NovelToon NovelToon
Kopassus And Me

Kopassus And Me

Status: tamat
Genre:Romantis / Tamat
Popularitas:3.8M
Nilai: 4.9
Nama Author: fitTri

Kematian adik perempuannya yang tragis membuat Rama berubah 180 derajat. Apa lagi ketidak mampuannya sebagai aparat penegak hukum untuk mengungkap siapa dalang dibaliknya membuatnya menjadi lebih frustasi lagi. Hal itulah yang membuatnya selalu bertindak keras terhadap apa pun yang terjadi di sekelilingnya. Hingga sebuah hukuman dari sang komandan membawanya pada keputusan lain.

Namun peristiwa bom bunuh diri di sebuah kafe di tengah kota membawanya bertemu dengan seorang wartawan lepas yang sedang berjuang mempertaruhkan kariernya di kantor berita nasional.

Kaysa Mella yang sedang mencari bahan pemberitaan untuk menaikkan jenjang kariernya di dunia jurnalis yang sangat dia cintai seperti pengembara yang menemukan oase di tengah padang pasir saat bertemu dengan Rama.

Apakah yang akan terjadi setelah mereka bertemu? lebih banyak drama ataukah tragedi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fitTri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kecurigaan

*

*

Aslan terdiam menatap ke arah depan di mana dia menemukan pemandangan paling menyesakkan di dunia. Ketika melihat sosok yang di kenalinya sebagai sang ayah yang tengah berada di sebuah toko perhiasan di salah satu mall terbesar di Jakarta.

Mereka baru saja mendapatkan seragam baru untuknya, dan sebuah tas dengan warna dan motif yang sama seperti yang di belikan oleh Radit beberapa minggu sebelumnya. Di toko yang sama pula saat sang ayah membelikannya, dan membawanya jalan-jalan sepulang sekolah.

Namun dia tak menyangka sama sekali akan menemukan pria itu pula dengan perempuan yang sangat di bencinya tengah menikmati waktu berdua, dan membelikannya perhiasan mahal untuknya. Dia yakin kenyataannya begitu setelah melihat Radit yang memberikan kartu pembayaran kepada pelayan toko, setelah menyerahkan sebuah tas kecil kepada Kristina yang wajahnya terlihat begitu ceria sambil menatap cincin yang berkilauan di jari manisnya.

"Ada lagi yang mau kamu beli, Aslan?" Rama bertanya kepadanya.

Bocah itu tak menjawab, hanya saja dia tampak membeku di tempatnya.

"Aslan?" panggil Rama lagi yang secara kebetulan melihat ke arah Aslan menatap. Dan di saat yang sama pula Radit dan Kristina menoleh dengan wajah yang tiba-tiba memucat.

"Aslan, kamu juga sedang jalan-jalan?" Radit segera menghampirinya.

Anak itu tidak menjawab.

"Hey, mana mama mu? bukankah mama bekerja?" Radit menatap sekeliling, namun yang dia temukan hanya Rama yang berdiri tak jauh dari putranya.

"Hey, kamu beli apa?" Radit mencoba mendekat dan berjongkok untuk mensejajarkan tinggi tubuh mereka, namun yang terjadi adalah Aslan malah bergeser ke dekat Rama lalu meraih tangannya, dan menggenggamnya begitu erat seolah meminta pertolongan.

"Aslan, ..." Radit dengan suara lemah, dia tahu dan merasa bahwa putranya sedang merasa kecewa sekarang ini.

"Om, pulang yuk? nanti mama keburu pulang lho, terus nyariin aku." Aslan mendongak ke arah Rama.

"Temui dulu papamu." ucap pria itu yang melirik ke arah di mana Radit bangkit dengan raut kecewa pula.

"Nggak mau, papanya kan lagi sibuk. Nanti aku ganggu." Aslan menjawab dengan raut tenang. Namun Rama melihat kekecewaan yang begitu dalam di matanya. Mungkin lebih dalam dari kekecewaan sang ayah.

"Aslan, ayo kita makan dulu? sudah lama kita tidak makan bersama?" ajak Radit kepadanya.

