"Ambil saja suamiku, tapi bukan salahku merebut suamimu!"
Adara yang mengetahui pengkhianatan Galang—suaminya dan Sheila—sahabatnya, memilih diam, membiarkan keduanya seolah-olah aman dalam pengkhianatan itu.
Tapi, Adara bukan diam karena tak mampu. Namun, dia sudah merencanakan balas dendam yang melibatkan, Darren—suami Sheila, saat keduanya bekerjasama untuk membalas pengkhianatan diantara mereka, Darren mulai jatuh dalam pesona Adara, tapi Darren menyadari bahwa Adara tidak datang untuk bermain-main.
"Apa yang bisa aku berikan untuk membantumu?" —Darren
"Berikan saja tubuhmu itu, kepadaku!" —Adara
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Empat
"Ngomong-ngomong, kenapa kamu ada di sini. Tadi aku tak melihatmu. Dari mana kamu masuk?" tanya Adara.
Sheila dan Galang saling pandang mendengar pertanyaan Adara. Mungkin mereka sedang mencari alasan apa yang akan dikatakan.
"Tadi aku yang minta tolong pada Sheila untuk membersihkan kamar itu. Bukankah kamu mengatakan besok mau ke kantor. Siapa tau kamu capek, dan mau istirahat. Aku minta tolong Sheila karena dia sahabatmu. Kamar itu privasi jadi aku tak mau sembarang orang yang masuk," jawab Galang.
Adara hanya mengangguk sebagai jawaban. Dalam hatinya berkata, bisa saja sang suami mencari alasan yang tepat.
"Betul yang dikatakan Galang, Ra. Aku tadi ada dikamar itu, jelas kamu tak melihatku," jawab Sheila.
"Tapi lain kali jangan terlalu dekat dengan suamiku. Aku tak mau karyawan buat gosip. Kemarin aja aku mendengar ada yang mengatakan jika kau sering berduaan dengan Mas Galang. Aku harap kamu bisa jaga batasan. Aku tak mau ada berita-berita begitu lagi," ucap Adara.
"Memangnya siapa yang mengatakan itu denganmu, Ra?" tanya Galang.
"Kau tak perlu tau, Mas. Aku juga tak menanggapi. Tapi aku harus tegaskan lagi denganmu, Sheila. Ini terakhir kali kau berdua dengan suamiku. Kau bukan sekretarisnya, jadi kerjamu bukan dengan Mas Galang. Kerjakan saja apa yang menjadi tugasmu!" seru Adara dengan tegas.
"Baik, Ra." Sheila hanya menjawab singkat. Dalam hatinya kesal karena ucapan dari sahabatnya itu.
Adara lalu menatap keduanya dengan pandangan tajam. Rasanya ingin menguliti kedua orang tak tahu malu itu. Melihat Sheila yang masih berdiri di samping Galang, akhirnya Adara bicara.
"Kenapa kamu masih ada di sini? Keluarlah!" usir Adara.
Sheila terkejut mendengar ucapan sahabatnya itu, begitu juga dengan Galang. Adara tak pernah bicara kasar begitu, tapi kenapa berubah begini.
"Dara kenapa kamu bicara begitu? Kamu seolah-olah mengusir Sheila," ucap Galang.
"Aku memang mengusirnya. Sudah aku katakan jika aku tak mau ada berita miring tentang kalian berdua. Ini semua demi nama baik kita bertiga. Apa nanti yang akan orang-orang katakan, Sheila seorang pelakor, tega merebut suami sahabatnya sendiri yang telah memberikan dia pekerjaan. Seperti menolong anjing terjepit aja, yang ditolong digigitnya," ucap Adara.
Sheila lalu berjalan keluar ruangan itu tanpa mengucapkan sepatah katapun. Dia marah karena disamakan dengan anjing. Dengan menghentakkan kaki dia berjalan keluar. Adara menahan senyumnya.
"Mas, aku mau kamar itu bersih dari apapun itu!" seru Adara. Setelah itu dia langsung keluar dari ruang kerja suaminya. Sebelum membuka pintu dia lalu berbalik. "Mas, aku tak mau Sheila sering masuk ruangan ini. Aku tak mau ada yang mengadu padaku tentang kamu yang sering berduaan dengan Sheila. Aku harap kamu mengerti dengan ucapanku ini!" kata Adara.
Adara membuka pintu dan segera berjalan meninggalkan ruangan. Dia melirik ke arah meja kerja Sheila. Tampaknya wanita itu masih mengomel. Adara kembali tersenyum menanggapi. "Tunggu saja kejutan-kejutan selanjutnya dariku, Sheila. Jika kau bermain api, maka siap-siaplah untuk terbakar!"
**
Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, menghiasi langit dengan semburat oranye dan ungu yang memikat. Di sebuah rumah yang mewah, Adara tersenyum sambil mengamati pemandangan yang menakjubkan itu dari jendela dapur. Namun, senyumnya tidak tulus; ada sesuatu yang mengganjal di hati kecilnya. Di luar, suara burung berkicau pelan, seolah mengetahui beban yang dia pikul.
