NovelToon NovelToon
Istri Muda Paman

Istri Muda Paman

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Hasri Ani

Kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Mala, membuat gadis itu menjadi rebutan para saudara yang ingin menjadi orang tua asuhnya. Apa lagi yang mereka incar selain harta Pak Subagja? Salah satunya Erina, saudara dari ayahnya yang akhirnya berhasil menjadi orang tua asuh gadis itu. Dibalik sikap lembutnya, Erina tentu punya rencana jahat untuk menguasai seluruh harta peninggalan orang tua Mala. Namun keputusannya untuk membawa Mala bersamanya adalah kesalahan besar. Dan pada akhirnya, ia sendiri yang kehilangan harta paling berharga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

NGINTIP

"Ah... Enak banget, Honey!"

Kemala masih mematung, ingin pergi tapi penasaran. Jelas, itu bukan suara Om Tama. Suara itu makin terdengar kencang itu membuatnya lemas, buku kuduknya meremang. Ponsel di tangannya sampai terjatuh.

Duk.

Kemala refleks menutup mulutnya. Jantungnya berdegup kencang. Ia menahan napas. Telinganya kembali menajam. Tak ada suara lagi setelah itu, hanya senyap yang menegangkan.

Gadis itu menunduk, melihat ponselnya yang masih tergeletak di lantai tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia merunduk pelan dan mengambilnya, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling.

Lampu yang redup, menyisakan bayangan samar yang membuat suasana terasa mencekam. Ia menatap pintu kamar Tante Erina yang tertutup rapat.

Rasa penasaran mengalahkan sopan santunnya. Ia memegang handel pintu, berharap bisa mengintip apa yang terjadi di dalam sana.

'Jika benar Tante selingkuh dan membawa laki-laki lain, aku gak segan untuk menegurnya. Dan mungkin aku akan membatalkan untuk menjadikan dirinya sebagai orang tua asuh,' gumam Kemala.

Ceklek.

Pintu terbuka pelan. Kemala bersyukur karena pintu tersebut tidak dikunci. Meskipun takut jika Tante Erina mengetahui jika dirinya membuka kamarnya secara tidak sopan tanpa mengetuk terlebih dahulu, namun setidaknya Kemala bisa memergoki secara langsung apa yang terjadi di dalam sana. Jika benar ada laki-laki, pasti mereka bakal kelabakan.

Entah mengapa Kemala sangat yakin jika bukan Tama yang ada di dalam sana.

Keingintahuannya belum padam, bahkan kini justru makin membara.

Dada Kemala berdebar cepat. Ada rasa takut, tapi juga penasaran yang menjeratnya. Ia ingin tahu, harus tahu.

Kemala mencondongkan tubuh, mendorong sedikit pintu itu. Pintu bergeser pelan dengan suara krek yang hampir tak terdengar. Dari celah sempit itu, ia melongok masuk.

Pandangan pertama yang ia tangkap adalah kasur besar di tengah kamar. Tante Erina berbaring membelakangi pintu, tubuhnya menyelimuti setengah tubuhnya dengan selimut. Lampu tidur kecil di meja samping tempat tidur menyinari ruangan dengan cahaya kekuningan yang lembut, menciptakan bayangan yang menari di dinding.

Tak ada yang aneh. Tante Erina terlihat tenang dalam tidurnya. Rambutnya menjuntai ke bantal, tubuhnya meringkuk sedikit. Bahkan, ia masih mengenakan daster panjang berwarna biru tua yang siang tadi dipakainya. Kemala menggigit bibir bawahnya. Bingung. Ragu. Apa aku cuma berhalusinasi tadi? pikirnya. Tapi suara itu... sangat jelas. Sangat nyata. Ia bukan anak kecil yang tak tahu bedanya desa-han biasa dengan... yang seperti itu. Matanya menyusuri sekeliling ruangan. Tidak ada siapa pun selain Tante Erina. Kursi di dekat meja rias kosong. Tak ada baju berserakan. Tak ada sepatu asing. Semuanya tampak rapi. Wajar. Seolah memang tidak pernah terjadi apa-apa di kamar itu.

"Kemana Om Tama? Apa di kamar mandi ya? Duh, kok aku gak sopan gini sih?" gumamnya.

Dengan napas lega sekaligus janggal, Kemala perlahan menutup kembali pintu kamar itu. Ia menahan gagang pintu erat agar tidak berbunyi saat menutupnya. Begitu pintu tertutup rapat, ia memutar tubuhnya dan berjalan cepat menuju kamarnya sendiri.