Aslan melirik ke arah Kristina yang menatapnya dengan pandangan tak suka. Perempuan itu memang selalu bersikap seperti itu setiap kali bertemu dengannya, dan sebaliknya Aslan juga merasa tak suka kepadanya. Karena dalam ingatannya, perempuan itu adalan penyebab dirinya dan sang ibu harus terpisah untuk beberapa lama, sebelum akhirnya kembali bersama setelah banyak pertengkaran sengit di antara mereka terjadi. Dan menyebabkannya jaih dari sang ayah.

"Om, mau ke jagonya ayam boleh?" ucap Aslan lagi kepada Rama dengan matanya yang berkaca-kaca.

"Jagonya ayam?" dahi pria itu berkerut.

"Keefsi om." jelas Aslan.

"Oh, ... ayo."

"Siap!" Aslan segera berlari menarik tangan pria itu ke tempat yang di ketahuinya.

"Tapi kamu belum berpamitan kepada papamu!" Rama hampir berteriak.

"Nggak usah, papanya lagi sibuk." Aslan terus berlari menjauh hingga dirinya yakin ayahnya tak dapat melihat mereka lagi.

"Nah, ... udah sampai!" bocah itu menunjuk sebuah gerai makanan cepat saji berlogo pria tua berkacamata itu dengan riang.

"Beli ayamnya aja, tapi di bawa pulang ya? nasinya nggak usah, di rumah juga ada." Aslan menariknya masuk ke dalam.

"Di bawa pulang?"

"Iya, nanti kalau di makan di sini mama keburu pulang, ketahuan deh kita."

Rama menatapnya dengan perasaan sesak. Betapa bocah ini menahan perasaannya dengan begitu keras entah untuk tujuan apa. Pikirannya tidak bisa mencapai apa yang menjadi alasannya menyembunyikan dan menekan perasannya seperti ini.

Mereka pasti telah mengalami hal yang begitu menyakitkan, sehingga membuat ibu dan anaknya ini bersikap begitu keras kepada diri mereka sendiri.

"Om!" Aslan menarik-narik tangan Rama yang membuat lamunan pria itu buyar seketika.

"Ya?"

"Bayar, aku kan udah pesen." ucap Aslan yang menunjuk kepada kasir di depannya.

"Oh, sudah?"

"Hu'um. Aku pesen ayamnya dua ya? buat mama satu."

"Kenapa tidak sekalian lebih banyak? sepuluh mungkin?"

"Ish, kebanyakan. Nanti mama curiga kenapa om beliinnya banyak-banyak?"

"Oh ya?" Rama tertawa.

"Iya. Kan aku mau bilangnya ini di beliin om pas pulang sekolah."

"Kamu bohong lho! mama mu nanti marah kalau ketahuan."

"Iya sih, tapi jangan sampai mama tahu juga aku di beliin seragam sama tas baru sama om kan?"

"Iya juga."

Aneh sekali pikiran anak ini ya? duh. batin Rama.

Lalu dia menyerahkan satu lembar uang pecahan seratus ribuan kepada kasir, yang setelahnya menyerahkan bungkusan berisi dua potong ayam goreng tepung dan uang kembaliaannya. Kemudian segera keluar dari area tersebut dan mengantar Aslan pulang.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Rama memutuskan untuk mendatangi kantor polisi tempatnya dulu berdinas. Sekedar untuk menjalankan formalitasnya di kesatuan dan menyapa beberapa teman yang dahulu berkarir bersamanya di kepolisian. Begitu juga Fandi, tentunya yang selalu mendorongnya agar berbuat lebih baik. Walau pada kenyataannya dirinya lebih sering membuat pria itu pusing tujuh keliling di bandingkan anggota yang lainnya.

"Hey Ram, ... senang sekali melihatmu!" beberapa orang menyapanya.

"Aku juga."

"Kau hebat, kami bangga padamu." ucap yamg lainnya.

"Terimakasih. Aku tidak sendirian, ada anggota yang lainnya juga." dia melirik kepada Garin yang juga secara kebetulan berada di sana.

