NovelToon NovelToon
Keturunan Pendekar

Keturunan Pendekar

Status: sedang berlangsung
Genre:Ilmu Kanuragan / Anak Yatim Piatu / Dendam Kesumat / Balas Dendam
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: bang deni

perjalanan seorang remaja yang mencari ilmu kanuragan untuk membalaskan dendam karena kematian kedua orang tuanya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bang deni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Serangan Diam Diam

Fajar baru saja menyingsing, menyemburkan warna jingga kemerahan di ufuk timur Gunung Kencana. Di mulut gua yang tersembunyi, Raka dan Anggun berdiri bersisian, menatap lembah di bawah mereka di mana kepulauan asap tipis membumbung dari pemukiman Desa Galian. Suasana yang tampak tenang dari kejauhan itu sebenarnya menyimpan penderitaan yang mendalam bagi para penduduknya.

"Apakah kau sudah siap, Kak?" tanya Raka sambil mengencangkan ikatan pelindung lengannya. Ia kini membawa sebuah pedang panjang yang ia ambil dari salah satu anak buah Suro Gento yang ia kalahkan, meskipun ia lebih sering mengandalkan tangan kosong dan tenaga dalamnya yang meledak-ledak.

Anggun mengangguk pelan. Ia mengenakan pakaian milik Arya, karena buntalan pakaian miliknya hilang. Luka di bahunya sudah mengering sepenuhnya, dan matanya kini memancarkan ketenangan yang mematikan, hasil dari penggabungan ilmu warisan ayahnya dengan Jurus Bidadari yang baru ia pelajari.

"Jumlah mereka terlalu banyak jika kita langsung menyerbu tambang emas di pusat desa, Raka," ucap Anggun tenang. "Informasi yang kudapat sebelum terluka kemarin, setidaknya ada tiga kelompok aliran hitam yang beraliansi di sana: Geng Serigala Hitam yang tersisa, Kelompok Gagak Malam, dan para tentara bayaran pimpinan Ki Ageng Gila. Total mereka mungkin lebih dari seratus orang pendekar." Tutur Anggun lebih lanjut

Raka mengepalkan tinjunya. "Seratus orang... itu jumlah yang besar. Tapi mereka hanyalah sekumpulan serigala yang rakus. Mereka tidak memiliki ikatan batin, hanya saling memanfaatkan saja demi kepentingan masing masing." Ucap Raka

"Tepat," balas Anggun dengan senyum tipis yang dingin. "Kita akan menggunakan taktik gerilya. Kita akan mematahkan taring mereka satu per satu dari kegelapan. Kita buat mereka merasa bahwa Gunung Kencana ini dihuni oleh hantu-hantu yang haus darah, hingga mental mereka runtuh sebelum pertempuran besar dimulai."

Malam berikutnya, Desa Galian dicekam kesunyian yang tidak biasa. Di gerbang selatan, yang merupakan jalur utama pengiriman logistik makanan bagi para penjaga tambang, berdiri sebuah pos kecil yang dijaga oleh delapan orang pendekar dari Kelompok Gagak Malam. Mereka sedang berpesta pora dengan arak dan daging hasil jarahan dari penduduk desa.

"Hahaha! Hidup ini sungguh nikmat sejak kita menguasai tempat ini," ucap salah seorang penjaga bertubuh tambun sambil menenggak arak dari kendi besar.

"Penduduk desa itu seperti sapi perah. Kita hanya perlu menggertak sedikit, dan mereka menyerahkan segalanya."

Tanpa mereka sadari, di atas atap pos yang terbuat dari rumbia, sebuah bayangan melesat seringan kapas.  Anggun dengan Jurus Bidadari, Bayangan di Atas Awan, ia bergerak tanpa suara sedikit pun. Di bawahnya, di balik semak-semak yang hanya berjarak beberapa meter dari meja pesta, Raka sudah bersiap dengan energi yang terkumpul di telapak tangannya.

"Sekarang," bisik Anggun dari atas.

Wush!

Anggun terjun ke bawah. Tangannya bergerak seperti kelopak bunga yang tertiup badai. Jurus Bunga: Melati Menjemput Nyawa! Jari-jarinya yang lentur namun sekeras baja menotok titik mematikan di leher dua penjaga yang sedang tertawa. Tanpa sempat mengeluarkan suara, keduanya tumbang dengan mata melotot.

