Warisan darah. Kutukan leluhur. Perburuan yang tak pernah usai.
Di tengah kabut kelam tanah Pasundan, garis batas antara dunia manusia dan dunia gaib mulai menipis. Makhluk-makhluk yang seharusnya tersegel mulai bermunculan kembali, membawa kutukan, kematian, dan kegilaan. Hanya satu nama yang masih ditakuti oleh mereka yang hidup dalam kegelapan: Rengganis Larang.
Sasmita Wibisana, keturunan terakhir dari pemburu siluman, kini memikul beban warisan berdarah keluarganya. Dengan keris pusaka yang haus jiwa dan senjata api yang diberkahi mantra, ia menyusuri lorong-lorong gelap Nusantara untuk memburu entitas yang tak bisa dilawan manusia biasa. Tapi setiap makhluk yang ia bunuh, semakin dekat pula ia pada satu kebenaran yang telah dikubur berabad-abad: sebuah pengkhianatan di dalam garis darahnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hutan, Ikan dan Hati yang masih bertanya
Jaka masih menatap api sisa pembakaran semalam, wajahnya pucat dan matanya kosong. Rengganis sudah pergi sejak pagi buta tanpa sepatah kata, hanya menyisakan aroma rokok cengkeh dan bekas tapak sepatunya di tanah lembap. Jaka belum tidur sejak dini hari. Di dalam kepalanya, suara-suara bisu terus berbisik: “Kau akan mati di desa ini, Jaka. Mati sia-sia.”
Ia tak tahu harus percaya siapa. Siluman yang datang semalam terlalu nyata. Gigi-gigi panjang. Daging menjijikkan. Suara menggeram yang membuat tubuhnya lumpuh seperti anak kecil ketakutan. Ia ingin pergi. Sekarang juga.
“Mas…”
Suara lembut Ratih membuyarkan lamunannya. Istrinya duduk di sebelah, menyentuh pundaknya dengan tangan dingin. Mata Ratih sembap, tapi masih mencoba tersenyum.
“Kita aman sekarang. Setidaknya… untuk saat ini.”
Jaka menggeleng. “Kau tahu apa yang kulihat semalam? Kau tahu, Ti? Itu bukan maling. Bukan perampok. Bukan manusia. Itu… itu binatang neraka! Kita hampir mati!”
Ratih menarik napas. “Tapi kita selamat, Mas. Karena Rengganis.”
Jaka menatap istrinya dengan mata merah. “Justru itu yang aku takutkan. Perempuan itu bukan orang biasa, Ratih. Dia tahu hal-hal yang nggak masuk akal. Dia… hidup di antara dunia yang bukan milik kita.”
Di sudut gubuk tua itu, Yuyun duduk diam. Wajahnya tertunduk, jemarinya bermain-main dengan ujung baju yang kumal. Ia belum bicara sepatah kata pun sejak matahari naik. Tapi dari raut wajahnya, ada badai yang sedang dipendam.
Jaka sempat melirik ke arah gadis itu. Hatinya terasa tak enak. Mereka satu kampung, satu tanah, dan kini sama-sama terusir dari kenyataan. Orang tua Yuyun—Pasir dan Inah—menderita penyakit kulit yang makin memburuk. Badan mereka lecet, bernanah, dan tubuh mereka panas seperti terbakar dari dalam. Tak ada dukun, tak ada bidan, tak ada Tuhan yang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
“Yuyun…” Jaka akhirnya bicara.
Gadis itu menoleh, matanya merah. Tapi ia tetap menjawab dengan pelan. “Iya, Mang?”
“Kau… kau masih yakin orang tuamu bisa sembuh?”
Yuyun tak menjawab cepat. Ia menunduk sejenak, lalu berkata pelan, “Aku nggak tahu. Tapi kalau aku nyerah sekarang, lebih baik aku mati aja.”
Jawaban itu menghantam Jaka seperti tamparan. Tak ada nada keras, tak ada teriakan, tapi kalimat itu lebih dalam dari belati.
Suara langkah mendekat dari arah hutan menghentikan obrolan mereka.
“Awas, itu dia!” Ratih berdiri dan menggenggam tangan Jaka.
Namun yang muncul dari balik semak hanya Rengganis. Bajunya basah dari lutut ke bawah, rambutnya sedikit acak-acakan, dan di tangannya tergantung dua ekor ikan segar yang masih meneteskan air sungai.
“Laper, ‘kan?” katanya santai. “Untung di bawah sana masih ada sungai yang belum dicemari kutukan Babiang Kurap.”
Dia melangkah ke area api unggun yang sudah mati, lalu mulai menghidupkan bara dengan sigap. Satu batang rokok terselip di bibirnya, dan ia menarik napas dalam-dalam. Asapnya melayang pelan, menyatu dengan udara siang yang lembap.