Namun saat kakinya baru beberapa langkah, ia mendengar suara klik dari belakang. Suara kunci pintu. Kemala langsung berhenti. Menoleh cepat.

Pintu kamar Tante Erina sudah tertutup. Tapi kali ini... benar-benar terkunci dari dalam. Ia mendengarnya jelas. Napas Kemala tercekat. Ia tahu, Tante Erina tidak mungkin bangun lalu buru-buru mengunci pintu tanpa suara jika benar-benar tertidur.

Ada seseorang di dalam kamar itu. Kemala yakin.

"Aduh, bener kan? Pasti Om Tama. Duh, malu deh, ah, gimana kalau dia tahu kau tadi ngintip?"

Tangannya menggenggam ponsel erat-erat, keringat mulai merembes dari telapak tangannya. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan diri. Jangan sampai panik. Jangan sampai membuat suara. Ia harus kembali ke kamarnya. Sesampainya di kamar, Kemala mencoba memejamkan mata. Namun suara-suara itu terngiang lagi di telinganya. Kalimat vulgar yang terucap jelas. Bukan hanya sekali, tapi berulang.

Siapa yang ada di dalam kamar itu?

Kalau bukan Om Tama... lalu siapa?

"Apa mungkin memang Om Tama. Tapi kok suaranya lain ya? Aah, sudahlah...!"

Keesokan pagi. Mentari menyusup malu-malu di balik tirai tipis jendela ruang makan. Aroma nasi goreng mengepul, hangat, memancing selera. Di meja makan, Tante Erina duduk dengan senyum mengembang.

"Tante, kok cuman dua piring? Om Tama gak dibuatin?" tanya Kemala memancing pembicaraan. Ia masih penasaran.

"Om Tama, ehm... Dia baru berangkat subuh tadi," ucap Erina santai. Kemala terdiam, ia pun tersenyum. Ternyata benar, yang semalam itu adalah Om nya sendiri. 'Ya ampun, bisa-bisanya aku curiga sama Tante Erina. Tapi suara semalam, duh... Om Tama ternyata...' Kemala menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikiran kotor itu. Suara yang terdengar vulgar itu enggan untuk ia ingat kembali.

"Gimana, Mala? Betah di kampus yang baru?" tanya Erina ceria, menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulutnya.

Kemala yang sudah rapi dan siap berangkat ke kampus itu mengangguk. "Lumayan, Tante. Dosennya ramah. Aku juga udah punya teman baru."

"Syukurlah. Tante sempat takut kamu bakal kesulitan menyesuaikan diri," ujarnya, lalu terkekeh pelan. "Tapi kamu itu anak pintar dan berprestasi, pasti bisa."

Kemala tersenyum kecil.

"Om Tama gimana? Baik kan?" tanya Erina sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. "Jangan sungkan ya sama Om dan Tante. Om Tama itu baik, kok. Cuma memang orangnya... agak tertutup. Jarang bicara, tapi dia perhatian kalau kamu udah kenal."

Kemala mengangguk, obrolan pagi itu terasa begitu hangat dan santai.

"Tante mungkin bakal lebih sibuk mulai minggu depan," lanjut Erina, matanya menatap Kemala sekilas, lalu kembali fokus pada piringnya. "Sekarang kamu tinggal sama Tante, jadi selain memastikan semua kebutuhan kamu terpenuhi, Tante juga harus mengurus perkebunan dan peternakan yang ditinggalkan orang tuamu."

Nada bicaranya berubah sedikit masih lembut, tapi terselip ketegasan. "Nanti kalau kamu butuh apa-apa, tinggal bilang sama Tante. Pokoknya, anggap Tante ini orang tua kamu sendiri, ya. Tante dan Om Tama udah lama pengin punya anak, tapi belum dikasih rezeki. Sekarang kamu di sini, rumah ini terasa lebih... hidup."

Kemala menunduk. "Iya, Tante. Makasih ya..."

Tatapan Erina melunak. Ia menyentuh tangan Kemala dengan lembut. "Kamu gadis yang baik, Mala. Tante sayang kamu."

Kemala tersenyum, tapi matanya menyorot kosong. Ia ingin mempercayai itu semua. Ingin meyakinkan diri kalau apa yang ia alami hanyalah imajinasi karena duka yang belum sembuh. Tapi...

