(Area orang dewasa🌶️)
Hidup Viola Amaral berubah drastis ketika sebuah kontrak mengikatnya pada kehidupan seorang jenderal berpengaruh. Bukan pernikahan impian, melainkan perjanjian rahasia yang mengasingkannya dari dunia luar. Di tengah kesepian dan tuntutan peran yang harus ia mainkan, benih-benih perasaan tak terduga mulai tumbuh. Namun, bisakah ia mempercayai hati seorang pria yang terbiasa dengan kekuasaan dan rahasia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon medusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 22
...(Pagi harinya)...
...Dalam kehangatan pagi yang masih sunyi, Viola meringkuk di balik selimut, menikmati sisa-sisa mimpinya. Namun, sebuah sentuhan lembut di lengannya membawanya kembali ke dunia nyata. Seorang pelayan berdiri di samping tempat tidurnya, dengan ekspresi sedikit mendesak....
"Ugh... Bi... ada apa?" Viola bergumam dengan mata masih setengah tertutup.
"Nona Viola, maafkan saya. Tuan sudah menunggu Anda di ruang kerja," kata pelayan itu dengan nada hormat. "Beliau meminta Anda untuk segera mandi dan menemuinya."
"Baik, Bi," jawab suara lemah dari balik selimut. Saat Viola bergerak untuk turun dari ranjang, tanpa sengaja kain penutup itu melorot sedikit.
...Pelayan itu membeku sesaat, matanya terpaku pada kulit pucat Viola yang diwarnai memar dan tanda gigitan yang jelas. Sebuah sentakan kaget bercampur pilu menghantamnya....
Apa yang terjadi semalam? pikirnya ngeri. Dengan cepat ia menundukkan kepala, menyembunyikan keterkejutannya.
"Kasihan sekali, Nyonya muda," gumamnya hampir tak terdengar, sebelum bergegas keluar dari kamar, berusaha menepis bayangan mengerikan yang muncul di benaknya.
...Beberapa menit berlalu, dan Viola keluar dari kamar mandi dengan tubuh terbalut selimut yang sama. Aturan Revan yang melarangnya menyentuh barang-barang miliknya, termasuk jubah mandi dan handuk, kembali terasa begitu menyulitkan....
"Astaga... sakit sekali," rintih Viola pelan saat berusaha berjalan menuju kopernya yang tergeletak di lantai. Ia mendudukkan diri di sampingnya dan segera membukanya.
...Dengan cepat, ia memilih pakaian sederhana dan mengenakannya. Tak lupa, ia mengoleskan losion tubuh, deodoran, dan menyemprotkan parfum murahannya yang meski sederhana namun memberikan kesegaran....
...Dengan langkah tergesa namun hati berdebar, Viola meninggalkan kamar dan menuruni tangga menuju lantai bawah. Tanpa ragu, ia berjalan menghampiri pintu kokoh ruang kerja Revan....
Tok, tok, tok. Jantungnya berpacu seiring ketukan jarinya di permukaan pintu.
"Masuk," suara dingin Revan dari dalam ruangan langsung membuatnya membeku. Tenggorokannya terasa tercekat, seolah ada batu yang mengganjal.
Dengan susah payah, ia menelan ludahnya yang terasa pahit, lalu perlahan membuka pintu dan melangkah masuk, hatinya menciut menghadapi amarah yang mungkin menantinya.
"Kenapa lama sekali?!" bentak Revan, suaranya menggelegar di ruangan itu.
...Viola merasakan jantungnya mencelos mendengar suara keras Revan. Ia tersentak mundur sedikit sebelum menundukkan kepalanya dalam-dalam, berusaha menyembunyikan air mata yang hampir tumpah....
"M-maafkan aku, Tuan," bisiknya tercekat.
"Bobby," ucap Revan dengan nada dingin yang menusuk.
...Seorang pria berpostur tinggi dan tegap, Bobby, segera menghampiri Revan. Di tangannya tergenggam sebuah berkas kulit berwarna cokelat tua....
"Iya, Tuan," jawabnya dengan suara bariton yang tegas.
"Berikan surat ini padanya," perintah Revan dengan gerakan tangan tanpa melihat Viola.
...Bobby mengangguk tanpa bertanya. Ia membuka berkasnya dengan hati-hati, mengeluarkan selembar kertas dengan materai di bagian bawahnya, dan mengulurkannya kepada Viola....
"Nyonya," katanya dengan sopan namun formal, "mohon tanda tangani surat ini di bagian yang sudah ditandai." Viola menerima kertas itu dengan tangan gemetar, rasa penasaran dan cemas bercampur aduk di benaknya.
...Dengan tangan gemetar, Viola membaca setiap baris surat itu dengan seksama. Matanya membelalak, dan napasnya tercekat saat menyadari isinya: sebuah kontrak pernikahan antara dirinya dan Revan. Jantungnya berdebar tak karuan, seolah hendak melompat keluar dari dadanya....