Jaka hanya memperhatikan. Dalam dirinya, ada rasa kagum dan benci bercampur. Perempuan ini begitu tenang, seolah semua kekacauan ini hanya seperti memasak sarapan di hari minggu.
“Rengganis,” panggil Jaka akhirnya, suara berat.
Perempuan itu tak langsung menjawab. Ia sibuk membelah ikan dengan pisau kecil yang tergantung di sabuknya. Darah ikan menetes di atas tanah.
“Kau tadi bilang siluman itu… Babiang Kurap?”
“Hmm.”
“Kenapa harus aku?”
Rengganis mengangkat kepala. Senyumnya tipis dan tajam. “Karena darahmu. Karena leluhurmu. Karena itu sudah ditulis dalam kutukan pertama yang mengikat rawa di selatan desa. Natawirya bukan cuma dukun. Dia penyangga dimensi. Dan kamu… cucunya.”
“Persetan sama leluhur!” Jaka berdiri, suaranya pecah. “Aku bukan orang pintar. Aku bukan dukun. Aku cuma pengusaha! Aku punya rumah! Istri! Aku—aku cuma orang biasa yang pengin hidup tenang!”
Rengganis menatapnya. Lalu, ia letakkan ikan yang sudah bersih ke atas batang bambu, dan mulai memanggangnya di atas api. Asap mengepul perlahan.
“Sadar nggak, Jaka,” katanya, suaranya kini pelan, tapi ada ketegasan yang menggigit, “kadang manusia terlalu sibuk lari dari warisan, padahal yang mereka tinggalkan justru satu-satunya hal yang bisa menyelamatkan banyak orang.”
Jaka tak menjawab.
“Lihat sekelilingmu. Yuyun kehilangan kedua orang tuanya. Ratih hampir kehilangan kamu. Dan kamu—kamu masih sempat mikir soal rumahmu yang kamu tinggalin, soal harta benda yang bisa dibeli lagi kapan saja. Tapi nyawa? Nurani? Kamu mau jual juga?”
Yuyun menatap Rengganis dengan sorot haru. Bahkan Ratih menunduk, mulutnya sedikit gemetar.
Namun Jaka tetap membisu. Bukan karena tak punya jawaban—tapi karena hatinya sedang bertarung sendiri.
“Kadang…” Rengganis menambahkan sambil meniup ikan yang mulai garing, “ego bisa membunuh rasa peduli. Dan kalau kita udah nggak peduli, kita bukan manusia lagi.”
Hening.
Jaka duduk kembali. Diam. Wajahnya tak menampakkan amarah lagi, tapi juga belum menyerah. Di dalam hatinya, masih ada suara kecil yang terus menolak. Tapi suara lain mulai tumbuh, suara yang terdengar seperti suara ayahnya dulu—berdoa di malam Jumat, membaca doa tolak bala, mengajarkan arti tanggung jawab yang bukan sekadar pada keluarga, tapi juga pada tanah tempat mereka lahir.
Rengganis membagi ikan itu. Yuyun makan perlahan, Ratih menyuapi Jaka walau laki-laki itu belum sepenuhnya lapar.
Siang menjelang sore. Burung tak banyak terdengar. Angin membawa aroma belukar dan dedaunan kering. Gubuk tua itu seperti pulau kecil di tengah dunia yang sedang meleleh.
Dan di antara suapan ikan panggang yang gosong sebagian, Ratih bertanya, pelan tapi jelas:
“Kalau bukan Jaka, lalu siapa?”
Rengganis mengangkat bahu. “Nggak ada. Dia satu-satunya keturunan Natawirya yang masih hidup. Kalau dia kabur, segel lama akan pecah sendiri. Dan Babiang Kurap… akan bebas sepenuhnya.”
“Kalau bebas…?” Yuyun menyambung.
“Penyakit itu akan jadi permulaan. Dia bisa ngebusukin satu kabupaten, satu provinsi… satu negara kalau perlu. Kutukannya bukan sekadar fisik. Dia merusak iman, akal, dan logika. Orang-orang akan saling membunuh, menguliti diri sendiri karena gatal yang nggak pernah sembuh, dan akhirnya menyembah tanah busuk tempat dia tidur.”
Tak ada yang makan lagi setelah itu.
Matahari mulai condong ke barat.
Dan saat bayangan Rengganis semakin panjang di lantai tanah gubuk, ia berdiri dan berkata, “Besok pagi, aku akan ke rawa itu. Sendiri kalau perlu. Tapi… aku harap Jaka ikut. Kalau tidak demi aku, ya demi orang-orang yang belum sempat minta tolong.”
Ia meninggalkan mereka begitu saja. Keluar dari gubuk, melangkah pelan ke arah belakang, mungkin untuk menghisap rokok satu batang lagi sambil menatap matahari tenggelam.
Ratih menggenggam tangan suaminya.
Sementara Jaka menatap ikan yang belum habis di piring daun pisangnya.
Ia tahu… malam ini, ia tak akan bisa tidur lagi.
Bersambung....