Aini adalah seorang istri setia yang harus menerima kenyataan pahit: suaminya, Varo, berselingkuh dengan adik kandungnya sendiri, Cilla. Puncaknya, Aini memergoki Varo dan Cilla sedang menjalin hubungan terlarang di dalam rumahnya.
Rasa sakit Aini semakin dalam ketika ia menyadari bahwa perselingkuhan ini ternyata diketahui dan direstui oleh ibunya, Ibu Dewi.
Dikhianati oleh tiga orang terdekatnya sekaligus, Aini menolak hancur. Ia bertekad bangkit dan menyusun rencana balas dendam untuk menghancurkan mereka yang telah menghancurkan hidupnya.
Saksikan bagaimana Aini membalaskan dendamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bollyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21: Sandiwara di Balik Rencana Busuk
Aini menghela napas panjang, matanya menatap nanar ke arah motor matic-nya yang mendadak mati total tepat di tikungan gelap menuju kompleks rumahnya. Di tangan kirinya, kantong kresek berisi plastik parsel murah pesanan Ibu Sarah terasa berat, seberat beban pikiran yang menyelimuti kepalanya.
"Bagus banget, motor mogok di saat yang nggak tepat. Kayaknya semesta pun sudah muak melihat sandiwara di rumah itu sampai-sampai mesin motor ini ikutan protes," gerutunya pelan sambil mencoba menekan tombol starter berkali-kali tanpa hasil.
Karena hari sudah mulai gelap dan jalanan kompleks sedang sepi, Aini terpaksa mendorong motornya. Keringat mulai bercucuran dari pelipis, membasahi baju santainya yang kini terasa lengket.
"Awas saja kalian, sudah bikin aku jadi kurir belanja gratisan buat barang-barang nggak mutu, sekarang malah harus olahraga jantung dorong motor begini. Nikmat mana lagi yang kau dustakan, Aini?" gumamnya sarkastik sambil terus berjuang menanjak sedikit di gerbang rumah.
Setelah hampir sepuluh menit bergelut dengan rasa lelah, Aini akhirnya sampai di depan pagar kayu rumahnya. Ia bermaksud masuk lewat pintu samping agar tidak perlu berpapasan langsung dengan penghuni rumah, namun langkahnya terhenti kaku saat telinganya menangkap suara perdebatan sengit dari ruang tengah yang pintunya sedikit terbuka. Aini segera merapatkan tubuh ke balik tembok yang tertutup rimbunnya tanaman hias, menahan napas agar keberadaannya tidak terdeteksi.
"Bu, aku nggak bisa nunggu sampai besok pagi! Sore ini juga aku harus berangkat ke kampung sendirian!" suara Cilla terdengar ketus, tinggi, dan penuh tuntutan yang tidak mau dibantah.
"Loh, kenapa jadi buru-buru begitu, Cilla? Varo kan baru bisa ambil cuti besok pagi. Kenapa nggak bareng saja biar lebih aman? Kamu perempuan, masa jalan sore-sore begini sendirian naik travel?" sahut Ibu Sarah, suaranya terdengar malas-malasan, sesekali terpotong suara tawa dari acara komedi di TV yang sedang ia tonton.
"Ibu di kampung sudah cerewet banget telepon terus dari tadi! Katanya vendor baju pengantinnya mau tutup kantor sore ini kalau aku nggak datang buat fitting terakhir sekarang! Aku nggak mau ya pas hari H nanti bajunya gak sesuai, kegedean, atau kelihatan murahan kayak baju pinjaman! Aku mau tampil paling cantik dan sempurna di samping Mas Varo, bukan jadi bahan tertawaan orang kampung!" balas Cilla dengan nada manja yang dibuat-buat, namun terselip keangkuhan di dalamnya.
Ibu Sarah mendesah berat, terdengar suara ia mematikan TV dengan kasar.
"Ya sudah, kalau soal penampilan dan gengsi Ibu nggak bisa bantah lagi. Kamu pergi saja duluan kalau itu maumu. Tapi jangan mengeluh kalau nanti di jalan pegal-pegal."
