Chen Huang, seorang remaja berusia 15 tahun, menjalani hidup sederhana sebagai buruh tani bersama kedua orang tuanya di Desa Bunga Matahari. Meski hidup dalam kemiskinan dan penuh keterbatasan, ia tak pernah kehilangan semangat untuk mengubah nasib. Setiap hari, ia bekerja keras di ladang, menanam dan memanen, sambil menyisihkan sebagian kecil hasil upahnya untuk sebuah tujuan besar: pergi ke Kota Chengdu dan masuk ke Akademi Xin. Namun, perjalanan Chen Huang tidaklah mudah. Di tengah perjuangan melawan kelelahan dan ejekan orang-orang yang meremehkannya, ia harus membuktikan bahwa mimpi besar tak hanya milik mereka yang berkecukupan. Akankah Chen Huang berhasil keluar dari jerat kemiskinan dan menggapai impiannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DANTE-KUN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps — 22 Giliran Chen Huang dan Ning Xue
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya nama Chen Huang dipanggil untuk maju.
Chen Huang melangkah ke tengah arena dengan tenang, membawa sebuah belati kecil yang tampak sederhana di tangannya. Belati itu jelas bukan senjata mewah atau berkualitas tinggi, hanya alat yang biasa dia gunakan untuk berburu binatang spiritual tingkat 1. Namun, cara dia menggenggamnya menunjukkan pengalaman. Matanya tajam, penuh fokus, seperti seorang pemburu yang sudah terbiasa menghadapi bahaya di alam liar.
Sorakan kecil terdengar dari kerumunan murid Akademi Xin. Beberapa mencemooh senjata kecil yang dibawanya, sementara yang lain penasaran dengan apa yang akan dia tunjukkan. Ning Xue di sisi lapangan terlihat cemas, tapi dia menatap Chen Huang dengan penuh keyakinan.
“Jika kau sudah siap, silakan mulai,” kata instruktur dengan nada datar, berdiri dengan santai di depannya.
Chen Huang mengangguk hormat. Dia menyesuaikan cengkeramannya pada belati kecil itu, lalu menurunkan tubuhnya ke posisi siaga. Napasnya perlahan, tapi matanya terus mengamati setiap gerakan instruktur, seperti seekor serigala yang sedang berburu mangsa.
Tanpa aba-aba lagi, Chen Huang melesat ke depan. SWOOSH! Gerakannya cepat dan lincah, membuat para penonton terkejut. Dia langsung melancarkan tusukan ke arah dada instruktur, tapi serangan itu ditangkis dengan mudah. Tidak berhenti di situ, dia memutar tubuhnya dan mengayunkan belatinya dari bawah, mencoba menyerang dari sudut yang lebih sulit.
CLANG! Belati kecil itu beradu dengan pelindung instruktur. Serangan Chen Huang mungkin tidak memiliki kekuatan besar, tetapi caranya bergerak sangat terukur. Dia terus melangkah mundur, berputar, lalu menyerang lagi dari sudut lain.
“Hmm…” Tetua Yan mengangguk pelan. “Gaya bertarungnya seperti pemburu sejati. Dia tahu kapan harus menyerang dan kapan harus mundur.”
Instruktur mencoba menyerang balik dengan serangan ringan, tapi Chen Huang segera melompat ke samping, menghindar dengan gesit. Dia berguling ke tanah, lalu bangkit kembali sambil melempar belati ke tangan kirinya, membuat gerakannya semakin sulit ditebak.
“Tap! Tap! Tap!” Suara langkah kakinya terdengar saat dia terus mengitari instruktur, menjaga jarak sambil mencari celah. Sesekali dia melakukan gerakan feint, berpura-pura menyerang ke satu arah tapi langsung mengubah arahnya ke sudut lain.
Para tetua saling melirik satu sama lain. Tetua Li, seorang pria dengan janggut panjang, berkomentar, “Anak ini punya naluri bertarung yang tajam. Tapi dia kurang memiliki teknik yang benar. Dengan bimbingan yang tepat, dia bisa berkembang jauh lebih baik.”
Chen Huang terus menyerang dengan pola yang sulit ditebak. Setiap gerakan mencerminkan pengalamannya melawan binatang spiritual. Dia bahkan menggunakan arena seolah itu adalah hutan tempat dia berburu, memanfaatkan setiap sudut untuk meluncurkan serangan kejutan. Meskipun serangannya tidak terlalu kuat, kelincahan dan kecerdikannya membuat instruktur harus tetap waspada.
Tetua Yan mengangguk puas. “Dia mungkin belum memiliki teknik bertarung formal, tapi kreativitas dan adaptasinya sangat mengesankan.”
Akhirnya, waktu habis. Chen Huang berhenti menyerang, mengambil langkah mundur, dan memberikan salam hormat kepada instruktur. Napasnya sedikit terengah, tapi matanya tetap bersinar penuh semangat.
Instruktur tersenyum tipis, memberikan anggukan penghormatan. “Kau berbakat, anak muda.”
Chen Huang kembali ke tempatnya. Ning Xue menyambutnya dengan senyum lebar. “Hebat sekali!” katanya dengan nada penuh kegembiraan.