"Siapa?!" teriak si pendekar tambun.

Belum sempat ia meraih goloknya, Raka melesat keluar dari semak-semak seperti harimau lapar.

"Pembalasan bagi penduduk desa!" raung Raka. Ia meluncurkan sebuah pukulan jarak jauh dengan cepat

Wush

Desh

Brakkk!

Pukulan itu menghantam dada si pendekar tambun, mematahkan tulang rusuknya dan melontarkannya hingga menabrak dinding kayu pos hingga jebol. Lima orang sisanya panik. 

Hiaaaat

Hiaaat

Mereka mencabut senjata, namun mereka menghadapi dua "malaikat maut" yang bergerak dalam harmoni sempurna.

Anggun menggunakan kelenturan Jurus Bidadari untuk menghindar dari sabetan pedang lawan. Ia berputar di udara, jubahnya mengembang seperti sayap bidadari, dan saat mendarat, pedangnya memberikan sayatan presisi di tenggorokan lawan. Sementara itu, Raka menjadi tameng yang tak tertembus, menangkis serangan lawan dengan tangan kosong yang dilindungi tenaga dalam, lalu membalas dengan hantaman-hantaman yang menghancurkan tulang.

Dalam waktu kurang dari lima menit, kedelapan penjaga itu telah tewas. Tidak ada satu pun yang berhasil melarikan diri untuk memberikan laporan. Raka dan Anggun segera menggeledah pos tersebut, mengambil persediaan senjata dan makanan, lalu membakar pos itu sebagai pesan peringatan.

Keesokan harinya, kabar tentang hancurnya pos selatan sampai ke telinga pimpinan tertinggi di pusat desa. Ki Ageng Gila, seorang pria tua dengan rambut putih awut-awutan dan mata yang memancarkan kegilaan, sangat marah.

"Hanya dua orang? Kalian bilang delapan orang kita habis oleh hanya dua orang?!" teriaknya pada sisa anak buahnya. "Kirim dua patroli ke hutan di kaki gunung. Cari mereka! Aku ingin kepala mereka dijadikan hiasan di pintu masuk tambang!" 

Dua kelompok patroli, masing-masing terdiri dari sepuluh orang, bergerak masuk ke hutan bambu di lereng Gunung Kencana. Mereka berjalan dengan waspada, pedang terhunus di tangan. Namun, mereka melakukan kesalahan fatal: masuk ke wilayah di mana Raka dan Anggun sudah mengenal setiap jengkal tanahnya.

Di tengah hutan bambu yang rapat, kabut mulai turun. Suara gesekan batang bambu yang tertiup angin menciptakan suasana yang mencekam.

Srak... srak...

"Suara apa itu?" tanya salah satu anggota patroli sambil menoleh ke belakang. Namun, rekannya yang tadi berdiri di belakangnya sudah lenyap.

"Hoi! Di mana kau, Karta?!"

Satu per satu, anggota patroli itu menghilang ke dalam kabut tanpa suara teriakan. Teknik gerilya yang dijalankan Raka dan Anggun benar-benar efisien. Anggun menggunakan teknik Bidadari Menembus Kabut untuk menarik lawan satu per satu ke dalam kerimbunan, lalu menghabisi mereka dengan totokan saraf. Sementara Raka, ia menggunakan kekuatannya untuk menyerang dari atas pohon, menjatuhkan lawan dengan satu hantaman keras di kepala sebelum mereka sadar apa yang terjadi.

Hingga akhirnya, hanya tersisa sang kepala patroli yang berdiri sendirian di tengah kabut yang semakin pekat. Keringat dingin mengucur di dahinya.

"Keluar kalian! Jangan bersembunyi seperti tikus!" teriaknya dengan suara gemetar.

"Tikus tidak akan menyerang serigala, kecuali serigala itu sudah masuk ke dalam jebakan," sebuah suara dingin terdengar dari segala arah.

Tiba-tiba, kabut di depannya tersibak. Raka berdiri di sana dengan tatapan tajam, sementara di belakangnya, Anggun muncul dari balik batang bambu dengan pedang yang masih meneteskan darah.

"Siapa kalian sebenarnya?" tanya kepala patroli itu sambil mengangkat pedangnya dengan tangan gemetar.

