Hanya karena uang, Dira menjual rahimnya. Pada seorang pria berhati dingin yang usianya dua kali lipat usia Dira.
Kepada Agam Salim Wijaya lah Dira menjual rahim miliknya.
Melahirkan anak untuk pria tersebut, begitu anak itu lahir. Dira harus menghilang dan meninggalkan semuanya.
Hanya uang di tangan, tanpa anak tanpa pria yang ia cintai karena terbiasa.
Follow IG Sept ya
Sept_September2020
Facebook
Sept September
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sept, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hati Yang Mulai Bercabang
Rahim Bayaran #21
oleh Sept September
Lama sekali Mama menunggu Agam yang tak kunjung keluar dari kamar mandi, padahal ia ingin mengatakan sesuatu yang cukup serius dan penting pada putra semata wayangnya itu.
Ya, putra semata wayang. Bagi Mama, Denis adalah orang asing. Bukan bagian dari keluarga. Hanya benalu, perusak!
Mama kini sedang diburu waktu, sebentar lagi ia juga mau ke rumah sakit. Jadwal Agata melakukan kemotrapi. Rencananya Mama mau bilang saja pada Agam, kenyataan bahwa istrinya itu tengah sakit.
Melihat kondisi terakhir Agata, Mama merasa feeling-nya tak bagus. Takut terjadi apa-apa, wanita yang sudah dipenuhi keriput di seluruh wajahnya itu. Hendak mengungkapkan tabir rahasia anak mantunya.
Tok tok tok
"Agam lama sekali! Mama buru-buru ini!" teriak Mama sembari tangannya terus mengetuk pintu.
"Husst!" bisik Agam sembari menyentuh bibir Dira dengan jari telunjuk. Sebagai kode, agar gadis itu tidak bersuara.
Dira manut, ia mengangguk pelan.
"Iya, Ma. Bentar!" Pura-pura habis mandi, Agam meraup air dalam bak mandi. Membasuh muka dan memberi air sedikit di atas rambut. Seolah ia memang benar-benar habis mandi.
"Jangan ke mana-mana. Kunci dari dalam, kamu boleh ke luar kalau saya suruh!" titahnya dengan penuh penegasan.
Mungkin pria itu sedikit kesal, karena ada sesuatu yang tidak tersalurkan. Bisa dibayangkan betapa bete-nya Agam di kala itu.
Kriet, suara pintu terbuka. "Ingat, kunci dari dalam!" tambahnya lagi.
Agam pun melangkah menuju ruang tamu, penasaran. Apa yang membuat mamanya ingin bicara sesuatu padanya.
"Sini, Mama mau ngomong!"
"Ada apa, Ma?"
"Masalah Agata."
Deg, perasaan Agam udah tak enak.
"Itu ... Agata di Bali!" sebelum ditanya, Agam menjawab.
"Ngomong apa kami ini Gam?"
"Mama nyari Agata, kan?"
Wanita dengan pipi kendur itu pun menghela napas dalam-dalam.
"Ayo ikut Mama!"
"Ikut ke mana?" Alis tebal itu jatuh menungkik tajam ke bawah. Menyiratkan banyak tanda tanya untuk ajakan sang Mama.
"Nanti kamu tahu sendiri, ini alasan Mama memintamu menikah lagi."
"Maksud Mama apa?"
"Jangan banyak tanya Gam. Mama gak mau nanggung beban sesal nantinya."
"Kalau ngomong langsung saja, Ma. Jangan muter-muter!" protes Agam.
"Agata tidak di Bali. Di rumah sakit, sekarang jadwal kemo."
seketika ruangan menjadi senyap, "Mama sembunyikan Agata selama ini?" tuduh Agam pada mamanya itu.
"Istrimu yang minta, makanya Mama ke sini. Gak tega, dia sakit parah tapi tidak ada kamu di sampingnya."
Mendengar itu, tanpa pikir panjang Agam langsung ke garasi. Mengambil kunci mobil dan pergi ke rumah sakit bersama Mamanya.
Sepanjang perjalanan, Agam mengemudi dengan wajah tegang. Sedangkan mamanya, nampak diam duduk sebelah Agam. Mama nampak memikirkan sesuatu.
Setelah melewati barisan gedung-gedung tinggi, beberapa pusat pertokohan dan akhirnya mereka tiba di depan sebuah gedung putih dengan lantai bertingkat-tingkat.
"Jadi selama ini dia di sini?" Matanya menatap nanar tak percaya.
Sementara itu, Mama cuma diam. Melihat hal tersebut. Ada kemarahan dalam diri Agam, mengapa mamanya itu menyembunyikan kenyataan di mana Agata berada selama ini.
Agam pun bergegas masuk ke dalam rumah sakit. Diikuti Mama yang mengekor di belakang. Padahal yang tahu kamar di mana Agata dirawat adalah Mama.
Saat di lift, barulah Agam bertanya kembali pada mamanya itu. "Dirawat di kamar mana?" tanyanya dingin.
"Ruang rafflesia nomor delapan. Lantai dua belas."
Agam pun menekan tombol pada lift. Selama di ruang sempit itu, ia masih saja memasang wajah jutek pada mamanya. Masih kecewa perihal Agata. Mengapa ia tidak tahu sama sekali tentang istrinya itu.
Ketika pintu lift terbuka, Agam langsung keluar mencari kamar yang semula mamanya katakan.
Rafflesia nomor delapan, kini tangan Agam sudah memegang handle pintu. Akan tetapi, sebelum ia membuka pintu itu. Agam mengambil napas dalam-dalam. Belum apa-apa, pria dingin itu matanya terasa perih.
