seolah kembali lagi. Ketakutan akan kehilangan orang yang dicintai dalam hidupnya. Kenangan tentang istrinya yang telah meninggal bersama dengan janinnya karena kecelakaan.
"Bertahanlah.. Aku akan membawamu pergi dari sini."
Bergegas dokter Wira mengangkat tubuh Naya dan membawanya pergi dari ruangan itu. Ruangan terkutuk yang menjadi keganasan Laras menyiksa Naya.
"Cepat panggil dokter kandungan ke ruang operasi." teriak dokter Wira kepada security itu.
Hingga beberapa saat kemudian seorang dokter wanita dan 3 orang suster datang dan segera memberikan pertolongan kepada Naya.
Lampu ruang operasi telah menyala. Wira hanya mampu terduduk lemas seraya menatap pintu ruang operasi. Tangannya masih bergetar ketakutan. Bahkan jubah dokternya juga masih bersimbah darah milik Naya.
Ceklek..
Pintu ruang operasi terbuka. Seorang suster membawa sebuah kertas dengan logo rumah sakit itu. Wajah panik jelas terlihat disana.
" Dokter Wira, usia kandungan pasien masih 32 minggu, namun bayinya terpaksa kami keluarkan. Karena kondisinya sudah tidak memungkinkan lagi untuk bertahan. Ada kemungkinan bayi itu dipaksa lahir sebelum waktunya. Kami membutuhkan persetujuan dari pihak keluarga untuk penanganan lebih lanjut." ucap sang suster seraya menyodorkan lembaran kertas kepada dokter Wira.
Tanpa berpikir panjang, dokter Wira mengambil bulpen dalam sakunya dan membubuhkan tanda tangannya disana sebagai penanggung jawab dari pihak keluarga.
"Lakukan yang terbaik untuknya, usahakan ibu dan bayinya selamat suster." ucap dokter Wira dengan suaranya yang berat menahan luapan emosi yang bergejolak dalam dadanya.
Selang 4 jam kemudian, lampu ruang operasi telah padam. Perlahan pintu itu terbuka. Nampak brankar pasien keluar dari dalam sana.
Naya terbaring dengan begitu tenang dan wajahnya pucat bak kapas. Dan seorang bayi yang prematur tampak digendong oleh suster di belakangnya.
Namun dari semua keadaan itu, satu hal yang menyita perhatian dokter Wira. Rambut hitam Naya yang biasanya terurai panjang, kini berubah menjadi tak berbentuk. Seperti digunting dengan paksa.
Tatapan dokter Wira menajam. Tangannya mengepal kuat. "Sebenarnya apa yang terjadi kepadamu Nay? Siapa yang berani melakukan hal keji itu kepadamu?" monolognya dalam hati.
"Apa dia akan baik - baik saja?" tanya dokter Wira kepada dokter yang menangani Naya.
"Apa pasien ini mengalami depresi Wira? Atau dengan sengaja percobaan bunuh diri?"
"Apa maksud dokter?"
"Karena dia meminum obat peluruh kandungan dengan dosis yang tinggi. Tapi beruntung kamu membawanya tepat waktu, sehingga nyawa keduanya masih bisa diselamatkan. Namun sangat disayangkan bayinya prematur dan sangat lemah. Dan resiko jangka panjangnya, mungkin akan terjadi kerusakan alat reproduksi."
Dokter Wira terdiam sejenak. Mencoba mencerna ucapan dokter tersebut. " Hasil rekam medis menyatakan bahwa emosi pasien sudah terkontrol. Dan besok juga sudah diperbolehkan untuk pulang. Jadi tidak mungkin pasien sengaja untuk meminum obat itu. Kecuali .... Ada yang memaksanya untuk meminumnya." ucap dokter Wira dengan tegasnya.
"Sebaiknya kita fokus kondisi pasien terlebih dahulu. Dan jangan biarkan dia sendirian. Karena besar kemungkinannya akan terjadi hal yang lebih buruk lagi. Kita tidak bisa memprediksinya, Wira."