"Kami datang untuk menagih hutang nyawa kalian " jawab Raka dingin.

Hiaaaat

SyuutSyuut

Wuuut

Kepala patroli itu mencoba menyerang dengan membabi buta, namun dengan satu gerakan ringan dari Jurus Bidadari, Anggun meluncur di bawah tebasannya dan menyabetkan pedangnya ke arah pergelangan kaki lawan. 

Sreet

Brugh

Duhh

Saat lawan terjatuh, Raka mendaratkan pukulan terakhir di ulu hati.

Sepuluh orang lagi telah tumbang. Kelompok patroli kedua yang mendengar keributan itu segera datang, namun mereka hanya menemukan mayat rekan-rekan mereka yang tersusun rapi membentuk sebuah simbol bunga di tanah, tanda peringatan dari Anggun.

Hari ketiga dan keempat berlalu dengan teror yang semakin meningkat. Raka dan Anggun tidak lagi hanya membunuh, mereka mulai menyerang aspek logistik dan mental musuh. Mereka membakar gudang penyimpanan gandum yang dijaga ketat dan melumpuhkan penjaganya 

Suasana di Desa Galian mulai berubah. Para pendekar yang tadinya sombong kini mulai merasa ketakutan. Mereka tidak berani keluar sendirian, bahkan untuk sekadar buang air kecil. Rumor mulai beredar di antara mereka bahwa yang menyerang mereka bukanlah manusia, melainkan arwah penasaran para penduduk desa yang tewas di tambang emas, dipimpin oleh seorang bidadari kematian dan raksasa penghancur.

"Aku tidak mau lagi menjaga pos luar! Ini gila!" teriak salah seorang pendekar dari Kelompok Gagak Malam. "Setiap malam ada saja kawan kita yang hilang dan ditemukan tergantung di pohon keesokan harinya!"

Ki Ageng Gila mencoba menenangkan anak buahnya, namun ia sendiri mulai merasa terdesak. Kekuasaannya yang dibangun di atas rasa takut kini mulai runtuh oleh rasa takut yang lebih besar.

Di sebuah lembah tersembunyi yang tidak jauh dari desa, Raka dan Anggun beristirahat di bawah naungan pohon rindang. Mereka sedang mengamati peta desa yang berhasil mereka rebut dari salah satu kepala patroli.

"Taktik kita berhasil, Kak Anggun," ujar Raka sambil mengunyah buah hutan. "Jumlah mereka berkurang drastis. Dari seratusan orang, kini mungkin hanya tersisa sekitar empat puluh orang yang masih bisa bertarung secara efektif. Sisanya terluka, sakit, atau melarikan diri karena takut."

Anggun mengangguk, namun raut wajahnya tetap waspada. "Jangan meremehkan Ki Ageng Gila, Raka. Dia adalah seorang gembong aliran sesat. Jika dia merasa terdesak, dia mungkin akan melakukan sesuatu yang nekat, seperti menjadikan penduduk desa sebagai tameng hidup."

Raka mengepalkan tinjunya hingga terdengar suara gemeretak tulang. "Itulah yang paling aku takutkan. Kita harus segera menyerbu pusat tambang sebelum dia sempat melakukan itu."

"Kita akan menyerangnya malam ini" kata Anggun dengan nada mantap. "Kita sudah mengurangi jumlah mereka cukup banyak. Sekarang saatnya kita menggunakan kekuatan penuh. Kita akan masuk ke jantung tambang, membebaskan para buruh, dan mengakhiri kekuasaan Ki Ageng Gila."

Raka menatap Anggun, melihat sinar keyakinan di mata wanita itu. "Aku akan bersamamu, Kak. Seperti dulu, saat kita berjanji untuk selalu menjaga satu sama lain."

Anggun tersenyum kecil, sebuah senyuman yang memberikan kehangatan di tengah hawa dingin pegunungan. "Iya, Raka Mari kita buat mereka menyesal karena pernah menginjakkan kaki di tanah ini."

Malam itu, bulan tertutup oleh awan tebal, seolah-olah alam semesta pun mendukung aksi mereka. Raka dan Anggun bergerak mendekati area tambang emas yang dikelilingi oleh pagar kayu tinggi dan menara pengawas. Obor-obor menyala di setiap sudut, namun para penjaganya tampak lesu dan penuh kecemasan.