"Kami heran, bagaimana kau bisa akur dengannya saat menjalankan tugas-tugas penting, sementara di sini kalian selalu berselisih faham?" seorang dari mereka menepuk bahunya.

"Entahlah, mungkin sudah otomatis seperti itu." Rama berkelakar.

"Yeah, ... tapi kalian hebat."

"Tentu, tentu. Memang seharusnya begitu bukan? bagaimana jadinya misi kami jika aku dan Garin bersikap kekanak-kanakkan?" kemudian mereka tertawa.

"Oh ya, di mana Alan? apa dia sedang tidak bertugas hari ini?" Rama melihat ke sisi lain saat tak menemukan rekannya yang satu itu.

"Hari ini dia cuti."

"Kenapa? ada masalah?"

"Hanya menjalani terapi."

"Terapi apa?"

"Masalah kejiwaan."

"Apa?"

"Hanya keperluan pekerjaan, kau tahu, kita memang di haruskan melakukan itu setidaknya satu atau dua kali sepanjang karir."

"Oh, ... iya."

Kemudian percakapan biasa pun berlangsung beberapa lama, hingga sore tiba dan semua orang yang bertugas hari itu hampir pulang. Sama halnya juga Rama yang memutuskan untuk pergi setelah semua teman-temannya juga meninggalkan tempat itu dan di gantikan oleh petugas lainnya yang mendapatkan piket malamnya.

Hingga pada perjalanan pulangnya dia melewati sebuah bangunan apartemen yang secara kebetulan diingatnya sebagai tempat tinggal rekannya, Alan. Dan Rama memutuskan untuk mampir ketika dirinya tak mendapatkan jawaban setelah melakukan panggilan pada nomor rekannya tersebut.

Rama mengetuk pintu unit apartemen Alan yang dia yakini pria itu berada di dalam sana. Hal tersebut terlihat dari motor besarnya yang berada di area parkir di mana dirinya meninggalkan mobilnya. Dia masih ingat jika Alan tidak pernah pergi tanpa kendaraan beroda dua yang sangat di sayanginya itu.

Terdengar seseorang membuka kunci setelah berkali-kali Rama mengetuk pintu. Fan wajah Alan muncul dari celah pintu yang terbuka sedikit.

"Ram?"

"Hey, kau ada di rumah."

"Ya, ... ada apa?" Alan membuka pintunya lebih lebar.

"Tidak, aku hanya mampir. Kebetulan lewat setelah menemui pak Fandi di kantor dan aku dengar kau mengambil cuti."

"Oh iya, soal itu ..." Alan tampak menggaruk kepalanya.

"Kau mau masuk Ram?" Alan menawarkan.

"Baiklah, tapi mungkin hanya sebentar. Kau tau, bisa saja tiba-tiba ada panggilan tugas dan aku harus ...

"Ya ya, aku tahu, masuklah."

Rama masuk ke dalam ruangan itu yang tampak begitu rapi untuk ukuran seorang pria lajang. Satu unit apartemen kelas menengah dengan satu kamar tidur dan perabotan yang terlihat mahal.

Alan memang berasal dari keluarga berada, dan keputusannya masuk ke kepolisian merupakan keinginan ayahnya. Sementara dirinya bercita-cita sebagai dokter forensik. Tapi pria yang masih sebaya dengannya itu memilih untuk membuat ayahnya bangga dengan menuruti kemauannya.

"Tapi kau baik-baik saja kan?" Rama memulai pembicaraan.

"Ya, aku baik-baik saja. Hanya cuti untuk sedikit terapi, kau tahu pekerjaan kita sangat menguras tenaga juga emosi. Jadi sepertinya aku butuh untuk merawat kesehatan kejiwaanku."

"Yeah, ... kau menyadarinya ya?" Rama menyahut.

"Kau mau minum? tunggu sebentar aku ambilkan."

"Tidak udah, aku kan hanya ..." terlambat, karena Alan sudah terlebih dahulu pergi mengambilkannya air minum.

"Hmmm ... selalu baik, seperti biasa." Rama bergumam.