"Satu lagi, Bu," Cilla merendahkan volumenya, membuat Aini harus menempelkan telinganya lebih dekat ke tembok.
"Ibu Dewi bilang dana katering belum masuk semuanya ke rekening. Katanya mereka nggak mau mulai masak atau belanja bahan kalau belum lunas sore ini juga. Mas Varo ke mana sih? Kok dari tadi dihubungi susah banget? Pesan cuma centang satu, telepon dialihkan terus!"
"Ya ampun, Cilla! Apalagi sih?!" Ibu Sarah hampir berteriak frustrasi.
"Varo itu sudah keluar uang banyak bulan ini! Buat mahar emas kamu, buat perhiasan kalung, buat biaya akomodasi travel ke kampung juga! Masa Ibu kamu nggak punya simpanan sama sekali buat urusan perut tamu? Jangan semua-semua dipalak ke Varo dong! Anakku itu cari uang, bukan metik daun!"
"Ih, Ibu kok gitu ngomongnya? Kan Mas Varo yang ngebet mau nikahi aku, ya otomatis dia yang harus tanggung jawab penuh dong! Lagian Ibu Dewi kan sudah bantu urus perizinan di sana. Masa Ibu tega kalau nanti tamu-tamu undangan cuma dikasih air putih sama kacang goreng?"
"Dengar ya, Cilla! Varo itu manager, bukan pemilik bank! Bilang sama ibumu, nggak usah kebanyakan gaya undang tetangga satu kecamatan kalau cuma buat pamer tapi modalnya nggak ada. Kasih saja nasi kotak isi ayam goreng, sambal, sama kerupuk, beres! Nggak usah pakai prasmanan segala kalau ujung-ujungnya cuma bikin kantong anakku jebol sebelum malam pertama!" Ibu Sarah menunjukkan sisi pelitnya yang legendaris, membuat Aini di balik tembok hampir tertawa geli.
Cilla menghentakkan kaki ke lantai dengan sangat kesal, suaranya terdengar sampai ke luar.
"Ya sudah! Nanti aku bicara langsung saja sama Mas Varo! Ibu pelit banget sih kalau buat urusan kebahagiaan anak sendiri! Heran aku!" Cilla melengos pergi menuju kamarnya dan membanting pintu dengan keras.
Di balik tembok, Aini tersenyum sinis, matanya berkilat penuh kemenangan kecil.
"Wah, ternyata drama internalnya jauh lebih seru dari sinetron mana pun. Mau nikah siri saja pakai acara ribut soal katering nasi kotak. Murah banget harga diri kalian, secuil ayam goreng ternyata bisa bikin hubungan calon mertua dan menantu retak," batin Aini. Ia segera merogoh ponselnya, jemarinya lincah mengetik pesan ke Siska, memberitahukan detail baru ini agar persiapan mereka makin matang.
Aini kemudian mengatur napasnya, mengusap keringat di dahi, dan berpura-pura baru saja sampai dengan wajah yang sangat lelah. "Assalamu’alaikum, Bu," ucapnya lirih saat masuk lewat pintu depan.
"Walaikumsalam! Kamu itu beli plastik di mana sih, Aini? Di kutub utara? Di pasar seberang laut? Lama banget!" semprot Ibu Sarah tanpa rasa kasihan sedikit pun melihat menantunya yang kepayahan.
"Motor mogok di jalan, Bu. Tadi Aini harus dorong dari depan kompleks sampai sini. Lumayan jauh," jawab Aini singkat sambil meletakkan belanjaan di meja.
"Halah, paling kamu sengaja mampir-mampir dulu ke toko baju atau makan bakso dulu biar nggak disuruh masak makan malam, kan? Dasar menantu banyak alasan! Sudah, taruh plastiknya di sana, jangan kena tumpahan air. Terus kamu segera mandi, bersihkan diri. Bau keringatmu itu ganggu Ibu lagi santai!"
