Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.
Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.
Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TDT 22
Langkah Aruna terdengar ringan namun ragu saat menyusuri lorong menuju ruang kerja. Pintu itu terbuka sedikit, dan dari celahnya ia bisa melihat Bagas duduk membelakangi jendela, dengan tangan saling menggenggam di atas meja. Ketika ia mendorong pelan, Bagas langsung menoleh.
"Masuklah," ucapnya pelan.
Aruna duduk di seberangnya, menjaga jarak. Hening beberapa saat, hanya denting jam dinding yang terdengar. Akhirnya Bagas membuka suara.
“Aku minta maaf... untuk semua ucapan dan sikapku waktu itu,” katanya pelan. “Aku nggak seharusnya mengatakan hal-hal yang melukai kamu. Terutama soal siapa kamu di rumah ini. Itu salah satu ucapan paling bodoh yang pernah aku keluarkan.”
Aruna mengangguk pelan. Matanya sedikit berkaca, namun ia menahan diri.
“Aku tahu kamu lelah, Mas tapi aku juga lelah,” ucapnya lirih. “Aku hanya ingin kamu ada. Setidaknya, punya waktu lebih untuk rumah ini, untuk kita. Aku nggak minta banyak. Aku cuma ingin kita mengolah semua ini sama-sama. Perkebunan ini... mari kita bangun bersama.”
Bagas terdiam. Pandangannya menunduk ke meja, seolah mencari jawaban dari serat kayunya.
“Aku ngerti, Na... Tapi pekerjaan ini,” ia berhenti sejenak, menarik napas panjang, “udah jadi bagian dari hidupku. Aku bisa stres kalau berhenti. Dan... aku nggak punya pengetahuan, apalagi ketertarikan, di bidang pertanian. Itu bukan duniaku.”
Aruna menggeleng pelan. “Tapi ini dunia kita sekarang, Mas. Bukan cuma aku. Aku nggak minta kamu jadi ahli tani atau tukang semprot hama. Aku cuma mau kamu hadir. Kita saling bantu. Saling ngerti.”
Sunyi kembali merayap, hanya tersisa dua orang yang mencoba menjangkau satu sama lain dari dua dunia yang berbeda.
Bagas akhirnya menatap istrinya dalam-dalam. “Kalau kamu bersedia sabar, mungkin aku bisa memikirkannya. Aku belum janji bisa langsung suka. Tapi kalau itu bisa menyelamatkan kita, aku akan coba.”
Aruna menghela napas, tidak sepenuhnya lega, tapi setidaknya ada jalan terbuka. Masih panjang, masih mungkin penuh luka, tapi untuk pertama kalinya mereka kembali bicara sebagai sepasang suami istri yang mencoba memperbaiki, bukan saling menyalahkan.
Setelah keheningan itu mencair perlahan, Bagas mengalihkan pembicaraan.
“Aku juga mau bilang soal kerja samaku dengan NGC,” katanya hati-hati. “Aku tahu ini mungkin bukan waktu yang tepat, tapi... aku nggak bisa membatalkannya, Na. Ini adalah hasil dari kerja keras bertahun-tahun. Bisa kerja bareng mereka itu prestasi penting buat aku.”
Aruna mendongak pelan, sorot matanya tidak sekeras tadi, tapi tetap menyiratkan lelah.
“Berapa lama kontrakmu dengan NGC?” tanyanya, suaranya nyaris berbisik.
“Delapan bulan,” jawab Bagas tanpa ragu. “Tapi aku bakal bolak-balik, nggak terus-terusan di luar kota. Aku bisa atur ritmenya.”
Aruna menggelengkan kepala sambil menunduk. “Delapan bulan bukan waktu yang sebentar, Mas...”
Melihatnya seperti itu, Bagas berdiri dan mendekatinya. Ia berlutut di hadapan Aruna, mencoba meraih tangannya.
“Aku ngerti ini semua bikin kamu makin kecewa. Tapi aku mohon, beri aku kesempatan ini,” ujarnya lembut. “Setelah proyek ini selesai, aku janji... aku bakal fokus di sini. Di rumah. Di kebun. Sama kamu.”
Aruna menatapnya, kali ini tanpa berkata-kata. Hanya ada luka yang belum sembuh dan harapan yang belum berani tumbuh lagi. Tapi di matanya, ada secercah cahaya kecil seolah masih ingin percaya... walau belum sepenuhnya yakin.
Aruna menarik napas dalam. Matanya menerawang ke luar jendela ruang kerja yang kini terasa lebih sempit dari biasanya. Di luar, angin meniup dedaunan pohon jati, menggeser bayang-bayang yang menggeliat pelan di halaman. Dalam diam itu, ia mengukur kembali luka-luka kecil yang masih segar di hatinya dari kata-kata Bagas, dari perlakuannya, dari jarak yang semakin hari makin melebar di antara mereka.
Namun ketika ia menatap mata suaminya yang kini terlihat lebih tenang, lebih rendah hati, ia tahu... masih ada bagian dalam dirinya yang belum benar-benar sanggup melepaskan.
"Aku nggak janji," ucap Aruna pelan, nyaris seperti menggumam. “Tapi aku akan coba percaya... sekali lagi.”
Bagas menggenggam tangan Aruna dengan lembut. Sorot matanya tampak lega, tapi tetap berhati-hati.
“Aku tahu aku banyak salah, Na. Tapi tolong beri aku waktu untuk menebusnya. Aku akan buktikan kalau semua ini... nggak sia-sia.”
Aruna hanya mengangguk pelan. Tak ada senyum di wajahnya, tapi juga tak ada penolakan. Keputusannya bukan karena keyakinan yang penuh, melainkan karena rasa sayang yang belum mati sepenuhnya dan mungkin, karena harapan kecil yang belum mau padam.
Bagas perlahan berdiri, lalu mengajak Aruna bangkit dan memeluknya. Pelukan itu tidak hangat seperti dulu, tapi cukup untuk memberi tahu keduanya... bahwa masih ada kesempatan, meski tak akan mudah.
Dan di luar jendela, angin berhenti berembus sejenak, seolah ikut menahan napas menyaksikan dua hati yang mencoba menyatu kembali, meski rapuh.
prosanya sip...mkin skbma novel mu thor