Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.
Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.
Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TDT 23
Pagi itu, sinar matahari menyusup di antara tirai jendela kamar kerja. Suasana rumah masih sunyi, seakan ikut menahan napas setelah peristiwa kemarin. Bagas duduk di depan laptopnya dengan wajah datar namun mata penuh pertimbangan. Hari ini ia sengaja memilih untuk melakukan pertemuan dengan rekan-rekannya melalui daring, bukan karena lebih efisien, melainkan karena satu hal yang jauh lebih pribadi: ia ingin menghindari konflik.
Sejujurnya, Bagas lebih nyaman membahas proyeknya secara langsung bertemu, berdiskusi, mengukur ekspresi lawan bicara, dan meyakinkan mereka dengan gestur-gestur yang tak bisa diwakilkan oleh layar. Tapi kali ini, ia memilih jalan aman. Ia tahu, satu kesalahan langkah saja bisa kembali membangkitkan amarah Aruna. Dan itu berarti mimpi buruk yang nyaris terjadi kemarin Aruna benar-benar pergi bisa menjadi kenyataan.
Ia melirik ke arah pintu yang sedikit tertutup. Di balik sana, Aruna pasti sedang bersiap. Sudah menjadi rutinitas istrinya untuk turun ke kebun pagi-pagi, memastikan semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Sejak awal, Aruna memang menjadikan perkebunan itu bagian dari jiwanya. Dan Bagas sadar, dari sanalah banyak hal besar dalam hidup mereka dimulai, termasuk kestabilan keuangan yang ironisnya jauh lebih kuat daripada apa yang ia hasilkan selama ini.
Bagas menghela napas panjang. Di layar, beberapa wajah sudah muncul satu per satu. Ia tersenyum kecil, berusaha tampil tenang dan fokus. Namun, sebagian dari pikirannya tetap tertinggal di luar ruangan itu.
Pintu ruang kerja terbuka sedikit. Dari celah sempit itu, muncul sosok Aruna yang berdiri tanpa suara. Ia tak melangkah masuk, hanya menatap dari ambang pintu sambil memberi isyarat kecil anggukan singkat dan tangan yang menunjuk ke arah luar. Kode sederhana bahwa ia akan berangkat ke kebun.
Bagas, yang tengah duduk di depan layar laptopnya, segera membalas dengan isyarat serupa. Senyum kecil tersungging di bibirnya, meski terasa kaku dan tertahan. Matanya mengikuti bayangan Aruna yang berlalu melewati lorong, hingga suara langkah kakinya tak lagi terdengar.
Ketika sunyi kembali menguasai ruangan, senyum Bagas pun lenyap, berganti dengan ekspresi gelisah yang tak bisa ia sembunyikan bahkan dari dirinya sendiri.
Ada yang berdesir di dadanya, rasa yang belum bisa ia namai dengan pasti cemburu, khawatir, atau mungkin gabungan dari keduanya. Ia tahu siapa yang mungkin akan ditemui Aruna di sana. Pria muda itu. Peneliti kebun yang sering disebut-sebut, yang meskipun Aruna bersikap profesional terlihat semakin sering berada di sekeliling istrinya.
Bagas memejamkan mata sejenak, mencoba mengusir bayangan-bayangan yang mulai merayap ke pikirannya. Ia membenci perasaan ini. Perasaan tak berdaya, seperti kehilangan kendali atas sesuatu yang dulu terasa begitu utuh rumah, istri, dan kehidupan mereka.
Namun, ia juga sadar, semua ini adalah akibat dari keputusannya sendiri. Ia yang memilih menjauh. Ia yang memilih sibuk. Dan sekarang, ketika Aruna mulai mencari dunia di luar dirinya, mengisi kekosongan yang dulu selalu ia abaikan.
Ia menatap layar laptopnya lagi. Rekannya sudah menunggu diskusi dimulai. Tapi untuk sesaat, ia tetap diam, menatap kosong layar itu sembari menggenggam mousenya.
___
Suara mesin potong rumput dan gemerisik daun bercampur dalam irama khas pagi di perkebunan. Di tengah ladang yang hijau membentang, Raka berdiri tegap, tangannya menunjuk ke beberapa titik tanam sambil menjelaskan sesuatu kepada para pekerja dan sang mandor. Wajahnya serius, ekspresinya menunjukkan bahwa ia bukan sekadar "anak muda" yang hanya meneliti dari balik meja, melainkan seseorang yang benar-benar memahami dan peduli pada apa yang sedang dikerjakannya.
Ia mengoreksi tata letak polybag yang terlalu rapat, menyarankan penyesuaian jadwal penyemprotan, dan bahkan turun tangan langsung saat menjelaskan sistem rotasi panen. Suaranya tegas namun tak meninggi. Ia dihormati, bukan karena jabatan, tetapi karena wibawa yang dibangun dari kerja keras dan komitmennya.
Dari kejauhan, Aruna tiba dengan langkah mantap. Tubuhnya dibalut kemeja kerja berwarna pastel dan celana bahan yang nyaman. Rambutnya diikat rapi. Saat para pekerja melihatnya, mereka segera memberi anggukan kecil tanda hormat. Mandor menyambutnya lebih dulu.
"Selamat pagi, Bu Aruna," sapanya.
Aruna membalas dengan senyum hangat dan anggukan singkat. "Pagi, Pak Sam. Semuanya berjalan lancar?"
"Sampai saat ini tidak ada kendala, Bu. Pak Raka juga barusan beri arahan tambahan."
