Jangan lupa follow Author yaaaaa!!!!!!!
Hidup Kayla yang awalnya begitu tenang berubah ketika Ayahnya menjodohkannya dengan seorang pria yang begitu dingin, cuek dan disiplin. Baru satu hari menikah, sang suami sudah pergi karena ada pekerjaan mendesak.
Setelah dua bulan, Kayla pun harus melaksanakan koas di kota kelahirannya, ketika Kayla tengah bertugas tiba-tiba ia bertemu dengan pria yang sudah sah menjadi suaminya tengah mengobati pasien di rumah sakit tempat Kayla bertugas.
Bagaimana kelanjutannya? Bagaimana reaksi Kayla ketika melihat suaminya adalah Dokter di rumah sakit tempatnya bertugas? Apa penjelasan yang diberikan sang suami pada Kayla?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon elaretaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Membuktikan
Keesokan harinya, suasana di Departemen Bedah Saraf terasa jauh lebih ringan bagi Kayla, namun sangat mencekam bagi seorang Karin. Kesalahan fatal di ruang operasi kemarin, ditambah penghinaan publik saat Arthur membantah hubungan mereka menjadi pukulan telak yang meruntuhkan harga diri Karin hingga ke titik terendah.
Di meja administrasi, Karin menatap surat pengunduran dirinya yang sudah ditandatangani. Matanya sembab, namun ia berusaha menutupi rasa malunya di balik kacamata hitam bermerek. Ia tahu, dengan pengaruh Ayahnya yang merupakan salah satu donatur besar di dunia medis, pindah ke rumah sakit lain di luar kota adalah hal yang sangat mudah.
"Dokter Karin benar-benar mengundurkan diri?" bisik Celine saat melihat Karin sedang mengemasi barang-barang pribadinya di ruang staf.
"Sepertinya begitu, aku dengar Dokter Karin minta dipindahkan ke rumah sakit milik keluarganya di kota B," sahut koas lain.
"Mungkin Dokter Karin sudah sadar, mendekati Dokter Arthur sama saja dengan menabrak dinding beton," ucap lainnya.
Kayla yang sedang berdiri tidak jauh dari sana hanya diam, ia menatap punggung Karin yang sedang berjalan menuju pintu keluar tanpa ada satu pun perawat yang mengantarnya, pemandangan yang sangat kontras dengan saat pertama kali ia datang dengan segala kesombongannya.
Setelah keadaan kondusif dan berita kepindahan Karin mereda, Kayla mengetuk pintu ruangan Arthur. Saat masuk, ia mendapati suaminya sedang menyesap kopi sambil menatap pemandangan kota dari balik jendela besarnya.
"Sudah dengar kabarnya?" tanya Arthur tanpa berbalik, namun ia tahu itu adalah Kayla dari suara langkah kakinya.
"Sudah, Mas. Dokter Karin benar-benar pergi," jawab Kayla sambil berjalan mendekat.
Arthur berbalik, wajahnya tampak jauh lebih rileks. "Baguslah kalau begitu, lingkungan kerjaku harus bersih dari orang-orang yang hanya mengandalkan koneksi tapi ceroboh dalam tindakan. Sekarang, rumah sakit ini kembali tenang," ucap Arthur.
Di tengah obrolan mereka, tiba-tiba suara alarm code blue yang melengking memecah keheningan ruangan Arthur dan suara pengeras suara rumah sakit bergema berulang kali.
Wajah Arthur yang semula rileks seketika berubah tegang. "Ayo kita pergi," ucap Arthur.
Suasana di UGD berubah menjadi medan perang dalam hitungan menit, suara sirine ambulans saling bersahutan di luar, sementara puluhan korban dengan berbagai tingkat trauma mulai membanjiri lobi medis, bau besi dari darah dan teriakan kesakitan memenuhi udara.
Arthur langsung terjun ke area merah, menangani pasien dengan cedera kepala berat. Sebagai Dokter, ia tidak bisa lagi memantau Kayla karena fokusnya terbagi sepenuhnya pada nyawa-nyawa yang kritis. "Cari residen lain untuk membantu! Kita kekurangan tangan!" teriak Arthur di tengah hiruk-pikuk.
Kayla berdiri di tengah kekacauan itu, untuk sesaat, jantungnya berdegup kencang melihat banyaknya korban. Namun, ia teringat semua bimbingan keras Arthur setiap malam di apartemen, ini adalah kesempatan bagus bagi Kayla membuktikan kemampuannya pada orang-orang yang selalu meremehkannya.
Kayla menarik napas dalam-dalam, mengikat rambutnya dengan kencang dan memakai sarung tangan lateksnya.
"Dokter Muda! Bantu di bed 7! Pasien trauma dada dan kesadaran menurun!" teriak seorang perawat senior yang panik.