Di tribun, beberapa murid tampak mulai memperhitungkan Chen Huang. Sementara itu, para tetua tampak sibuk mencatat sesuatu, jelas memberikan penilaian yang baik atas penampilan anak muda itu.
...
Ketika nama Ning Xue dipanggil, dia berdiri sejenak, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. Chen Huang berdiri di sampingnya, meletakkan tangan di pundaknya dan berkata dengan lembut, “Kau pasti bisa, Ning Xue. Lakukan seperti biasa saat kita berburu.”
Ning Xue tersenyum tipis dan mengangguk. “Aku akan mencoba yang terbaik.”
Dengan langkah tenang namun penuh tekad, Ning Xue berjalan menuju arena. Sorakan kecil terdengar, terutama dari beberapa murid yang mulai mengenali namanya setelah dia dinyatakan memiliki akar spiritual murni. Di tangannya, dia menggenggam sebuah belati kecil, persis dengan yang digunakan Chen Huang. Sederhana, tapi sudah menjadi alat yang akrab baginya selama bertahun-tahun berburu di hutan.
Dia berhenti di tengah arena, memberikan hormat kepada instruktur seperti yang dilakukan Chen Huang sebelumnya. Instruktur, seorang pria tegap dengan ekspresi tenang, mengangguk sambil berkata, “Jika kau sudah siap, kau bisa memulai.”
Ning Xue menarik napas sekali lagi, lalu menyesuaikan cengkeraman pada belatinya. Tubuhnya sedikit menunduk, bersiap dengan posisi siaga. Ketika dia merasa cukup fokus, dia langsung bergerak.
“SWOSH!” Ning Xue melesat maju, menyerang dengan tusukan cepat ke arah dada instruktur. Gerakannya cukup lincah, meskipun tidak secepat Chen Huang. Instruktur dengan mudah menangkis serangannya dengan gerakan ringan, membuat Ning Xue mundur selangkah sebelum melanjutkan dengan serangan horizontal dari sisi lain.
Tetua Yan mengamati dengan saksama. “Gerakannya mirip dengan anak laki-laki sebelumnya,” katanya pelan. “Tapi dia lebih lambat, dan kekuatannya juga lebih kecil.”
Tetua Li menambahkan, “Meskipun begitu, dia memiliki ketenangan yang luar biasa. Tidak gugup meskipun semua mata tertuju padanya.”
Ning Xue terus bergerak, mengelilingi instruktur sambil mencari celah. “TAP, TAP, TAP!” Suara langkah kakinya terdengar di arena saat dia menjaga jarak. Dia tahu, dengan kekuatan dan kecepatannya yang lebih rendah, dia harus menggunakan strategi yang lebih hati-hati.
Dia mencoba taktik feint seperti yang dilakukan Chen Huang, berpura-pura menyerang dari kanan tapi langsung mengubah arah ke kiri. Namun, instruktur menangkap gerakannya dengan mudah dan menghindar dengan santai.
Ning Xue tidak menyerah. Dia menggulingkan tubuhnya di lantai, mencoba menyerang dari bawah dengan belatinya. “CLINK!” Belati itu bertemu dengan pelindung instruktur, menghasilkan percikan kecil. Dia mundur lagi, matanya tetap tajam, menunjukkan bahwa dia sedang menganalisis pergerakan lawannya.
“Dia memang lebih lemah,” kata Tetua Yan, “Tapi caranya tetap fokus dan tidak gegabah sangat mengesankan.”
Ning Xue memanfaatkan teknik memancing serangan. Dia berpura-pura lengah, membuat instruktur mencoba menyerang balik. Begitu instruktur bergerak, Ning Xue melompat ke samping dan mencoba menyerang dengan ayunan diagonal. “Bam!” Meskipun serangan itu lagi-lagi berhasil dihentikan, keberaniannya untuk mencoba sesuatu yang berbeda menunjukkan semangatnya.
Ketika waktu hampir habis, Ning Xue memutuskan untuk mencoba satu serangan terakhir. Dia melompat ke depan, memutar tubuhnya untuk memberikan serangan memutar dengan belati. “WHOOSH!” Namun, instruktur dengan mudah menghindar dan hanya berdiri dengan senyum tipis, memberikan isyarat bahwa ujiannya telah selesai.
Ning Xue terengah-engah, tapi dia terlihat puas. Dia memberikan hormat kepada instruktur, lalu berjalan kembali ke tempatnya. Chen Huang menyambutnya dengan senyuman lebar.
“Kau sudah melakukan yang terbaik,” katanya, memberikan semangat.
Ning Xue tersenyum lelah. “Aku tahu aku tidak sekuatmu, tapi setidaknya aku tidak membuat malu.”
Chen Huang menepuk pundaknya. “Kau luar biasa, Ning Xue. Tetaplah percaya diri.”
Sorakan kecil dari beberapa penonton mengiringi Ning Xue saat dia kembali ke tempat duduknya. Para tetua mencatat sesuatu, tampaknya cukup puas dengan penampilan Ning Xue, terutama karena dia mampu mengatasi kelemahannya dengan kecerdasan dan ketenangan.