...Perlahan, dengan keberanian yang dipaksakan, Viola mengangkat kepalanya, menatap Revan dengan mata penuh keterkejutan dan kepedihan....
"T-Tuan, a-apa maksudnya ini?" Suaranya bergetar hebat, seluruh tubuhnya terasa dingin dan lemas.
"Apa kau buta?" sentak Revan, membalas tatapan Viola dengan sorot mata setajam belati.
"B-bukan begitu maksud saya, Tuan, tapi ini-" Viola berusaha menyusun kata-kata, namun pikirannya kacau.
"Iya," potong Revan dengan nada dingin dan tanpa emosi, "itu adalah surat kontrak pernikahan kita untuk satu tahun ke depan. Dan selama kau di sini," lanjutnya dengan tatapan merendahkan, "kau hanyalah penghangat ranjangku, tidak lebih."
Deg!
...Kata-kata itu menghantam Viola bagai palu godam. Jantungnya terasa berhenti berdetak sesaat, lalu berdetak kembali dengan nyeri yang menusuk. Selama bertahun-tahun ia menjaga diri, memimpikan pernikahan yang didasari cinta dan kasih sayang, namun kenyataannya ia justru terjerat dalam kontrak hina sebagai pemuas nafsu seorang pria....
...Dengan kasar, Viola menghempaskan surat itu ke atas meja, menimbulkan bunyi yang mengejutkan. Air mata tak terkendali mengalir di pipinya, meninggalkan jejak basah. Namun, di balik air mata itu, tatapannya pada Revan menyimpan setitik keberanian yang menyala....
"Maafkan saya, Tuan," ucap Viola dengan suara serak namun penuh penolakan, "saya tidak serendah itu. Lebih baik saya menerima surat perceraian daripada menandatangani kontrak yang menghina martabat saya."
...Bobby, yang berdiri di dekat pintu, membeku melihat keberanian Viola yang tak terduga. Matanya melebar tak percaya. Namun, suasana tegang itu dengan cepat berubah saat Revan bangkit dari kursinya. Gerakannya seperti predator yang siap menerkam mangsanya, menghampiri Viola dengan langkah lebar....
"Tuan," bisik Bobby cemas, merasakan hawa dingin yang tiba-tiba memenuhi ruangan melihat raut wajah Revan yang gelap dan mengancam.
"Enyahlah," desis Revan tajam, tanpa mengalihkan pandangannya dari Viola yang kini menantangnya dengan air mata.
"Tapi—"
"AKU BILANG PERGI!" pekik Revan, suaranya memecah keheningan dan membuat Bobby pucat pasi, lalu buru-buru meninggalkan ruangan.
"K-kamu... mau apa?" Viola mendongak dengan mata melebar penuh ketakutan menatap wajah Revan yang sedingin es. Tubuhnya tanpa sadar bergerak mundur, berusaha menjauh dari aura mengancam pria itu.
"Kau... berani menentangku?" Desis Revan rendah, napasnya memburu kasar seiring langkahnya mendekati Viola, hingga tak ada lagi jarak di antara mereka. Viola bisa merasakan hawa panas amarah Revan menerpa wajahnya.
"Tuan, kumohon... ceraikan aku," pinta Viola dengan suara tercekat, air mata terus mengalir namun ia berusaha mempertahankan tatapannya pada Revan, memohon belas kasihan.
...Revan mendengus keras, ekspresinya menunjukkan kejijikan dan kemarahan. Dengan gerakan kasar, tangannya meraih dagu Viola, meremasnya kuat hingga Viola meringis kesakitan. Kemudian, tanpa ampun, Revan mendorong tubuh Viola dengan keras, membuatnya terhuyung mundur hingga membentur lemari berkas dengan bunyi keras....
Brak!
...Suara benturan itu menggema di ruangan. Viola merasakan sakit yang menjalar di punggungnya....
"Ugh..." ringis Viola.
"Kau pikir aku sudi berlama-lama denganmu, wanita murahan?!" tekan Revan dengan napas memburu, wajahnya hanya beberapa senti dari wajah Viola. Matanya berkilat marah. "Jangan pernah kau anggap dirimu penting di sini. Kau tidak lebih berharga dari wanita panggilan di luar sana yang bisa kubeli kapan saja!"
...Setiap kata yang dilontarkan Revan terasa bagai serpihan kaca yang menghujam jantung Viola. Lebih dari sekadar hinaan, kata-kata itu adalah pengingat pahit akan kenyataan kejam yang merenggut kehidupannya. Ia tahu, Revan sengaja menusuknya dengan kebenaran yang menyakitkan: bahwa ia hanyalah barang dagangan, dijual oleh kedua orang tuanya sendiri demi melunasi utang yang tak pernah ia perbuat. Air mata semakin deras mengalir, bukan hanya karena rasa sakit fisik akibat benturan, namun juga karena luka yang menganga di hatinya....
(Bersambung)