Aini hanya mengangguk tanpa minat membalas cacian itu. Ia menyerahkan belanjaan dan langsung menuju kamarnya, menutup pintu pelan. Sementara itu, Ibu Sarah langsung menyambar plastik parsel tersebut dan masuk ke kamar pribadinya, mengunci pintu rapat-rapat seolah sedang menyembunyikan rencana rahasia negara.
Di sisi lain kota, di dalam sebuah kantor yang ber-AC dingin namun terasa panas bagi penghuninya, Varo sedang berdiri dengan lutut lemas di depan meja jati besar milik Pak Davin, kepala divisinya yang terkenal tegas.
"Varo, saya sudah cukup sabar melihat grafik kinerjamu yang terjun bebas selama dua bulan terakhir," ucap Pak Davin sambil mengetuk-ngetukkan pulpen mahalnya di atas meja kerja yang sangat rapi.
"Kamu sering menghilang di jam kerja tanpa alasan yang jelas. Alasan urusan keluarga, alasan sakit, tapi laporan dari tim keamanan justru kamu sering terlihat keluar masuk parkiran mal saat jam kantor masih berlangsung. Mau jadi apa kamu di perusahaan ini?"
"Maaf, Pak Davin... Saya benar-benar sedang menghadapi masalah keluarga yang sangat pelik dan menyita waktu," Varo mencoba membela diri dengan wajah memelas, mencoba mencuri simpati atasannya.
"Semua orang di sini punya masalah, Varo! Tapi profesionalisme itu harga mati. Kemarin, gara-gara kamu mangkir dari rapat klien utama tanpa kabar, kita hampir kehilangan kontrak pembangunan senilai dua miliar rupiah! Kalau Bino tidak segera turun tangan dan mempresentasikan semuanya secara mendadak, perusahaan ini bisa rugi besar gara-gara kamu! Kamu ini manager, tapi kelakuan kayak anak magang kemarin sore!" Pak Davin membanting map laporan ke meja hingga menimbulkan suara dentuman yang keras.
"S-saya khilaf, Pak. Saya janji ini yang terakhir kali saya melakukan kesalahan seperti ini."
"Ingat Varo, gaji dan tunjangan managermu itu sangat besar. Kalau kinerjamu kayak orang malas begini, lebih baik saya ganti saja dengan orang yang lebih kompeten dan haus akan prestasi. Ini kesempatan terakhirmu, dan saya tidak main-main!" Pak Davin mengambil sebuah amplop cokelat panjang dari laci mejanya.
"Ini Surat Peringatan Ketiga (SP-3). Kalau sampai Senin depan kamu terlambat satu menit saja, atau pekerjaanmu ada yang meleset sedikit saja, jangan repot-repot datang lagi ke kantor ini untuk berpamitan. Kamu paham?!"
Varo menerima amplop itu dengan tangan yang gemetar hebat, wajahnya pucat pasi seperti mayat.
"Paham, Pak... Terima kasih atas kesempatannya. Saya permisi."
Keluar dari ruangan Pak Davin, api kemarahan dan dendam membakar dada Varo. Ia yakin Bino, rekan kerjanya yang selama ini ia anggap saingan berat, adalah dalang di balik semua laporan negatif ini. Varo langsung melangkah lebar, mengabaikan tatapan rekan kerja lainnya, menuju meja Bino.
"Bino! Berdiri lo sekarang!" teriak Varo hingga seluruh ruangan yang tadinya sibuk mendadak hening.
"Ada apa, Pak Varo? Kok emosi begitu di jam kantor? Nggak enak dilihat rekan-rekan yang lain," tanya Bino dengan sangat tenang, meskipun ia sudah bisa menebak apa yang akan terjadi.
PLAK!
Satu tamparan keras mendarat di pipi kiri Beni. Suasana kantor langsung riuh dengan suara tarikan napas kaget para karyawan wanita.
