Shanum dan Wira Wiguna sudah menikah selama 6 tahun dan memiliki seorang anak bernama Mariska namun kebahagiaan mereka harus diuji saat Niar, mertua Shanum yang sangat benci padanya meminta Wira menikah lagi dengan Aura Sumargo, wanita pilihannya. Niar mau Wira menikah lagi karena ingin memiliki cucu laki-laki yang dapat meneruskan bisnis keluarga Wiguna. Saat itulah Shanum bertemu Rivat, pria yang membuatnya jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Bisa Memahami
Di tengah kekacauan lobi rumah sakit, Niar berdiri dengan senjata yang menempel di kepala Shanum, jari-jari Niar menarik paksa rambut Shanum. Hinaan dan makian terus keluar dari mulut Niar. Shanum hanya bisa meringis kesakitan, pasrah, dan memejamkan matanya, menunggu nasib buruk menimpanya.
Namun, ia tidak sendirian. Dari belakang, sebuah kekuatan tak terduga datang. Bu Roro yang melihat aksi Niar tidak tinggal diam. Meskipun usianya sudah lanjut, keberanian seorang ibu yang ingin melindungi seorang yang sudah seperti putrinya jauh lebih besar dari rasa takutnya. Dengan langkah cepat, Bu Roro maju. Tanpa ragu, ia langsung merebut senjata Niar.
"Lepaskan dia! Wanita gila!" seru Bu Roro, tangannya mencengkeram senjata Niar dengan erat. Niar terkejut, tidak menyangka akan mendapat perlawanan dari seorang wanita tua.
"Jangan ikut campur!" teriak Niar, mencoba menarik kembali pistolnya. Terjadilah tarik-menarik yang sengit. Bu Roro sekuat tenaga mendorong Niar, berusaha menjauhkan senjata dari kepala Shanum. Pada saat itu juga, ia dibantu Pak Pamuji. Pak Pamuji, yang wajahnya masih pucat karena terkejut, segera ikut membantu istrinya. Ia mendorong tubuh Niar dengan sekuat tenaga.
"Hentikan semua kegilaan ini, Bu Niar!" bentak Pak Pamuji, tangannya mencengkeram bahu Niar.
Perlawanan dari pasangan suami istri itu membuat Niar terdesak. Suasana gaduh terjadi di rumah sakit. Para perawat dan dokter yang semula bersembunyi kini mulai mendekat, berusaha melerai. Namun, mereka masih takut dengan senjata yang berada di tangan Niar.
Di tengah kekacauan itu, Mariska, yang menyaksikan semua dari kejauhan, tidak bisa tinggal diam. Ia melihat Niar menyakiti ibunya, dan itu membuatnya marah. Dengan mata yang dipenuhi air mata dan keberanian yang muncul dari rasa sayangnya pada sang ibu, Mariska ikut menggigit tangan Niar. Gigitan itu kuat, membuatnya Niar meringis kesakitan.
"Aduh! Lepaskan aku, anak setan!" teriak Niar, sambil mencoba melepaskan tangannya dari gigitan Mariska.
Perlawanan dari Bu Roro, Pak Pamuji, dan gigitan Mariska membuat Niar tidak fokus. Ia kehilangan keseimbangan. Senjata yang ia pegang terlepas dari genggamannya, dan jatuh ke lantai dengan suara keras. Suasana di rumah sakit itu makin tak terkendali dan heboh. Niar yang sudah dikepung oleh orang-orang dan tidak lagi memegang senjata, hanya bisa menggeram. Keberaniannya luntur, dan ia kini terlihat seperti wanita gila yang putus asa.
****
Di ruang inap yang tenang, Rivat terbaring di ranjang. Ia sudah melewati masa kritisnya dan berhasil selamat, meskipun belum siuman. Selang infus terpasang di lengannya, namun detak jantungnya stabil. Bu Roro dan Pak Pamuji nampak lega melihat kondisi putra mereka. Mereka duduk di sisi ranjang, tangan Bu Roro menggenggam erat tangan Rivat, sementara Pak Pamuji mengusap kepala putranya dengan sayang.
"Syukurlah, Nak. Kamu selamat," bisik Bu Roro, air mata haru menetes di pipinya. "Tuhan masih sayang sama kita."
Shanum duduk di kursi di seberang ranjang, memeluk Mariska erat. Ia menatap Rivat dengan tatapan penuh rasa terima kasih yang tak terhingga. Pria itu sudah mempertaruhkan nyawanya demi Shanum. Shanum memeluk Mariska erat, merasa bangga dengan keberanian putrinya. Mariska, meskipun masih kecil, sudah berani melawan Niar demi melindungi ibunya. Ia mencium kepala putrinya berulang kali.
