Ashilla, seorang buruh pabrik, terpaksa menjadi tulang punggung keluarga demi menutupi utang judi ayahnya. Di balik penampilannya yang tangguh, ia menyimpan luka fisik dan batin akibat kekerasan di rumah. Setiap hari ia berjuang menembus shift pagi dan malam, panas maupun hujan, hanya untuk melihat gajinya habis tak bersisa.
Di tengah kelelahan, Ashilla menemukan sandaran pada Rifal, rekan kerjanya yang peduli. Namun, ia juga mencari pelarian di sebuah gudang kosong untuk merokok dan menyendiri—hal yang memicu konflik tajam dengan Reyhan, kakak laki-lakinya yang sudah mapan namun lepas tangan dari masalah keluarga.
Kisah ini mengikuti perjuangan Ashilla menentukan batas antara bakti dan harga diri. Ia harus memilih: terus menjadi korban demi kebahagiaan ibunya, atau berhenti menjadi "mesin uang" dan mencari kebebasannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MissSHalalalal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16 : MAP BERWARNA COKLAT
Matahari pagi menembus celah gorden sutra, menyinari noda darah kering di sprei yang belum sempat diganti. Tubuhku terasa kaku dan setiap gerakan kecil memicu rasa nyeri tajam di pinggangku. Aku terbangun dalam keadaan sendiri; sisi tempat tidur di sebelahku sudah dingin.
Saat aku tertatih keluar kamar, aku melihat Erlangga sedang duduk di meja makan panjang, menyesap kopi hitam sambil membaca berkas di tabletnya. Penampilannya sangat rapi dengan kemeja putih yang disetrika sempurna, seolah kejadian brutal semalam tidak pernah terjadi.
"Duduk," ucapnya tanpa mengangkat pandangan sedikit pun. Suaranya datar, tanpa emosi, bahkan lebih dingin dari malam sebelumnya.
Aku duduk dengan perlahan, menahan ringisan. Bi Sumi datang membawakan semangkuk bubur hangat, menatapku dengan tatapan iba yang justru membuatku merasa semakin kecil.
"Makan itu. Aku tidak butuh orang sakit di rumah ini," kata Erlangga dingin. Ia menggeser sebuah kartu kredit berwarna hitam di atas meja ke arahku. "Itu untuk kebutuhanmu. Pakaian, ponsel, atau apa pun. Aku tidak ingin melihatmu memakai baju usang itu lagi."
Aku menatap kartu itu dengan getir. "Kau pikir ini bisa mengobati rasa sakit semalam?"
Erlangga akhirnya mengangkat wajah. Matanya dingin, seperti dinding es yang tidak tertembus. "Jangan mulai lagi, Shilla. Apa yang terjadi semalam adalah transaksi yang sudah kita sepakati. Jika kau mengharapkan permintaan maaf atau pelukan hangat di pagi hari, kau berada di tempat yang salah."
Ia berdiri, merapikan jasnya, dan bersiap pergi. "Bi Sumi akan memberikan daftar aturan rumah ini. Jangan keluar tanpa seizinku, dan jangan pernah menyalakan rokok lagi di dalam ruangan. Aku pergi."
Tanpa menoleh sedikit pun, ia melangkah pergi, membiarkan bunyi sepatunya bergema di ruangan yang luas itu. Ia sengaja membangun tembok tinggi untuk menutupi rasa bersalah yang sempat kulihat di balkon semalam. Baginya, mengabaikanku adalah cara termudah untuk tetap merasa berkuasa.
Aku terdiam menatap buburku yang mulai mendingin. Di rumah mewah ini, aku bukan tamu, bukan kekasih, bahkan bukan manusia. Aku hanyalah hiasan mahal yang dibeli untuk memuaskan egonya, lalu diletakkan kembali di pojok ruangan saat ia sudah bosan.
Setelah suara pintu utama yang tertutup rapat bergema, apartemen itu kembali menjadi kuburan yang sunyi. Bi Sumi sibuk di area dapur yang jauh, memberiku kesempatan untuk bergerak.
Aku menyusuri lorong panjang yang dihiasi lukisan abstrak bernilai jutaan rupiah. Di ujung lorong, ada sebuah pintu kayu jati yang berbeda dari pintu lainnya. Tidak ada gagang pintu yang biasa, melainkan sebuah panel pemindai sidik jari. Namun, keberuntungan sepertinya sedang berpihak padaku; pintu itu tidak tertutup rapat. Mungkin Erlangga terlalu terburu-buru pergi hingga lupa memastikan pengunci otomatisnya bekerja.
Aku mendorong pintu itu perlahan.