Gadis itu menarik napas panjang, memaksakan senyum. 'Aku harus mulai menyibukkan diri. Mungkin ikut kegiatan di kampus atau mulai menulis cerita lagi. Bismillah... semoga aku bisa menjalani hidup lebih baik di sini. Meski tanpa Ibu dan Bapak, aku masih punya Tante dan Om.' Setelah sarapan, Tante Erina sendiri yang mengantar Kemala hingga ke kampusnya. Mobil sedan hitam yang dikendarai Erina Keluar dari gerbang rumah. Sebelum jauh, Kemala sempat menoleh ke arah rumah, tepatnya kamar utama. Tirai lantai atas bergoyang... seolah ada yang memperhatikan dari balik sana.Tapi saat ia berkedip, jendela itu tertutup rapat.Kemala menepis bulu kuduk yang berdiri. Ia tak ingin menoleh lagi.

"Om Tama katanya udah pergi dari subuh. Itu artinya

Tak ada siapapun di rumah. Ah, lagi-lagi aku berhalusinasi. Pasti karena kebanyakan ngelamun."

Langit siang tampak cerah, begitu juga suasana kantin di kampus baru Kemala. Hiruk-pikuk suara siswa-siswi dari berbagai kelas terdengar memenuhi udara. Bau ayam geprek, mi ayam, bakso, bahkan jajanan mahal seperti steak di cafe kecil kampus itu menyeruak dari sudut-sudut kantin yang luas dan bersih itu. Di salah satu meja pojok yang agak tenang, duduk empat remaja perempuan dengan gaya yang berbeda-beda.

"Gue serius, Mala. Lo itu sultan, tapi gaya Lo kampungan," kata Sintya, cewek cantik dengan rambut ikal yang disemir cokelat keemasan, sambil mengaduk minuman boba miliknya. "Sayang banget ih, Lo nggak manfaatin kekayaan Lo," ucapnya asal nyeplos.

Yola, si tomboy berambut pendek dengan jaket denim yang selalu tergantung di pundaknya, mengangguk-angguk setuju. "Lo itu punya modal. Orang tua lo punya peternakan sama kebun teh, kan? Duit banyak, Lo bisa bersaing sama para mahasiswa sok kaya itu," ejeknya sambil nyengir.

Kiren, si kutu buku yang kacamata minusnya tebal bak dasar aquarium, mengangkat alis. "Secara statistik, penampilan memang memengaruhi penerimaan sosial. Tapi tetap aja, kenyamanan pribadi itu nomor satu."

Kemala hanya bisa tersenyum mendengar semua komentar itu. Ia merapikan poni nya, rambutnya di kepang dua. Benar-benar sangat kontras dengan mahasiswi lainnya yang modis.Ia melirik rok panjangnya, bajunya longgar, dan sepatu hitamnya polos, jauh dari gaya yang dikenakan mahasiswa lain di kampus itu.

Klaim

"Emangnya harus ya?" katanya pelan. "Aku nyaman kayak gini. Aku malah risih kalau harus ikut-ikutan gaya yang lain. Baju ketat, rok di atas lutut. Aku gak pede ah."

Yola tertawa kecil. "Lo itu unik banget. Justru karena lo beda, lo menarik tapi jadi bahan gunjingan cewek-cewek kelas lain. Tapi... gak ada salahnya lho, Mala. Gak harus ikut gaya mereka, cukup dirapiin dikit aja. Coba deh rambut lo jangan dikuncir mulu, diurai, terus perawatan. Lo tuh cantik banget sebenernya. Gue aja yang cewek suka liatnya. Lo punya inner beauty yang gak dimiliki cewek lain."

Kiren langsung nyengir dan menjulurkan lidah. "Ih, geli ah. Lo mulai kayak les- eh, ya gitulah."

"Lesbong?" Yola langsung mentoyor kepala Kiren pelan. "Dasar kutu buku, bicaranya formal banget sih. Gue masih normal keless!!"

Tawa pun meledak dari meja mereka. Sintya sampai menepuk-nepuk meja karena geli, sementara Kemala merasa hangat di tengah obrolan yang riuh itu. Sudah lama ia tak merasa senyaman ini, apalagi sejak kehilangan kedua orang tuanya. Meskipun ketiga teman barunya ini cerewet dan suka mengomentari penampilannya, mereka tetap lebih baik daripada siswa-siswi lain yang hanya bisa mencibir.

Kemala mengingat saat pertama masuk ke sekolah ini beberapa hari yang lalu. Bisik-bisik mulai terdengar sejak ia melangkah ke halaman sekolah. "Anak baru dari kampung ya?" "Astaga, sepatu model apaan tuh?" "Liat deh rok panjangnya, kayak mau ngaji." Semua komentar itu menusuk, tapi Kemala pura-pura tak peduli.

