Dara yang baru saja berumur 25 tahun mendapati dirinya tengah hamil. Hidup sebatang kara di kota orang bukanlah hal yang mudah. Saat itu Dara yang berniat untuk membantu teman kerjanya mengantarkan pesanan malah terjebak bersama pria mabuk yang tidak dia ketahui asal usulnya.
"ya Tuhan, apa yang telah kau lakukan Dara."
setelah malam itu Dara memutuskan untuk pergi sebelum pria yang bersamanya itu terbangun, dia bergegas pergi dari sana sebelum masalahnya semakin memburuk.
Tapi hari-hari tidak pernah berjalan seperti biasanya setelah malam itu, apalagi saat mengetahui jika dia tengah mengandung. apakah dia harus meminta pertanggungjawaban pada lelaki itu atau membesarkan anak itu sendirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanela cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7
Dara membuka matanya perlahan. Ntah berapa jam di tertidur tapi di luar sudah terang, dia melihat sekeliling mencari seseorang. Arkan suda tidak ada lagi di ruangannya. Dara menghembuskan nafasnya ntah apa yang akan terjadi kedepannya.
Apalagi lelaki yang ingin bertanggung jawab itu sudah berkeluarga. Tak mungkin dia menerimanya, itu akan membuat semuanya berantakan. Dia tidak ingin di cap sebagai pelakor. Biarlah dia yang akan membesarkan anaknya itu.
" kamu kuat ya nak" ucapnya sambil mengelus perutnya itu.
Tak lama, seorang perawat muda masuk dengan senyum ramah.
“Sudah merasa lebih baik, Bu?” tanyanya lembut.
Dara mengangguk pelan. “Iya, sudah mendingan. Saya mau pulang hari ini, bisa bantu urus administrasinya?”
“Tentu, tapi sebaiknya Anda istirahat satu hari lagi. Kondisi Ibu masih lemah,” saran perawat itu sopan.
Dara tersenyum tipis. “Terima kasih, tapi saya nggak bisa lama-lama di sini. Saya masih harus kerja.”
Perawat itu sempat menatapnya ragu, tapi akhirnya mengangguk.
“Baik, kalau begitu saya bantu uruskan tagihannya dulu.”
Beberapa menit kemudian, perawat itu kembali membawa selembar kertas.
“Ini rincian tagihannya, Bu. Tapi… sudah dibayar oleh suami Ibu.”
Dara tertegun. “Dibayar… suami saya?” ulangnya pelan, jelas terkejut.
“Iya,” jawab perawat itu polos. “Beliau yang urus semuanya tadi malam sebelum pergi."
........
Arkan baru saja tiba di rumah. Wajahnya tampak lelah, mata sedikit merah karena kurang tidur, namun ia berusaha tersenyum saat melihat sosok kecil yang berlari ke arahnya.
“Papa!” seru Rafa riang, memeluk pinggang Arkan dengan kedua tangannya yang mungil.
Arkan membalas pelukan itu sambil mengusap kepala putranya lembut. “Pagi, jagoan Papa. Udah mandi, ya?”
“Udah dong!” jawab Rafa bangga. “Papa baru pulang, ya? Dari mana, sih?”
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum kecil. “Papa ada urusan kantor, Sayang. Maaf ya, Papa nggak bisa pulang semalam.”
" papa selalu sibuk. Ngga pernah ada waktu buat Rafa"
Arkan tersenyum menahan rasa bersalah. Ia menunduk dan mencubit lembut pipi putranya. “Iya, Papa salah. Tapi kan sekarang Papa udah pulang. Yuk, kita sarapan bareng"
“Yeeey!” Rafa langsung duduk di kursinya, sementara Mbok Asih datang membawa piring berisi nasi goreng hangat dan telur mata sapi di atasnya.
“Pak Arkan, sarapan dulu. Kopinya udah saya buat,” ujar Mbok Asih sambil menaruh gelas di depan sang majikan.
“Terima kasih, Mbok,” balas Arkan singkat.
Selama sarapan, Rafa terus bercerita tentang sekolah, teman-temannya, dan betapa senangnya ia kalau bisa main bola sore ini. Arkan hanya mengangguk dan sesekali tersenyum.
