Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Ruang yang Tidak Seharusnya Ia Masuki"
Hari itu dimulai sama seperti hari-hari sebelumnya.
Alya bangun dengan kepala berat, tubuhnya seperti tidak sepenuhnya kembali dari tidur. Pandangannya berkunang sesaat saat ia duduk di tepi kasur. Malam tadi ia belajar terlalu lama, mencoba mengejar pelajaran yang tertinggal sambil menahan nyeri di lengannya yang belum benar-benar sembuh.
Ia menempelkan telapak tangan ke dahi. Panas.
“Aku baik-baik saja,” gumamnya pelan, seolah meyakinkan dirinya sendiri.
Ia tetap berangkat sekolah. Tetap berjalan cepat di koridor. Tetap menunduk saat bisikan-bisikan muncul. Hari itu ejekan tidak sebanyak biasanya, tapi kelelahan membuat semuanya terasa berlipat.
Jam terakhir pelajaran selesai. Alya hampir tidak ingat apa yang ditulisnya di buku. Huruf-hurufnya berantakan, seperti pikirannya.
Ia langsung menuju kafe tanpa pulang lebih dulu.
---
Kafe Senyawa sore itu cukup ramai.
Aroma kopi bercampur hujan yang baru reda. Alya mengenakan celemek, menyapa pelanggan dengan senyum tipis yang sudah menjadi kebiasaan, bukan perasaan.
Tangannya sedikit gemetar saat menuang air panas.
Mira memperhatikan dari kejauhan.
“Kamu kelihatan pucat,” katanya singkat.
“Aku nggak apa-apa,” jawab Alya refleks.
Kalimat itu terlalu sering keluar dari mulutnya, sampai ia sendiri hampir percaya.
Jam demi jam berlalu. Alya tetap berdiri. Tetap berjalan. Tetap bekerja.
Namun tubuhnya punya batas.
Saat mengangkat nampan berisi beberapa cangkir kopi, pandangannya tiba-tiba menggelap di tepi. Suara di sekitarnya seperti menjauh, teredam oleh dengungan aneh di telinganya.
“Alya—”
Itu suara Mira, tapi terdengar sangat jauh.
Langkahnya goyah.
Nampan terlepas dari tangannya.
Dan dunia runtuh.
---
Gelap.
Tidak ada rasa sakit. Tidak ada suara. Hanya kehampaan yang menelan kesadarannya perlahan.
---
Ketika Alya membuka mata, hal pertama yang ia rasakan adalah dingin yang halus—bukan dingin lantai, melainkan udara ruangan berpendingin. Lalu aroma yang asing. Bukan kopi. Bukan rumahnya yang pengap.
Ia mengerjap pelan.
Langit-langit di atasnya putih bersih, dengan lampu kristal menggantung, memantulkan cahaya lembut. Seprai yang menyentuh kulitnya halus, terlalu halus untuk kamar kos atau rumahnya.
Alya panik.
Ia langsung berusaha duduk, tapi kepalanya berdenyut hebat.
“Pelan.”
Suara itu tenang. Dalam. Tidak asing.
Alya menoleh.
Zavian.
Pria itu berdiri di sisi ruangan, mengenakan kemeja gelap dengan lengan digulung rapi. Tangannya bersedekap, ekspresinya datar tapi matanya tajam mengamati setiap gerak Alya.
“Apa… ini di mana?” suara Alya serak.
“Rumah saya,” jawab Zavian singkat.
Alya membeku.
Rumah.
Bukan klinik. Bukan rumah sakit. Rumah seorang pria yang—ia tahu dari bisikan dan aura di sekitarnya—bukan orang sembarangan.
Ia menunduk, menyadari pakaiannya sudah diganti. Baju lengan panjang polos, bersih. Tangannya refleks mencengkeram seprai.
“Aku… aku harus pulang,” katanya cepat, nada panik mulai naik.
“Kamu pingsan di kafe,” ujar Zavian tenang. “Dokter sudah datang. Kamu kurang tidur, kurang makan, dan tubuhmu penuh memar lama.”
Jantung Alya berdegup keras.
Ia menutup lengannya, seolah bekas-bekas itu bisa disembunyikan lagi.
“Aku baik-baik saja,” katanya, hampir berbisik.
Zavian tidak menjawab langsung. Ia mendekat, lalu duduk di kursi di samping ranjang, jaraknya cukup dekat untuk membuat Alya tidak nyaman, tapi tidak menyentuh.
“Alya,” katanya pelan. “Saya ingin tanya sesuatu.”
Alya menegang.
“Kenapa kamu pernah dijual di bar?”
Pertanyaan itu menghantamnya tanpa peringatan.
Napas Alya tersendat.
“Aku—aku tidak—”
“Dan kenapa,” lanjut Zavian, suaranya tetap datar, “setiap kali saya melihatmu, selalu ada luka baru?”
Alya menunduk dalam-dalam.
Tangannya bergetar.
Ia tidak pernah menceritakan itu pada siapa pun. Tidak pada Mira. Tidak pada guru. Tidak pada siapa pun. Dunia tidak pernah aman untuk kejujuran.