Dia melihat-lihat sekeliling tempat itu yang tampak sangat nyaman. Beberapa foto menempel di dinding, dan hiasan lainnya yang membuatnya terlihat hangat. Selain pemandangan di luar jendela juga yang membuat tempat tersebut memiliki kelebihannya sendiri. Alan memang memiliki selera yang bagus dalam memilih segala sesuatunya. Tak seperti dirinya yang bahkan tak ingin mengubah tempat tinggalnya setelah kepergian Livia.

"Hh... Livia, ..." dia bergumam lagi.

Namun Rama mengalihkan perhatiam ketika ekor matanya menangkap sesuatu di rak penyimpanan. Dia perhatikan berlama-lama, dan benda tersebut seperti sebuah ponsel.

Rama mengerutkan dahi ketika sepertinya dia mengingat sesuatu. Kemudian dia mendekat.

Dan benar saja, benda itu adalah sebuah ponsel pintar keluaran terdahulu. Rama meraihnya karena tampak familiar dengannya.

Ponsel berukuran 5,5 inci berwarna rose gold dengam merk yang dia ingat pernah di belikannya untuk Livia, tepat satu minggu sebelum ujian untuk kelulusannya.

Deg!

Dadanya seperti meledak ketika ingat kembali akan saat-saat terakhir itu. Dan dirinya juga ingat bahwa Livia di temukan tak bernyawa tanpa barang-barang pribadi miliknya, termasuk ponselnya.

"Maaf, aku hanya punya teh, belum sempat membeli sesuatu hari ini, kau tahu aku ..." Alan muncul dari dapur dengan secangkir teh panas di tangannya. Namun dia berhenti begitu Rama memutar tubuh dengan tangannya yang menggenggam ponsel tersebut.

"Milik siapa ini?" pria itu bertanya.

"Itu ... ponsel lamaku yang sudah mati." Alan menjawab.

"Ponsel lama mu?" Rama mengingat dengan keras.

"Seingatku ponselmu berwarna hitam?"

"Ya, hardcovernya. Tapi isinya itu."

Rama terdiam.

"Kenapa?"

"Ini mirip denga ponselnya Livia."

Alan tampak menelan ludah perlahan.

"Kau tahu ada jutaan ponsel yang mirip di dunia ini." pria itu terkekeh, kemudian menghampiri rekannya tersebut.

"Kau benar." Rama pun melakukan hal yang sama.

"Tadinya aku mengira ini ponselnya Livia,"

"Kau gila! itu ibuku yang belikan, sebelum akhirnya mati dan aku bersyukur karena tidak harus menggunakannya lagi. Kau tahu, dia selalu memeriksanya setiap kali aku pulang ke rumah." dia menyerahkan cangkir teh kepada Rama yang langsung diterima oleh rekannya tersebut.

"Aneh sekali ibumu itu, masa anak laki-laki di berikan ponsel berwarna seperti ini?" Rama menyesap tehnya pelan-pelan.

"Entahlah, mungkin karena keinginannya tidak juga tercapai." Alan menggendikkan bahu.,

"Keinginan apa?"

"Punya anak perempuan, sementara setelah kelahiranku dia tidak bisa lagi punya anak."

"Oh iya, aku lupa soal itu."

"Hmm ...

"Kau bilang tadi ponselnya mati?"

"Ya."

"Binggo!"

"Apa?"

"Ternyaya menyala!" Rama menunjukkan layar ponsel tersebut kepada Alan, yang tiba-tiba saja membuat wajah pria itu memucat.

"Benarkah? padahal sudah lama mati!" Alan bermaksud merebutnya, tapi gerakan tangan Rama lebih sigap.

"Berikan kepadaku Ram!" pintanya, saat rekannya itu menjauhkan benda tersebut darinya.

"Aku mau lihat sebentar."

"Jangan Ram, berikan kepadaku!"

"Memangnya kenapa? ada rahasia kah?"

"Tidak, hanya saja ..

Rama melihat-lihat benda tersebut, dan entah mengapa dia berharap menemukan sesuatu di dalam sana. Kemudian dia tertegun saat menemukan hal yang tak di duganya.