"Baiklah dokter. Terima kasih."
* * *
Pagi itu suasana rumah sakit begitu heboh. Berita tentang Naya yang ditemukan tak sadarkan diri dan meminum pil peluruh kandungan membuat gempar seisi rumah sakit. Pasalnya, Naya yang sudah dinyatakan sembuh dan akan pulang hari ini mendadak kritis. Karena hal itu, Suster Ira berlarian di sepanjang lorong itu dengan wajah paniknya. Langkahnya tergopoh memasuki ruangan dokter Laras.
"Dokter ... Dokter..." teriaknya sembari memasuki ruang praktek tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Suster Ira dimana sopan santunmu. Apa kau tidak lihat aku sedang ada pasien." Ucap dokter Laras dengan wajah tidak bersahabatnya.
"Maaf dokter.. Maaf.. "
Suster Ira pun beringsut mundur dan menunggu sampai proses pemeriksaan dokter Laras ke pasien selesai.
"Baiklah semuanya normal. Tinggal tunggu HPL saja. Air ketubannya juga masih cukup sampai HPL." ucap dokter Laras dengan senyum ramahnya.
"Terima kasih dokter."
"Sama - sama. Sehat - sehat ya sampai lahiran."
Sikap dokter Laras begitu sangat manis. Berbanding terbalik dengan sikapnya tadi malam yang begitu kejam menyiksa Naya.
Sorot mata dokter Laras berubah tajam. "Apa kau bosan hidup? Kenapa masuk keruanganku ketika ada pasien. Dimana etikamu?" bentaknya dengan nada tinggi.
"Maaf dokter, tadi pagi saya dengar kabar kalau wanita itu dan bayinya selamat. Dokter Wira dan security yang menemukan mereka."
"Brengsek.. Harusnya kemarin aku melenyapkan mereka. Tangguh juga dia dan bayinya bisa bertahan. Kau jangan terlihat panik. Biasa saja. Jangan membuat orang lain semakin curiga."
"Aku takut ketahuan dok, karirku pasti hancur setelah ini."
Dokter Laras hanya menjawab dengan senyuman smirknya. "Kau lupa siapa aku? Aku putri pemilik yayasan ini. Mudah bagiku untuk menghilangkan semua bukti. Sekarang pergilah dari sini. Jangan menemuiku dulu sampai keadaan aman."
Di sebuah ruangan bayi, tampak suster yang sedang sibuk dengan aktivitasnya. Kehadiran Bayi Naya, mampu membuat tempat itu lebih hidup. Karena biasanya tempat itu kosong dan tidak ada penghuninya.
Dibalik jendela kaca itu kedua mata Laras menatap dengan tatapan kebencian. Benci karena semua rencananya tidak berhasil. Namun ada sedikit kelegaan karena bayi Naya lahir prematur. Baginya masih ada kesempatannya untuk menyusun rencana lainnya.
"Apa kau kecewa rencanamu tidak berjalan dengan semestinya?" sebuah suara yang cukup mengejutkan dokter Laras.
"Apa maksudmu Wira? Aku tidak mengerti." ucap dokter Laras dengan sorot wajahnya yang datar.
"Jangan kira aku bodoh. Aku seorang psikolog Laras. Melihat gerak gerikmu saja aku sudah tau bahwa semua ini adalah ulahmu." ucap Dokter Wira dengan nada penuh penekanan.
"Oh ya... Buktikanlah Wira kalau semua ini memang perbuatanku. Aku siap menerima hukumannya Tapi kalau aku terbukti tidak bersalah. Bersiaplah kau akan menjadi milikku."
"Jangan berpikir untuk menyentuhnya lagi. Atau aku akan membuatmu menyesal seumur hidupmu." ancam dokter Wira kepada Laras. Sorot matanya penuh kebencian.
mereka perawat tapi sikapnya tidak mencerminkan pekerjaannya