Agam merasa sangat berdosa pada istrinya, bagaimana bisa. Ketika Agata mengalami kesakitan, ia justru tergoda pada wanita lain? Bahkan anak kecil? Ah, Agam melepas handle pintu tersebut.
Tak kuat rasanya melihat Agata, wanita yang ia cintai kini tengah menderita.
Mama dapat merasakan apa yang Agam rasa saat ini, tangannya hanya bisa memupuk punggung putranya. Berharap Agam kuat menjalani kenyataan pahit ini.
"Dia pasti menunggumu!" ucap Mama kemudian, karena Agam terlihat ragu untuk masuk ke dalam.
Setelah mengusap wajahnya, Agam pun menghela napas panjang. Berusaha mengubah mimik wajahnya. Wajah yang semula dipenuhi riak sendu yang dalam itu, kini berusaha ia hias dengan senyum palsu.
Klek
Perlahan Agam mengintip dulu sebelum masuk. Hantinya makin terenyuh, saat melihat Agata duduk menghadap jendela, menatap koson, seolah tidak ada harap.
"Sayang ..." Bibirnya bergetar ketika memanggil istrinya itu.
Agata mendengar, telinganya tidak tuli. Tubuhnya yang sakit, rahimnya yang akan diangkat, jadi tidak ada masalah dengan telinga. Tapi, panggilan dari Agam ia abaikan.
Suara itu hanya membuat dadanya tambah sesak, matanya mendadak terasa perih. Pemilik suara itu, pria yang paling ia rindui. Tapi tak kuasa untuk ia hadapai.
Agata merasa sepertinya, hari bahagianya sudah usai. Penyakit ini seperti palu hakim yang sudah diketuk. Hukumannya sudah diputus. Hidup bahagia dengan Agam tinggal sekedar angan.
Dari balik punggung itu, Agam sudah tahu. Istrinya sedang tersedu. Punggung Agata yang bergetar lembut itu, tak mampu menyembunyikan tangis Agata.
Sejenak Agam menghentikan langkah, menyusut hidung. Sama seperti Agata, Agam juga menangis tanpa suara.
"Tidak apa-apa ... tidak apa-apa!" ucapnya lirih di balik tubuh Agata. Agam memeluk tubuh istrinya dari belakang. Mendekap dengan lembut dan penuh kehangatan.
Cukup lama mereka saling berpelukan, Mama yang semula ada di sana, memilih keluar. Membiarkan keduanya melepas beban di hati masing-masing.
Dua orang itu butuh waktu untuk bicara dari hati ke hati.
Ketika Agam sedang bersama istri pertamanya, lalu bagaimana dengan istri kedua? Istri siri yang masih kecil itu?
Dira sudah mengigil kedinginan, Agam terlalu kejam. Masa tak memperbolehkan dirinya keluar dari kamar mandi sebelum ia perintah.
Beruntung bagi Dira, setelah Bibi mengetuk pintu kamar mandi itu.
"Non Dira kenapa basah kuyup begitu?" tanya Bibi dengan heran.
"Itu ... tadi kepleset!" jawab Dira asal. Kemudian ia memindai isi ruangan.
"Apa masih ada tamu, Bi?" tanya Dira.
"Oh ... Nyonya besar? Sudah pergi sama Tuan Agam, tadi."
Dira pun menghela napas lega, "Ya sudah Bik, saya ke kamar dulu!"
Malam harinya.
"Haching!"
"Haching!"
Dira sudah bersembuyi di balik selimut sejak tadi, karena tragedy shower. Kini badannya malah meriang.
Tok tok tok
"Non Dira, makan malamnya sudah siap."
"Iya, Bik!"
Gadis kecil nan polos itu pun turun dari ranjang, mungkin karena efek meriang. Kepala Dira terasa agak pusing.
"Mas Agam belum pulang, Bik?"
"Belum Non."
"Mas Denis juga?"
"Kalau Mas Denis, sepertinya habis bertemu Nyonya besar. Ia belum kelihatan ke sini lagi!"
Dira hanya manggut-manggut, makan di meja besar seorang diri nyatanya tak enak meski masakan Bibi sangat enak.
Selesai makan, Dira kembali lagi ke kamarnya. Dari tadi ia gulang-guling, tak bisa memejamkan mata. Apalagi hidungnya pengar, dan sepertinya sudah mulai demam.
Kalau sakit begini, Dira jadi ingat Neneknya. Sekilas juga ingat ibunya, bagaimana kondisi ibunya kini?
Di rumah sakit.
Agata sudah terlihat lebih tenang, wanita dengan kepala yang hampir botak karena mengalami kerontokan parah itu, terlihat tidur pulas. Tidur karena obat yang ia minum. Cukup lama Agam duduk di pinggir ranjang. Mengengam tangan Agata.
Dilihatnya jam dinding, pukul satu malam. Matanya kemudian beralih menatap pintu kamar mandi yang tak jauh dari sana.
Seketika ia terhenyak, "Dira!" gumamnya.
"Sial!" umpatnya. Ponsel Dira hilang, ia belum sempat membelikan bocah itu ponsel baru. Kini Agam pun kebingungan untuk menghubungi Dira.
Agam pun mencoba menghubungi nomor rumah. Jam satu malam, bukannya ini kurang kerjaan? bantinnya.
Berkali-kali ia telpon, tak ada yang menjawab.
"Ke mana kamu Dira? Denis ... Bibi?" tanyanya kesal.
Ditatapnya Agata sekilas, kemudian hatinya kembali teringat Dira yang ia suruh sembunyi di dalam kamar mandi.
"Ah ... sial!!!"
Hati Agam kini berada di persimpangan jalan.
Bersambung
i