"Ram?"

Rama menatap wajahnya yang semakin memucat.

"Berikan kepadaku, ini tidak seperti yang kau pikirkan."

"Benarkah?"

"Ya, ... dan aku ...

Rama kemudian membalikan layar ponselnya dan seketika saja dia tertawa dengan keras. Ketika menemukan sebuah gambar dari rekannya itu dalam keadaan bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek. Berlagak seperti model pak*ian dal*m saja.

"Aku kira cita-citamu selain jadi polisi adalah dokter forensik, bukan model pak*ian dal*m seperti ini?" Rama tertawa terbahak-bahak.

"Berikan kepadaku!" Alan segera merebutnya dari Rama.

"Aku tidak menyangka seorang Alan ...

"Diam!" rekannya itu berteriak, namum membuat tawa Rama semakin keras.

"Alan, Alan!" Rama menggelengkan kepala.

"Jangan di bahas!"

"Tidak akan." Rama mengisyaratkan dengan telunjuk yang dia tempekan di bibirnya, namun tak menghentikan tawanya sama sekali.

"Diam kau Ram!" Alan dengan gusar.

"Baik baik, aku diam." namun Rama masih tertawa. "Astaga! kau konyol Al!" pria itu menyeka sudut matanya yang basah, merasa lega karena kecurigaannya tidak terbukti. Sungguh mustahil memang jika rekannya itu ada hubungannya dengan kematian Livia.

"Baiklah, sepertinya aku harus pergi. Lama-lama di sini aku bisa mati ketawa." Rama berbicara lagi sambil tertawa.

"Sana, keluarlah!" Alan mendorong tubuh pria itu.

"Ampun pak model, jagan dorong aku, nanti aku terjatuh." Rama dengan tingkahnya yang mengesalkan.

"Keluarlah, bodoh!" ucap Alan dengan kesal.

"Baiklah, baik. Selamat tinggal!" Rama masih dengan tawanya yang menggema.

*

*

*

Bersambung ...

Hadeh, ... ada aja ya yang bikin geleng-geleng kepala. Tapi ... kok curiga ya?🤔🤔

hmm ... entahlan.

Klik like komen sama kirim hadianya aja deh yang banyak.

lope lope sekebon korma😘😘

1
Nayy
"latihan tinju" konon katanya 🤣🤣🤣
Nayy
seriuss!!!!
ini keren thoooorrr...
Nayy
author nya keren
Nayy
aaahhh...kan..kan...kannn...aq ikut baper bang ramaaa 😍
Nayy
uluh uluhhh babang rama di tutup dengan kopi yaaa☕
Lek"A"
mas Ramaaaa I like it👍👍👍
Shanty
main gaple 🤣🤣🤣
aroem
Luar biasa
Dyah Ayu
ini gak di terusin lagiiii????
Dyah Ayu
Sukaaaa bangettt ceritanya k ... Novelnya the best lah... di tunggu lanjutannya
Maulidina
maaf kok ga bisa, buka visualnya 😭
Melda Herawaty
luar biasa 👍
NurKarni
typo nya kebangetan/Facepalm/
Hearty💕💕
Cinta dimasa SMP ya
Hearty 💕
Setuju dab benar sekali
bunda keisya
yah Mak fit.. koq ngga diterusin ini ceritanya padahal bagus banget loh 😭
Zulkiefli Al Gifhary: tanggung jawab tor kisah mudah bunda keisya ni orgnya nongol hayoo thorr🤭🤭🤭
total 1 replies
bunda keisya
wahhh Daebakk.. Rama sangat dewasa cara berpikirnya, sisain satu ya Thor laki² spt Rama bwt suami halu ku 😁
bunda keisya
cuma takut Aslan jadi dewasa sebelum waktunya karena sering ngeliat adegan mesra mama papanya 🤣
bunda keisya
ah.. ternyata masih ada kesetiakawanan yg tulus dari teman satu kesatuan
bunda keisya
tegangnya sama persis saat baca adegan Rama sama kaysa lg hiyaa hiyaa... 🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!