Ini adalah ruang kerja Erlangga. Ruangannya jauh lebih maskulin, didominasi warna gelap dan aroma kulit serta tembakau mahal. Di atas meja kerjanya yang luas, terdapat beberapa bingkai foto yang diletakkan menghadap ke bawah.
Aku mendekat dan memberanikan diri membalik salah satu bingkai itu. Hatiku mencelos. Itu adalah foto Erlangga beberapa tahun lalu, tampak lebih muda dan... tersenyum. Di sampingnya ada seorang wanita cantik yang merangkul lengannya dengan mesra. Di balik foto itu, tertulis sebuah tanggal dan sebuah nama: “Erlangga & Sarah, Selamanya.”
Aku beralih ke tumpukan berkas di sudut meja. Di sana, mataku tertuju pada sebuah map berwarna cokelat
Map itu tidak memiliki label resmi, hanya sebuah inisial "S.A." yang ditulis tangan dengan tinta merah yang tajam. Dengan tangan gemetar, aku membuka talinya. Di dalamnya, aku tidak menemukan kontrak bisnis atau laporan saham, melainkan tumpukan kliping koran lama dan laporan medis yang sudah menguning.
Mataku terpaku pada tajuk berita utama di salah satu potongan koran: "Kecelakaan Beruntun di Tol Jagorawi: Calon Pengantin Tewas di Tempat."
Aku membaca baris demi baris dengan napas yang mulai memburu. Foto yang menyertai berita itu memperlihatkan mobil mewah yang hancur tak berbentuk—mobil yang sama dengan yang pernah kulihat di garasi bawah tanah rumah ini, tertutup kain penutup debu. Tanggal kecelakaan itu tepat satu hari sebelum tanggal yang tertulis di balik foto "Erlangga & Sarah" yang baru saja kulihat.
Namun, yang membuat jantungku seakan berhenti berdetak adalah lembaran terakhir di dalam map tersebut. Itu adalah sebuah profil latar belakang... profilku.
Ada foto-fotoku yang diambil secara diam-diam—saat aku bekerja di pabrik, saat aku berjalan sendirian di trotoar, bahkan saat aku merokok dan minum-minum di gudang bersama andra. Di bawah fotoku, Erlangga menuliskan catatan kaki dengan tulisan tangannya yang rapi namun dingin:
"Subjek memiliki struktur wajah dan golongan darah yang identik. Persentase kemiripan: 92%. Kandidat terbaik untuk pengganti."
Rasa mual seketika menggelegak di perutku. Kartu kredit hitam di meja makan tadi bukan sekadar alat belanja. Pakaian yang ia suruh beli, larangan merokok yang ia tekankan, dan kehadiran aku di sini... semuanya bukan karena dia menginginkanku.
Aku bukan sekadar "hiasan" untuk egonya. Aku adalah proyek rekonstruksi. Dia tidak sedang mencari istri atau simpanan; dia sedang mencoba menghidupkan kembali mayat dari masa lalunya menggunakan tubuhku sebagai kanvasnya.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Suara berat itu memecah kesunyian seperti dentum meriam. Aku tersentak hingga map di tanganku terjatuh, menyebarkan foto-foto kecelakaan dan profil diriku di atas lantai marmer.
Erlangga berdiri di ambang pintu. Jasnya sudah dilepas, lengan kemejanya digulung hingga siku. Wajahnya tidak lagi dingin; ada kemarahan yang liar dan murni yang memancar dari matanya. Dia tidak pergi ke kantor. Dia kembali karena menyadari kecerobohannya.
"Aku bertanya padamu, Shilla," ia melangkah maju, suaranya merendah hingga menjadi bisikan yang mengancam. "Siapa yang memberimu izin menyentuh barang-barangku?"
Aku mundur hingga punggungku menabrak meja jati yang keras. "Kau... kau tidak menginginkanku," suaraku bergetar, "Kau hanya menginginkan dia. Aku ini apa bagimu, Erlangga? Sebuah donor nyawa? Sebuah boneka?"
Erlangga berhenti tepat di depanku. Ia mencengkeram daguku dengan kasar, memaksaku menatap matanya yang kini dipenuhi kegelapan yang pekat.
"Kau?" Ia tertawa sinis, sebuah suara yang terdengar hancur di telingaku. "Kau hanyalah wadah kosong yang beruntung karena memiliki wajahnya. Jadi diam, pakai baju yang kupinta, dan jadilah dia. Jika kau melakukannya dengan baik, kau akan memiliki dunia. Jika tidak..."
Ia melirik ke arah foto kecelakaan di lantai.
"...kau tahu apa yang terjadi pada barang yang sudah rusak, bukan?"
***
Bersambung...
wah ga mati ini cuma pergi ma lelaki lain ,,