Matanya lalu berpindah pada Raka, yang juga menyadari kehadirannya. Pria itu segera menghampirinya, menyeka sedikit keringat di pelipisnya dengan handuk kecil yang diselipkan di saku belakang celananya.
“Ibu datang lebih pagi dari biasanya,” ujar Raka sambil tersenyum.
“Kurasa aku butuh udara segar sebelum terlalu banyak memikirkan hal lain,” balas Aruna tenang, meskipun sorot matanya menyimpan sesuatu yang lebih dalam.
Raka menangkap nada itu. Ia tidak langsung bertanya. Ia hanya mengangguk, lalu memberi isyarat ke arah saung bambu yang tak jauh dari sana. “Mari kita, ke saung sebentar. Kita bicara di sana, Bu. Udara juga lebih teduh.”
Aruna mengiyakan, dan keduanya berjalan beriringan melewati deretan pohon sawi yang baru tumbuh beberapa minggu lalu. Di antara mereka ada keheningan sesaat, tapi bukan keheningan yang canggung melainkan yang penuh makna. Seperti dua orang yang sama-sama tahu ada yang perlu dibicarakan, tapi menunggu waktu yang tepat.
Saat mereka sampai di saung, Aruna duduk duluan. Raka menyusul setelah menuangkan air mineral dari botol ke dua gelas plastik.
“Bagaimana kabarnya Ibu Aruna?” tanyanya pelan, penuh hati-hati.
Aruna menghela napas panjang sebelum menjawab. “Aku masih memberikan kesempatan padanya, Raka.”
Raka mengangguk pelan, tak ingin menyela.
“Bagas bilang... setelah proyeknya dengan NGC selesai, dia akan berhenti. Dia akan bantu aku urus kebun ini. Katanya dia janji. Tapi aku...” Aruna menggantungkan kalimatnya, menatap jauh ke arah petak-petak kebun yang mulai ramai oleh suara cangkul dan derit gerobak dorong.
“Ibu belum yakin,” lanjut Raka pelan, menebak isi hati Aruna.
Aruna tersenyum getir. “Iya. Aku ingin percaya, tapi terlalu sering aku berharap dan kecewa. Jadi kali ini... aku cuma mau lihat saja. Apakah dia sungguh-sungguh atau tidak. Aku ingin menilai sendiri, tanpa banyak bicara.”
Raka tidak segera menjawab. Ia hanya tersenyum tipis.
Aruna menoleh padanya, mengerutkan alis. “Kenapa kamu senyum begitu?”
Raka menggeleng pelan, masih dengan ekspresi yang tenang. “Ironis saja, Bu.”
“Ironis kenapa?”
“Saat Ibu Aruna masih memberi kesempatan pada suami untuk kembali... saya justru baru saja berpisah dengan Rita.”
Aruna menatapnya, terkejut. “Kamu dan Rita? Bukannya kalian sudah lama bersama?”
Raka tersenyum tipis, kali ini lebih pahit. “Lama, iya. Tapi lama tidak selalu berarti cocok. Akhir-akhir ini kami lebih sering bertengkar daripada ngobrol. Dan semua selalu soal hal yang sama.”
“Maaf, Raka... aku nggak tahu kamu sedang menghadapi semua itu," ujar Aruna lirih.
“Gak apa-apa, Bu. Saya nggak menyesal. Ada hal-hal dalam hidup yang memang harus dilepaskan sebelum terlambat. Dan saya rasa ini keputusan yang paling jujur yang pernah saya ambil.”
Aruna terdiam. Matanya kembali menyapu hamparan kebun yang tenang. Dalam pikirannya, ada tumpukan harapan dan ketakutan yang saling berkejaran. Ia ingin percaya pada janji Bagas, tapi pengalaman selama ini membuatnya terlalu akrab dengan rasa kecewa.
Kini, setelah mendengar bahwa Raka telah berpisah dari kekasihnya, ada sesuatu yang mengaduk pelan di hati Aruna. Ia tidak bisa menyangkal perasaan itu. Sesuatu yang samar, namun cukup kuat untuk membuatnya menunduk dan menarik napas panjang. Mungkin ini hanya rasa iba. Mungkin juga hanya pantulan dari kekosongan yang dirasakannya di rumah. Tapi ada kemungkinan lain yang belum berani ia namai.
Aruna menatap Raka dari sudut matanya. Pria itu masih menatap ke hamparan hijau, santai namun dengan tatapan yang dalam. Bukan sekali dua kali Aruna mengagumi caranya bekerja tanpa banyak bicara, namun selalu hadir ketika dibutuhkan. Ada ketenangan dalam sikapnya, semacam kehadiran yang tidak menuntut tapi justru membuat orang ingin mendekat.
"Raka," ucapnya tiba-tiba, pelan.
"Ya, Bu?" Raka menoleh, senyum kecil masih di wajahnya.
Aruna hampir saja mengatakan sesuatu yang berbeda, namun ia mengubah kalimatnya, menahannya setengah jalan. "Terima kasih sudah tetap bertahan di sini...untuk kebun ini."
Raka menoleh pelan. Alisnya sedikit berkerut, bukan karena tak paham, tapi karena ia merasakan ada sesuatu yang tertahan dalam ucapan itu. Ada jeda yang ganjil di tengah kalimat. Seperti seseorang yang hampir menumpahkan isi hati, lalu menutupnya kembali dengan penutup yang terlalu kecil. Mata Aruna tidak menatapnya saat berkata demikian. Ada sesuatu yang ingin disampaikan itu jelas bagi Raka tapi entah mengapa urung keluar.
prosanya sip...mkin skbma novel mu thor