Ia tahu dirinya berbeda. Kampus ini penuh dengan anak pejabat, pengusaha, dan artis. Mereka berpakaian layaknya model majalah, bahkan yang cowok pun serba modis. Sementara dia? Hanya gadis kampung dari dataran tinggi yang baru saja kehilangan segalanya-kecuali warisan.

Kemala menyesap es teh manisnya pelan. Ia melirik teman-temannya satu per satu. Sintya yang ramai, Yola yang santai tapi peduli, dan Kiren yang pintar meski sering kaku. Meskipun ketiganya berbeda, mereka satu suara soal penampilannya.

Mereka bukan menjatuhkan, tapi justru mendorongnya untuk percaya diri.

'Apa iya aku harus mulai merawat diri dan sedikit ubah penampilan?' pikirnya.

Yola seolah bisa membaca pikirannya. "Mala, kalau lo mau, weekend ini ikut kita ke salon langganan Sintya. Gue sih paling creambath aja, beda sama Kiren dan Sintya yang selalu rutin perawatan."

"Terus udahannya kita belanja bareng, ya!" seru Sintya antusias. "Gak harus beli baju mahal, tapi yang pas sama bentuk tubuh dan nyaman Lo pake. Dan... please, jangan pakai sepatu sekolah yang kayak alas truk itu lagi. Gue nangis liatnya. Lo banyak duit tapi gak tahu fashion!" ledek Sintya namun tidak membuat Kemala tersinggung.timpal Kiren seperti dosen skincare dadakan.

sih." Kemala tertawa. "Ya ampun... kalian kompak banget

"Karena kita care sama Lo, Sayang. Kita gak mau ada mahasiswi yang diinjak-injak geng Sultan itu! Tunjukkin dong kalau Lo juga setara," jawab Sintya.

Kemala mengangguk kecil, matanya berbinar. Untuk pertama kalinya, ia merasa betul-betul diterima.

Meskipun dunia barunya ini penuh dengan perbedaan, setidaknya ia tak sendiri. Ia punya teman-teman yang mungkin cerewet, kadang menyebalkan, tapi tulus.

Bel istirahat kedua pun berbunyi. Mereka semua berdiri dari kursi dan bergegas kembali ke kelas. Tapi sebelum melangkah, Kemala sempat menoleh ke arah pintu kantin.

Di sana, berdiri sekelompok mahasiswa populer yang sedari tadi memperhatikan mereka. Salah satu dari cowok itu-berkulit putih, rambut klimis, matanya sipit dan jaket gaul yang dimodifikasi tersenyum sekilas ke arahnya. Kemala buru-buru menunduk dan menyusul teman-temannya.

Pukul dua siang. Matahari masih terik ketika mobil sedan hitam itu berhenti tepat di gerbang kampus itu. Dari balik kemudi, Erina melambaikan tangan ke arah Kemala yang berjalan keluar dari gerbang sekolah sambil menenteng tas. Gadis itu tampak lelah namun senang-hari ini.

"Naik, Mala," ucap Erina ramah, membukakan pintu

"Eh, jangan lupa SPF. Penting buat kesehatan kulit,"

Mobil dari dalam.

Kemala mengangguk kecil dan segera masuk ke dalam mobil. Wangi parfum menyeruak begitu ia duduk, khas wangi tubuh tantenya yang elegan. Perjalanan pulang diisi dengan obrolan ringan tentang sekolah, teman baru, dan makanan kantin.

Sesampainya di rumah, Erina segera menuju dapur.

Dengan cekatan, ia menghangatkan lauk dan menyiapkan sepiring nasi untuk Kemala. Gadis itu duduk di meja makan, memperhatikan gerak-gerik tantenya yang tampak begitu perhatian.

"Mala, makan siangnya udah siap ya. Jangan lupa dimakan. Tante mau pergi dulu, mungkin pulangnya agak malam," kata Erina sambil meletakkan piring di hadapan Kemala.

Kemala mendongak. "Loh, Tante mau ke mana?"

"Ada urusan sedikit. Sekalian mau cek kafe juga, tahu sendiri Om kamu sekarang lagi pulang kampung. Tapi kamu tenang aja, rumah ini rumah kamu juga. Mau ajak teman ke sini juga boleh."

Kemala tersenyum lembut. "Iya, Tante. Makasih ya."

Erina menghampiri, memeluk tubuh Kemala erat lalu mengecup kening gadis itu. Satu momen yang menghangatkan dada Kemala. Pelukan itu mengingatkannya pada almarhumah ibunya, Indira. Bahkan suara Erina, caranya bicara, dan wangi tubuhnya terasa sangat familiar.

"Oh iya," sambung Erina, "keran kamar mandi dapur rusak. Kalau mau mandi nanti, pakai kamar Tante aja, ya."

