Bagaimana jika sahabatmu meminta mu untuk menikah dengan suaminya dalam bentuk wasiat?
Dara dan Yanti adalah sahabat karib sejak SMA sampai kuliah hingga keduanya bekerja sebagai pendidik di sekolah yang berbeda di kota Solo.
Keduanya berpisah ketika Yanti menikah dengan Abimanyu Giandra seorang Presdir perusahaan otomotif dan tinggal di Jakarta, Dara tetap tinggal di Solo.
Hingga Yanti menitipkan suaminya ke Dara dalam bentuk wasiat yang membuat Dara dilema karena dia tidak mencintai Abi pria kaku dan dingin yang membuat Yanti sendiri meragukan cinta suaminya.
Abi pun bersikukuh untuk tetap melaksanakan wasiat Yanti untuk menikahi Dara.
Bagaimana kehidupan rumah tangga Dara dan Abi kedepannya?
Follow Ig ku @hana_reeves_nt
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hana Reeves, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penjelasan Agam
Abimanyu, Dara dan Firza sampai di kantor notaris milik Agam Hutabarat. Firza turun terlebih dulu untuk bertemu dengan ayahnya, sedangkan Dara berjalan di belakangnya meninggalkan Abi yang sedang mengunci pintu mobil.
Abi merasa kesal dia ditinggal begitu saja. Kemana Adara yang selama ini selalu ramah padanya?
Yan, apa kamu yakin dia bisa menjadi pasangan ku?
Abi berjalan masuk ke dalam kantor notaris itu dengan wajah masam.
Sesampainya di dalam tampak Dara sedang duduk di kursi yang memang disediakan untuk para tamu kantor notaris Agam. Firza sendiri sudah masuk ke ruangan ayahnya. Abi pun mengambil posisi duduk di sebelah Dara.
Tidak ada yang membuka suara diantara keduanya karena masing-masing berkutat dengan pikirannya sendiri.
Apakah mas Abi hendak melaksanakan wasiat Yanti? Tapi apakah ini terlalu cepat?
Adara ini kenapa? Malah konsultasi dengan notaris asing bukannya dengan Dan Samuel atau pengacara Joko Waluyo.
"Dara, papaku bisa menemuimu sekarang" panggil Firza yang muncul dari ruangan ayahnya.
Dara pun berdiri begitu pula Abi yang membuat mereka hampir bertabrakan.
"Maaf" ucap mereka bersamaan.
"Kamu jalan dulu" Abi memberikan jalan ke Dara.
Dara hanya mengangguk gugup.
Kini Dara dan Abi sudah berhadapan dengan Agam Hutabarat, pria berusia 50 tahun dengan kumis diatas bibirnya yang mengingatkan pada aktor lawas Clark Gable.
Dara sudah sering menonton Gone with the Wind jadi dia hapal wajah aktor yang menjadi Rhett Butler.
Agam Hutabarat
Firza Agatha Hutabarat
"Selamat sore nak Dara. Baru sekarang kami bertemu ya" sapa Agam ramah sambil mengulurkan tangan yang disambut Dara.
"Maaf kalau tuan...?"
"Abimanyu Giandra". Abi pun menyambut tangan Agam dan saling berjabat tangan.
"Bagaimana nak Dara. Ada permasalahan apa?" Agam menatap Dara, sedangkan Firza berdiri di belakang kursi ayahnya.
"Begini pak Agam. Dua Minggu lalu sahabat saya, Damayanti meninggal dunia karena kecelakaan. Pada saat pembacaan surat wasiat, ternyata Yanti sudah mempersiapkan semuanya. Dia meninggalkan tiga buah surat wasiat yang terdiri satu amplop atas nama saya, satunya atas nama pak Abimanyu ini dan satunya tanpa nama spesifik berisikan wasiat Yanti yang harus diserahkan kepada ahli warisnya."
Dara menarik nafas sejenak.
"Yang membuat saya menjadi beban adalah wasiat yang dituliskan Yanti untuk saya pribadi yaitu almarhumah meminta tepatnya memutuskan saya menikahi Suami Yanti yaitu pak Abimanyu ini" Dara menunjukkan Abi dengan tangan kanannya.