Kayla berlari ke arah pasien tersebut, seorang pria paruh baya yang napasnya tersengal-sengal. "Celine, bantu aku! Siapkan set intubasi dan monitor!" perintah Kayla dengan suara yang stabil dan penuh wibawa sangat mirip dengan nada bicara Arthur saat di ruang operasi.
"Tapi Kay, ini kasus besar, harusnya ada residen atau...," Celine tidak dapat melanjutkan ucapannya karena Kayla bersuara.
"Tidak ada waktu, Celine! Pasien ini akan gagal napas dalam dua menit!" potong Kayla tegas.
Kayla melakukan pemeriksaan fisik dengan sangat cepat namun teliti, ia mendeteksi adanya udara yang terjebak di rongga paru dan menekan jantung, dengan tangan yang tidak gemetar sedikit pun, Kayla mengambil jarum besar untuk melakukan dekompresi darurat di sela iga pasien.
Suara udara yang keluar dari dada pasien terdengar, diikuti dengan grafik monitor jantung yang mulai stabil. "Bagus, pasang selang dada sekarang!" perintah Kayla lagi kepada perawat.
Dari kejauhan, di sela-sela ia menangani pasiennya sendiri, Arthur sempat melirik ke arah bed 7 dan melihat Kayla yang sedang memberikan instruksi dengan tenang, menangani komplikasi yang bahkan biasanya membuat dokter muda lain menangis ketakutan. Ada rasa bangga yang luar biasa menyeruak di dada Arthur, namun ia tetap menjaga jarak profesionalnya.
Seorang Dokter lain yang lewat melihat tindakan Kayla dan bergumam, "Siapa koas itu? Tindakannya sangat cepat dan tepat," tanyanya.
Kayla tidak mendengar pujian itu, fokusnya hanya satu yaitu menyelamatkan nyawa di hadapannya. Hari ini, di tengah darah dan keringat, Kayla membuktikan kepada dunia terutama pada dirinya sendiri bahwa dia bukan sekadar koas yang tidak bisa apa-apa dan berlindung dibawah bimbingan Arthur, tapi ia adalah seorang calon dokter yang sangat kompeten, yang kemampuannya tidak dibeli dengan koneksi, melainkan ditempa dengan kerja keras.
Setelah berjam-jam berjibaku dengan maut, suasana di UGD perlahan mulai terkendali. Pasien-pasien kritis telah dipindahkan ke ruang operasi atau ICU, meninggalkan aroma antiseptik yang tajam dan sisa-sisa perban yang berserakan.
Kayla melangkah mundur dari bed 7 setelah memastikan pasiennya stabil dan siap dipindahkan, napasnya masih menderu, butiran keringat membasahi keningnya dan ada bercak darah di jas putihnya. Namun, sorot matanya tidak menunjukkan kelelahan yang ada justru binar kepuasan yang mendalam karena berhasil menyelamatkan satu nyawa dengan tangannya sendiri.
"Kay, kamu hebat banget tadi. Aku sampai gemetar lihat kamu tusuk jarum itu, tapi kamu tenang banget. Sumpah, kamu kayak versi perempuannya Dokter Arthur," bisik Celine yang berdiri di sampingnya dengan napas tersengal.
Kayla hanya tersenyum tipis, mencoba mengatur detak jantungnya. "Aku cuma ingat apa yang dipelajari, Celine. Kalau ragu sedetik saja, pasien itu nggak akan selamat," ucap Kayla.
'Mulai sekarang, aku harus setara dengan Mas Arthur agar ketika orang-orang tahu tentang hubunganku dan Mas Arthur, mereka tidak menganggapku rendah dan menganggap aku pantas bersanding dengan Mas Arthur,' batin Kayla.
Saat mereka sedang merapikan peralatan, Dokter Hendra, seorang Dokter spesialis bedah umum senior yang tadi sempat memperhatikan Kayla menghampiri mereka.
"Dokter Muda Kayla," panggil Dokter Hendra dengan nada ramah yang jarang ia tunjukkan pada koas.
Kayla segera berdiri tegak dan membungkuk hormat, "Iya, Dok," balas Kayla.
"Tindakan dekompresi jarum yang kamu lakukan tadi sangat impresif, penempatannya akurat dan kamu berani mengambil keputusan di saat residen sedang kewalahan, pertahankan ya karena itulah yang dibutuhkan seorang Dokter," puji Dokter Hendra sambil menepuk bahu Kayla pelan sebelum berlalu.
Beberapa perawat yang tadi sempat meremehkan Kayla karena kasus yang pernah terjadi pada Kayla, kini menatap Kayla dengan pandangan penuh rasa hormat.
.
.
.
Bersambung.....