Hari ini adalah hari yang berbeda. Selama empat tahun pernikahan mereka, dia selalu memastikan bahawa Galang, suaminya, pulang ke rumah dengan hidangan lezat yang menunggu. Namun, malam ini, segalanya berubah. Adara sudah memutuskan untuk tidak memasak. Dia ingin memberikan pelajaran pada pria yang seharusnya menjadi pilar dalam hidupnya.
Dengan teliti, Adara menyusun rencana kecilnya, merencanakan bagaimana dia akan menghadapi Galang ketika pria itu mengetahui bahwa istrinya tidak menyiapkan apa pun untuk makan malam. Hatinya terlalu sakit mengetahui pengkhianatan suaminya dengan sahabatnya.
Adara menghela napas. Dia ingin marah, ingin melontarkan semua isi hatinya, tetapi adrenalin permainan ini membangkitkan perasaan yang baru. Dia ingin melihat reaksi Galang, merasakan momen ketika semua kebohongan terungkap.
Satu jam kemudian, suara deru mobil memasuki pekarangan rumah mereka. Jantung Adara berdegup cepat. Dia merapikan rambutnya meski dalam pikirannya, dia tidak ingin terlihat terlalu siap. Semakin Galang dekat, semakin dia bisa merasakan ketegangan di udara. Dia bergegas ke kamar, berpura-pura tidur.
“Sayang, aku pulang!” seru Galang dari ruang tamu, suaranya ceria, tak menyadari badai yang akan melanda.
Dia membuka pintu kamar, sedikit ragu. Galang mendekat, perlahan mengangguk saat melihat Adara terbaring dengan mata tertutup. “Dara?"
Adara membuka matanya perlahan, menampakkan wajah yang tampak lelah. “Hmm?”
“Kenapa tidak ada makanan di meja? Aku sudah kangen masakan kamu,” tanya Galang, nada suaranya mulai tampak cemas.
“Maag, Mas. Aku lupa masak,” jawab Adara enteng, berusaha menjaga nada suara agar tetap tenang. Dia merasakan energi negatif yang muncul, dan dalam hatinya, dia tahu bahwa kalimat itu adalah peluru yang tepat untuk menusuk hati Galang.
“Lupa masak? Dari kapan kamu bisa lupa masak? Biasanya, kamu sudah siap sebelum aku pulang! Lagi pula kamu yang memintaku cepat pulang karena sudah cukup lama kita tak makan malam dengan masakan kamu.” Galang mengernyitkan dahi. Dia memperhatikan wajah Adara, mencoba mencari tahu apakah istrinya bercanda atau benar-benar serius.
“Mungkin aku hanya lelah,” ujarnya, tanpa menunjukkan penyesalan. “Kamu tahu, aku baru datang dari luar kota."
“Dara, jangan ngomong kayak gitu. Kamu tahu aku—“
“Ya, aku tahu kau sibuk,” potong Adara, matanya kini tajam menatap Galang. “Selalu sibuk.”
Galang terdiam, menunggu Adara melanjutkan, tetapi dia hanya mengalihkan pandangannya ke arah langit-langit. Dan dalam keheningan yang menggelisahkan itu, Galang merasakan ada sesuatu yang bisa dirasa, tetapi tidak bisa ditangkap.
“Aku hanya... aku pulang setelah seharian bekerja keras untuk kamu, untuk kita. Kenapa kamu jadi aneh begini?” suara Galang terdengar kecewa. “Bukannya kamu yang ingin kita makan malam bersama. Seharusnya jika kamu capek, minta bibi yang masak!”
Adara berusaha menahan tawanya. Seharusnya, ini bukan saatnya untuk bermain dengan emosi, tetapi rasa sakit dihati membuatnya ingin mengerjai sang suami. "Mas, aku benar-benar lupa," jawab Adara dengan entengnya.
Adara menggigit bibir bawahnya susah payah menahan tawa. Dalam hatinya berkata, memang enak dikerjai.
“Nah, kalau begitu, kamu mau makan apa? Kita pesan saja?” Tanya Galang, putus asa, tetapi ada nada kesal di situ.
“Aku sudah makan, Mas. Kamu pesan saja untukmu sendiri. Aku mau tidur. Aku lelah dan mengantuk," jawab Adara.
Galang tampak mengepalkan tangannya menahan amarah. Dia keluar dari kamar dengan perasaan dongkol.
"Kalau tau kamu tak masak, lebih baik aku makan malam dengan Sheila," gumam Galang dalam hatinya. Untuk keluar rumah tak mungkin lagi, nanti Adara pasti akan banyak tanya.
Good Andara jangan mau di injak 2 sama nenek gombel Sheila
kl mau pngsan,slakan aja....drpd mkin malu....😝😝😝