Raka membawa beberapa botol minyak yang ia jarah dari gudang logistik. Rencananya adalah menciptakan kekacauan di gudang senjata terlebih dahulu untuk mengalihkan perhatian, sementara Anggun akan menyusup ke barak buruh untuk membebaskan mereka dan memberikan senjata-senjata ringan yang telah mereka siapkan.

"Ingat, Raka," bisik Anggun sebelum mereka berpisah. "Fokus utama kita adalah menyelamatkan penduduk. Jangan biarkan dendam membutakanmu hingga mengabaikan keselamatan mereka."

"Aku mengerti, Kak. Sampai jumpa di pusat tambang."

Raka melesat menuju sisi barat, sementara Anggun bergerak seperti bayangan menuju sisi timur. Taktik gerilya mereka telah berakhir, dan kini saatnya bagi pertempuran terbuka yang akan menentukan nasib Desa Galian.

Duar! Duar!

Ledakan pertama terjadi di gudang senjata di sisi barat. Raka berhasil meledakkan persediaan bubuk mesiu yang digunakan untuk meledakkan batuan tambang. Api membumbung tinggi ke langit, menciptakan kepanikan massal.

"Kebakaran! Serangan! Hantu itu datang lagi!" teriak para penjaga dengan panik.

Di tengah kekacauan itu, Raka muncul dari balik kobaran api. Ia menyerbu para pendekar yang panik dengan kekuatan penuh. Setiap pukulannya meruntuhkan pertahanan lawan. 

Dengan Ilmu Pedang Tanpa Nama yang ia kembangkan sendiri, ia membelah kerumunan musuh seperti air yang terbelah oleh perahu cepat.

Sementara itu, di sisi timur, Anggun berhasil melumpuhkan para penjaga barak buruh dengan sangat cepat. Ia membuka pintu-pintu penjara bawah tanah tempat para penduduk desa disekap.

"Semuanya, bangun! Ambil senjata ini dan ikuti aku! Kita akan merebut kembali kemerdekaan kalian!" seru Anggun dengan suara yang lantang dan berwibawa.

Para penduduk desa, yang selama ini hidup dalam penindasan, melihat Anggun seperti melihat dewi penyelamat. Dengan keberanian yang bangkit kembali, mereka mengambil senjata apa saja yang ada, cangkul, linggis, hingga pedang dari penjaga yang tewas, dan mulai melakukan perlawanan dari dalam.

Pertempuran besar tak terelakkan lagi. Suara denting pedang, teriakan kemarahan, dan raungan api memenuhi udara malam di Desa Galian. Raka dan Anggun kini berada di garis depan, bertarung bahu-membahu menuju satu titik: tenda besar di pusat tambang tempat Ki Ageng Gila berada.

1
Hendra Yana
lanjut
Dewi kunti
cpt sehat ya kaaaaakkk,dinanti karyanya
Dewi kunti
kok blm update LG dr kmrn,nungguin ini🤭
Dewi kunti: ok smg cpt sembuh
total 2 replies
Batsa Pamungkas Surya
👍 ini mantap.. lebih kayak nyata dari pada musuh siluman2
Dewi kunti
apakah anggun jodohnya
DANA SUPRIYA
keren ini hantu berkabut menghabisi orang hanya pakai lidi
DANA SUPRIYA
seperti kakek ini sakti ya
Dewi kunti
penyembuhan mungkin
Dewi kunti
pernah,...
Batsa Pamungkas Surya
mantap laah
Hendra Yana
up lagi
Dewi kunti
yaaaaa hbs,,klo LG seru gini kok ky cm sebentar bacanya,berasa kurang
Hendra Yana
Terima kasih
Dewi kunti
perjallaannya kecepetan ngetiknya jd typo lg
Blue Angel: iya kak, bantu koreksi kak biar nanti di revisi🙏🙏🙏
total 1 replies
Dewi kunti
banhgkit typo kakak
Hendra Yana
lanjut gas
Hendra Yana
lanjut
MyOne
Ⓜ️👣👣👣Ⓜ️
Dewi kunti
sengaja gak sih diluar godaan
Blue Angel: HP nya sering typo kak🙏🙏🙏
total 1 replies
Dewi kunti
setahun yang lalu🤭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!