“Aku… tidak dijual,” katanya akhirnya. “Aku cuma… kerja.”
Zavian menghela napas pelan.
“Kamu masih di bawah umur saat itu.”
Alya terdiam.
Kebohongan itu runtuh begitu saja.
Ia menggigit bibirnya keras-keras, sampai rasa perih mengalihkan air mata yang mendesak.
“Ayahku,” katanya akhirnya, suaranya hampir tidak terdengar. “Dia butuh uang.”
Zavian tidak memotong.
“Dia bilang aku cuma… nemenin tamu. Nyanyi. Senyum. Tapi—” Alya terhenti, dadanya naik turun cepat. “Kalau aku nolak, dia marah. Kalau aku pulang tanpa uang, dia marah.”
Sunyi menyelimuti ruangan.
“Aku berhenti setelah itu,” lanjut Alya cepat, seolah takut disalahkan. "aku..aku takut, Setelah itu ada seseorang yang menawariku bekerja disebuah cafe dan aku menyetujui nya itu keluar dari tempat itu. Aku sekolah. Aku nggak mau ke sana lagi.”
Zavian menatapnya lama.
“Luka-luka itu?” tanyanya pelan.
Alya menggeleng kecil.
“Bukan dari sana. Itu… di rumah.”
Ia tidak menyebut kata *dipukul*. Tidak perlu. Ruangan itu seolah sudah tahu.
Zavian berdiri.
Langkahnya pelan, tapi Alya bisa merasakan ketegangan di udara. Pria itu berjalan ke jendela besar, menatap keluar ke kota yang mulai gelap.
“Kenapa kamu tidak melapor?” tanyanya tanpa menoleh.
Alya tertawa kecil—tawa kosong.
“Lapor ke siapa?” katanya pahit. “Polisi? Sekolah? Mereka cuma bilang itu urusan keluarga.”
Zavian terdiam.
“Kamu anak kecil,” katanya akhirnya. “Seharusnya kamu dilindungi.”
Alya mengangkat bahu lemah.
“Tidak semua orang dapat pilihan itu.”
Ia menunduk lagi, merasa bodoh karena sudah bicara terlalu banyak. Ia takut. Takut ini akan berakhir buruk. Takut pria di depannya berubah marah. Takut ia diusir begitu saja.
“Aku minta maaf kalau aku merepotkan,” katanya pelan. “Aku akan pulang sekarang.”
Ia berusaha turun dari ranjang, tapi Zavian sudah berdiri di depannya.
“Kamu tidak akan pulang malam ini.”
Alya membeku.
“Apa?”
“Dokter bilang kamu harus istirahat. Dan saya setuju.”
“Aku—ayahku—”
“Jika dia bertanya,” potong Zavian dingin, “bilang kamu menginap di rumah teman.”
Nada suaranya tidak memberi ruang bantahan.
Alya mengangguk pelan, meski dadanya penuh kecemasan.
Zavian menatapnya beberapa detik lagi, lalu berkata, “Kamu aman di sini.”
Kata *aman* terdengar asing. Berat. Seperti sesuatu yang tidak seharusnya ia miliki.
Malam itu, Alya makan makanan hangat yang tidak ia masak sendiri. Minum obat tanpa dimarahi. Tidur di ranjang empuk tanpa suara botol pecah atau teriakan.
Namun tidur tidak langsung datang.
Ia terbangun beberapa kali, jantungnya berdegup, takut semua ini hanya mimpi singkat sebelum kembali ke kenyataan.
Di ruang kerja, Zavian berdiri memandangi layar ponselnya.
Informasi tentang Alya perlahan masuk. Alamat. Riwayat sekolah. Nama ayahnya.
Wajah Zavian mengeras.
“Menjual anaknya sendiri,” gumamnya dingin.
Ia menatap pintu kamar tempat Alya tidur.
Gadis itu terlalu muda. Terlalu kurus. Terlalu terbiasa menahan segalanya sendiri.
Dan entah kenapa, itu membuat sesuatu di dalam dirinya bergerak—sesuatu yang jarang terjadi.
Keesokan paginya, Alya bangun dengan sinar matahari yang masuk lembut lewat tirai tipis. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, tubuhnya terasa sedikit lebih ringan.
Ia duduk perlahan.
Masih di tempat yang sama.
Bukan mimpi.
Pintu kamar diketuk pelan.
“Alya,” suara Zavian terdengar dari luar. “Sarapan sudah siap.”
Alya menarik napas dalam.
Ia tidak tahu apa yang menantinya hari ini. Tidak tahu kenapa pria seperti Zavian peduli. Tidak tahu apakah ini awal dari sesuatu yang lebih baik, atau hanya jeda singkat sebelum jatuh lagi.
Tapi satu hal ia tahu.
Hari itu, untuk pertama kalinya, Alya bangun tanpa harus langsung bertahan.
Dan mungkin—hanya mungkin—hidupnya sedang berada di persimpangan yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.