“Papa kenapa bengong?” tanya Rafa polos, membuat Arkan tersentak kecil.
“Enggak, Papa cuma kepikiran kerjaan sedikit.” Ia memaksakan senyum. “Abis ini Papa anterin kamu ke sekolah, ya?”
“Beneran? Nggak bohong lagi?”
Arkan terkekeh kecil. “Nggak. Papa janji kali ini beneran.”
Rafa tersenyum lebar, lalu melanjutkan makannya dengan lahap. Sementara itu, Arkan hanya bisa menatap anaknya dengan tatapan yang penuh rasa bersalah.
......
Setelah mengantarkan putranya itu ke sekolah dan memastikan masuk kedalam kelas. Arkan bergegas menuju kantornya. Untuk dara nanti setelah pulang kerja dia akan menemuinya lagi di rumah sakit.
" Selamat pagi pak"
Sapa para karyawan yang dia lewati. Arkan hanya membalasnya dengan senyum tipis.
Begitu sampai di depan pintu ruangannya, langkah Arkan terhenti ketika Andre, sekretarisnya, menghampiri dengan ekspresi sedikit tegang.
“Pak Arkan, selamat pagi,” sapa Andre sopan sambil menunduk sedikit.
Arkan menatapnya sekilas. “Pagi. Ada apa?”
Andre tampak ragu sejenak sebelum menjawab, “Ehm… Ibu Anda, Bu Ratna, sedang menunggu di dalam, Pak. Sudah sekitar lima belas menit.”
Arkan mengerutkan kening. “Mama?” gumamnya pelan. Ia tak menyangka ibunya akan datang sepagi ini ke kantornya.
Tanpa banyak bicara, Arkan mendorong pintu ruangannya dan melangkah masuk.
"Selamat pagi, Ma,” ucap Arkan sambil berjalan mendekat.
Ratna menoleh dan tersenyum tipis. “Akhirnya kamu datang juga. Mama sudah menunggumu dari tadi.”
“Maaf, Ma. Tadi harus antar Rafa dulu ke sekolah,” jawab Arkan seraya duduk di hadapan ibunya.
Ratna mengangguk pelan, " gimana keadaan kamu dan Rafa"
Akrab duduk di kursinya " aku dan Rafa baik-baik aja ma" ucapnya cuek.
" mama mau ngapain kesini "
Ratna menatap putranya itu dengan sebal " emang mama ngga boleh ketemu sama anaknya sendiri"
" bukan gitu ma, tapikan ini jam kerjanya Arkan. Banyak berkas yang harus aku kerjain"
"Alasan, Malam ini kamu makan di rumah, ya. Mama sudah janji pada keluarga Sahira. Mereka akan datang, dan Mama ingin kamu bertemu dengan putri mereka, Nadine.”
Arkan memejamkan matanya sejenak, lalu menatap ibunya lurus. “Ma, aku sudah bilang, aku nggak mau dijodoh-jodohkan. Kalo aku mau menikah pasti susah dari dulu aku lakukan."
Ratna tersenyum tenang. “Arkan, kamu sudah jadi duda bertahun-tahun. Rafa juga butuh sosok ibu. Nadine itu gadis baik, berpendidikan, dan keluarganya juga terpandang. Mama cuma ingin kamu bahagia.”
“Bahagia, Ma?” Arkan mengulang pelan, suaranya berat. “Bahagia itu nggak bisa diatur. Apalagi dijodohkan seperti itu. Aku ngga suka sama Nadine"
" sudahlah mama ngga mau tau. Intinya nanti malam kamu harus datang jam tujuh, jangan mengecewakan mama lagi"
Setelah ibunya keluar, Arkan menatap kosong ke arah pintu yang baru tertutup. Ia bersandar di kursi, menekan pelipisnya pelan.
Kepalanya pusing dengan tingkah mamanya. Semenjak dia menduda, mamanya selalu ingin menjodohkannya dengan wanita lain.
Tiba-tiba dia teringat Dara. Wanita yang dia tinggalkan tadi pagi dalm keadaan tidur itu.
“Bagaimana keadaannya sekarang?” gumamnya lirih.