Firza terkesiap mendengar penuturan teman sejawatnya.
Pantas dia bingung seminggu ini...
"Yang jadi pertanyaan saya adalah, apakah wasiat tersebut bisa dibatalkan secara hukum? Karena Yanti sudah menuliskan lengkap dengan tanda tangan diatas meterai" Dara pun mengambil sebuah amplop putih dari dalam tasnya lalu menyerahkan kepada Agam.
"Maaf nak Dara, bapak membaca surat ini" bagaimanapun ini adalah surat pribadi jadi Agam meminta ijin dengan yang bersangkutan.
"Silahkan pak Agam."
Setelah mendapatkan ijin, Agam membuka amplop yang sudah terbuka. Diambilnya selembar kertas yang sudah agak kusut karena seringnya dibaca.
Agam mengambil kacamata bacanya dan mulai membaca surat itu dengan serius, Firza pun ikut membacanya dari belakang.
Usai membaca, Agam menatap Abi.
"Apakah pak Abimanyu juga menerima surat yang sama?"
Abi mengangguk lalu mengambil sebuah amplop putih yang disimpannya di saku dalam jaketnya.
"Maaf pak Abimanyu, saya harus membacanya" ijin Agam kepada Abi.
"Silahkan pak Agam." Abi menatap datar kepada notaris itu.
Setelah membaca dan membandingkan kedua surat itu, Agam menatap kedua orang yang berada di hadapannya.
"Sebelumnya saya minta maaf bila menyinggung. Apakah nak Dara sudah memiliki pasangan dalam arti sudah menikah?" tanya Agam.
"Belum pak, saya masih singel."
"Aku dan Dara sesama jones pa" sahut Firza.
Agam melirik Firza tajam yang langsung membuat gadis itu terdiam.
"Nak Dara, pak Abimanyu apakah kalian muslim?" tanya Agam lagi.
Abi dan Dara mengangguk.
"Baik, saya jelaskan dulu apa itu wasiat yang diatur dalam Buku II KHI tentang Hukum Kewarisan. Pasal 171 huruf f KHI mendefinisikan wasiat sebagai pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia."
Agam terdiam sejenak agar kedua orang di hadapannya mencerna perkataannya.
"Jika ditelusuri lebih jauh, pengaturan wasiat diatur dalam Al Qur’an, yakni dalam QS. Al Baqarah ayat 180 yang artinya sebagai berikut:
Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.". Agam meminta Firza untuk mengambil Al Qur'an dan membuka bagian ayat itu di hadapan Abi dan Dara.
"Jadi pertanyaan nak Dara Wajibkah Memenuhi Wasiat Perjodohan?
Adapun menurut hukum Islam, jika dikembalikan kepada kaidah fikih muamalah kontemporer, pada dasarnya hukum asal praktik muamalah adalah mubah/boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan hukum kebalikannya. Sehingga, pewaris boleh-boleh saja meminta orang yang ditunjuk untuk menikah dengan seseorang yang dikehendaki si pewaris dalam wasiatnya, selama hal yang diminta tersebut tidak melanggar syariat.
Lalu, apakah orang yang ditunjuk dalam wasiat wajib melaksanakan wasiat tersebut? Jika merujuk pada ketentuan Pasal 197 ayat (2) huruf b KHI, penerima wasiat dapat menolak wasiat yang ditujukan padanya.
Tapi, untuk menilai lebih lanjut, ada baiknya kita merujuk pada al ahkam al khamsah (penggolongan hukum yang lima), sebagaimana diterangkan Sayuti Thalib dalam buku Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam (hal. 17). Dalam buku ini, dijelaskan bahwa Imam Syafi’i menggolongkan al-ahkam al-khamsah menjadi:
Fardh/wajib, adalah perbuatan yang dilakukan atas perintah. Apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan mendapat dosa.
Sunah/mandub, adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar anjuran. Apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa.