"Gak apa-apa, Tante?" tanya Kemala sungkan.

"Gak apa-apa atuh. Santai aja."

Kemala mengangguk. Dengan hati hangat, ia mengecup punggung tangan tantenya. Setelah Erina pergi, rumah itu kembali sunyi. Kemala makan siang dengan lahap, lalu bersantai di sofa sambil menonton TV. Sore harinya, ia menyapu rumah dan mencuci piring. Aktivitas yang membuat hatinya terasa ringan.

Namun di saat ia tengah mencuci piring, tiba-tiba gadis itu terdiam. Ia mengingat kata-kata Tante Erina yang baru disadarinya. "Eh, tadi Tante bilang Om Tama pulang kampung? Loh, bukannya pagi tadi Tante Erina bilang Om berangkat ke cafe sejak subuh. Kapan pulang kampungnya?"

Pikirannya kembali tertuju pada suara semalam. Jadi yang dia dengar itu suara Om Tama atau bukan?

Sebenarnya Om Tama ada di rumah atau tidak?

Kemala mengendikkan bahunya. Enggan berpikir aneh-aneh.

Menjelang pukul lima, ia memutuskan mandi karena badannya terasa gerah. Sesuai pesan tantenya, ia masuk ke kamar utama yang tampak lebih besar dan tertata rapi. Wangi lavender memenuhi udara. Ia membuka bathrobe bersih dari gantungan dan membawa pakaian ganti masuk ke kamar mandi.

Air hangat mengalir membasuh tubuhnya. Sabun wangi menyelimuti kulitnya, membuat tubuhnya terasa segar. Sejenak, ia menatap dirinya di cermin. Rambut basah, kulit bersih tanpa riasan. Ia menggigit bibir pelan,membatin ucapan teman-temannya tadi di sekolah tentang merawat penampilan.

'Harus banget ya berubah?' pikirnya, lalu menggeleng. Ia masih ingin menjadi dirinya sendiri. 'Tapi boleh juga deh dicoba. Ehm, apalagi cowok ganteng tadi Ahh, ya ampun, kenapa jadi kege'eran sih? Inget, Mala... Fokus kuliah dan fokus dengan tujuan awalmu!"

Setelah selesai, ia mengenakan bathrobe putih.

Rambutnya masih basah dan sebagian menempel di pipi. Ia membuka pintu kamar mandi perlahan dan keluar dengan langkah hati-hati.

Namun tiba-tiba-dua tangan kuat memeluknya dari samping.

"Aakkh...!"

Kemala menjerit tertahan. Detik berikutnya, tubuhnya menegang. Pria itu juga terkejut.

"Kemala?" suara bariton itu terdengar gugup. "Maaf! Om pikir kamu Erina..."

Tama berdiri beberapa langkah dari Kemala.

Wajahnya panik, sama seperti Kemala yang segera menunduk, berusaha menutupi tubuhnya yang hanya dibalut bathrobe.

"A-aku minta maaf juga, Om. Keran di kamar mandi satunya mati, Tante suruh aku mandi di kamarnya. Maaf, aku gak tahu kalau Om pulang," ucapnya gugup sambil menunduk.

Tama mengangguk cepat. "Iya, iya... tidak apa-apa, Om yang salah. Harusnya cek dulu tadi, bukan main peluk aja," ucapnya dengan wajah memerah, malu dan gugup. Suasana menjadi sangat canggung. Beberapa detik mereka hanya berdiri saling diam, udara seperti membeku.

"kalau begitu aku ke kamarku dulu, ya Om. Permisi..."

Kemala melangkah cepat hendak pergi, namun tanpa disangka-kakinya terpeleset di ubin yang licin karena air yang menetes dari rambut dan bathrobe-nya. Ia terjatuh ke arah depan.

Tama yang refleks, segera menangkap tubuh gadis itu. Bruk!

Kini tubuh Kemala bersandar pada dada pria itu.

Tanpa jarak, begitu dekat. Nafas keduanya tercekat.

Jantung berdetak tak beraturan.

Kemala mendongak, menatap wajah Om-nya. Mata mereka bertemu terkunci. Ada ketegangan yang menggantung di udara. Waktu seakan berhenti. Tak ada kata yang terucap. Hanya detak jantung dan napas yang saling bersahutan dalam hening sore yang memanas.

1
Towa_sama
Wah, cerita ini seru banget, bikin ketagihan!
✨HUEVITOSDEITACHI✨🍳
Ngakak banget!
im_soHaPpy
Datang ke platform ini cuma buat satu cerita, tapi ternyata ketemu harta karun!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!