"Anak Mama hebat sekali. Mama bangga," bisik Shanum, suaranya lembut. "Mama tidak tahu harus bagaimana kalau kamu tidak ada."
Mariska mendongak, matanya yang sembap menatap Shanum. "Riska tidak mau Nenek jahat menyakiti Mama," katanya polos.
Perkataan Mariska membuat Shanum semakin terharu. Ia menciumi kepala putrinya, menyalurkan semua rasa bangga dan cintanya. Di sisi lain, Niar yang tadinya membuat onar di lobi rumah sakit, sudah diseret paksa keluar dari rumah sakit oleh petugas keamanan. Setelah kejadian mengerikan itu, beberapa perawat dan saksi mata segera menelepon polisi. Niar dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan atas penyerangan yang ia lakukan.
Di ruangan itu, suasana penuh haru dan kelegaan. Bu Roro dan Pak Pamuji sesekali melirik ke arah Shanum, tatapan mereka dipenuhi rasa terima kasih. Mereka tahu, Rivat nekat melakukan itu karena ingin melindungi Shanum.
"Nak Shanum," ucap Pak Pamuji, suaranya parau. "Terima kasih sudah menjaga Rivat."
"Tidak, Pak. Saya yang seharusnya berterima kasih. Mas Rivat... dia sudah menyelamatkan nyawa saya," jawab Shanum, air matanya kembali mengalir.
Bu Roro menghampiri Shanum, mengusap punggungnya. "Sudah, jangan sedih. Yang penting, sekarang kalian semua aman. Rivat akan segera pulih."
Shanum mengangguk, mengusap air matanya. Ia menatap Rivat, Bu Roro, Pak Pamuji, dan Mariska. Di tengah badai yang melanda hidupnya, Shanum menemukan keluarga yang tulus, keluarga yang siap melindunginya.
****
Helmi sedang dalam sebuah pertemuan penting ketika ponselnya berdering. Ia mengabaikannya, namun panggilan berulang kali masuk, memaksanya untuk mengangkat. Sesaat setelah mendengar laporan dari petugas kepolisian, wajah Helmi yang semula tenang seketika menegang. Rapat itu segera ia bubarkan, dan dengan langkah cepat, ia bergegas menuju kantor polisi.
Di sana, ia menemukan Niar duduk di sebuah kursi, masih terlihat penuh amarah dan tidak menunjukkan sedikitpun penyesalan. Helmi menghampiri kepala polisi dan dengan tegas menggunakan kekuasaan dan wewenangnya untuk membebaskan Niar. Setelah proses yang singkat, Niar diizinkan pulang.
Di dalam mobil, suasana terasa tegang. Niar mengira Helmi akan membela dirinya, namun yang terjadi justru sebaliknya.
"Apa yang kau lakukan, Niar?! Kau membuat malu!" bentak Helmi, memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. "Menembak satpam di rumah sakit?! Apa kau sudah gila?!"
Niar menoleh, tidak terima. "Aku tidak gila! Aku hanya ingin menyingkirkan wanita sialan itu! Dia selalu lolos!"
Helmi mengepalkan tangan pada kemudi. Ia tak henti-hentinya memarahi Niar sepanjang jalan. "Kau tidak sadar?! Kau mempertaruhkan reputasi dan nyawa orang lain! Kita bisa masuk penjara! Keluarga kita bisa hancur karena ulahmu!"
"Ini semua salah Shanum! Dia yang membuatku seperti ini!" Niar balas berteriak, suaranya melengking. Niar tak terima disalahkan suaminya. "Dia kembali dan menggoda Wira! Dia yang membuat semua ini terjadi! Aku hanya ingin melindungi putraku!"
"Melindungi apa?! Kau hampir membunuhnya! Kau membayar orang untuk merusak rem mobilnya! Kau membuat hidupnya celaka, bukan melindunginya!" balas Helmi, suaranya menggelegar. Helmi tak menyangka istrinya bisa melakukan hal sejauh itu, dan ia tahu kebenaran di balik kecelakaan Wira. "Wanita itu tidak pernah mengusik kita. Kau yang terobsesi dengan hidupnya!"
Perdebatan sengit itu terus berlangsung hingga mereka tiba di rumah. Helmi keluar dari mobil, wajahnya terlihat sangat lelah dan penuh kekecewaan. Ia tidak tahu lagi bagaimana menghadapi istrinya yang sudah kehilangan akal sehatnya. Ia hanya bisa menggelengkan kepala, merasa sangat putus asa. Niar, di sisi lain, masuk ke dalam rumah dengan langkah terhentak, hatinya masih dipenuhi kebencian, merasa bahwa suaminya sendiri tidak memahaminya.