Ibahah atau mubah, adalah kebolehan. Suatu perbuatan boleh dikerjakan dan boleh juga tidak dikerjakan. Baik dikerjakan atau tidak, tidak mendapat pahala atau dosa.
Makruh atau larangan ringan, adalah perbuatan yang dilarang untuk dilakukan, namun bila dilakukan tidak diancam dengan hukuman atau dosa. Apabila perbuatan tersebut ditinggalkan, maka mendapat pahala.
Haram atau larangan, adalah perbuatan yang apabila dilakukan mendapat dosa dan apabila ditinggalkan maka mendapat pahala.
Bila dikaitkan dengan wasiat perjodohan, jika seseorang tersebut telah memenuhi syarat untuk menikah, sudah siap menikah, serta keduanya sama-sama sepakat dan rida untuk menikah, maka hukum melaksanakan wasiat tersebut menjadi sunnah, mengingat menikah merupakan sunnah Rasulullah SAW dan menyenangkan hati orang tua bernilai pahala"
Agam berhenti sejenak.
"Tapi, jika salah satu pihak tidak sepakat untuk menikah atau pihak perempuan masih terikat pernikahan dengan orang lain, maka hukum melaksanakan wasiat tersebut bisa berubah menjadi haram, mengingat perkawinan hanya dapat dilangsungkan atas kesepakatan kedua mempelai dan perempuan yang masih terikat perkawinan dengan laki-laki lain dilarang untuk dinikahi.
Jadi, menjawab pertanyaan nak Dara, menurut hemat saya, wajib tidaknya memenuhi wasiat tersebut tergantung pada kondisi yang melatarbelakanginya. Jika pemenuhan wasiat tersebut dinilai lebih banyak menimbulkan bahaya/kerugian (mudharat), Anda berhak menolak wasiat tersebut. Untuk itu, ada baiknya Anda membahas persoalan ini baik-baik dengan keluarga Anda dan pihak-pihak terkait."
Dara terdiam. "Maaf pak Agam, saya bisa menolak wasiat Yanti kan?"
Agam menatap Dara. "Apakah pak Abimanyu seorang residivis?"
Dara menggeleng.
"Apakah pak Abimanyu pernah melakukan kekerasan fisik selama menikah dengan almarhum ibu Yanti?"
Dara menggeleng.
"Apakah karena nak Dara tidak mencintai pak Abi?"
Dara menunduk sedangkan Abi rasanya ingin mengguncang badan langsing di sebelahnya.
Cinta itu bisa tumbuh seiring waktu Adara!
Agam menghela nafas panjang kesekian kalinya.
"Saya bertanya kepada pak Abi. Bagaimana dengan anda sendiri? Apakah anda tetap melaksanakan wasiat almarhum ibu Yanti?"
Abi menatap lurus ke arah Agam. "Saya akan melaksanakan wasiat Yanti. Karena bagi saya, wasiat itu wajib hukumnya dan saya bersedia menikahi Adara walaupun mungkin Adara belum bisa menerima saya saat ini."
Dara mengangkat wajahnya menatap Abi dengan kesal.
Bisa-bisanya dia memutuskan begitu!
"Adara singel, saya singel. Bukan suatu masalah kalau kami menikah!" ucap Abi mantap.
Ya Tuhan, rasanya ingin aku becak-becak wajah tampannya!
Agam yang melihat wajah Yanti menahan amarah berusaha menetralisir keadaan.
"Begini saja pak Abimanyu, alangkah baiknya semua masalah ini dibicarakan kepada keluarga nak Dara. Bagaimana pun jika orang tua merestui, akan lebih mudah ke depannya."
Abi menatap Agam dan tersenyum smirk.
"Itu yang akan saya bicarakan dengan orang tua Adara malam ini."
***
Yuhuuu.
Up juga.
Ohya penjelasan tentang wasiat perjodohan ada di link
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt608bdc75361f4/bolehkah-menolak-wasiat-perjodohan-/.
Jangan lupa like vote gift yaaa
Thanks for your support ❤️🙂❤️