"Lo kan yang lapor ke Pak Davin?! Lo sengaja mau ngejatuhin gue supaya lo bisa ambil posisi manager gue, kan?! Dasar penjilat bermuka dua lo, Bin!" maki Varo dengan mata merah sedikit pun dengan kekerasan, ia justru tersenyum tipis yang sangat menyakitkan bagi Varo.
"Pak Varo, semua orang di kantor ini punya mata dan telinga. Bapak sering menghilang saat jam sibuk, Bapak sering titip absen lewat teman, dan masalah meeting kemarin itu murni kesalahan Bapak karena mematikan ponsel demi urusan yang nggak jelas. Jangan pernah salahkan saya atau orang lain atas ketidakmampuan Bapak mengelola hidup dan tanggung jawab sendiri!"
"Bacot lo! Gue tahu lo pengen banget jabatan gue dari dulu!" Varo hendak melayangkan pukulan lagi, tapi beberapa karyawan pria segera berlari dan memegangi kedua lengannya dengan kuat.
"Sudah, Pak Varo! Ini kantor, bukan ring tinju! Jangan bikin malu diri sendiri kalau nggak mau langsung diseret satpam ke luar!" teriak salah satu rekan kerjanya yang paling senior.
Varo akhirnya ditarik menjauh, diseret masuk ke dalam ruangannya sendiri dengan napas tersengal dan harga diri yang hancur. Tiba-tiba ponselnya di atas meja berdering nyaring. Nama Cilla muncul di layar.
"Halo! Apa lagi sih, Cilla?! Aku lagi stres tingkat dewa di sini!" bentak Varo saat mengangkat telepon tanpa salam.
"Kok kamu malah bentak aku?! Aku telepon dari tadi cuma mau bilang kalau Ibu butuh uang katering sekarang juga, kalau nggak pernikahannya batal! Kamu ke mana saja sih? Apa kamu lagi mesra-mesraan sama cewek lain sampai lupa sama aku?!" Cilla balik berteriak histeris dari seberang sana.
"Aku lagi hampir dipecat gara-gara ngurusin drama kamu terus, Cilla! Bisa nggak sih kamu diam dan sabar sebentar?! Nanti malam aku transfer setelah otakku tenang! Jangan telepon lagi atau aku benar-benar bisa gila!" Varo mematikan ponselnya dengan kasar dan melemparnya ke atas meja hingga ponsel itu bergeser menabrak tumpukan berkas.
Di rumah, Ibu Sarah sedang bergelut dengan rasa frustrasinya yang kian memuncak. Ia mencoba membungkus barang-barang seserahan untuk Varo menggunakan plastik parsel yang tadi dibeli Aini, namun tangannya yang kaku justru memperburuk keadaan.
"Duh, kenapa plastiknya gampang sobek begini sih? Apa Aini sengaja beli yang murahan buat ngerjain aku ya?" gerutu Ibu Sarah dengan wajah masam. Padahal, ia sendiri yang hanya memberikan uang pas-pasan dan menyuruh Aini membeli yang paling ekonomis.
Setelah mencoba berkali-kali selama satu jam dan hasilnya tetap terlihat seperti bungkusan sembako pasar kaget, Ibu Sarah menyerah total. Ia tahu ia butuh bantuan seseorang yang telaten. Tanpa rasa malu, ia pun melangkah menuju kamar Aini dan membanting pintunya terbuka lebar tanpa mengetuk.
BRAK!
"Aini! Keluar kamu sekarang!"
Aini yang sedang mencoba memejamkan mata sejenak langsung bangkit dengan jantung berdebar.
"Ibu! Kenapa sih selalu nggak ketuk pintu? Aini kaget banget, Bu! Kalau Aini punya penyakit jantung gimana?"
"Nggak usah banyak drama, kamu masih muda! Cepat ke kamar Ibu sekarang. Kamu bantu bungkusin semua seserahan punya teman Ibu itu. Tangan Ibu lagi kram dan pegal, nggak bisa rapi kalau bungkus sendiri. Cepat, jangan pakai lama!" perintahnya seenak jidat sambil melengos pergi.
Aini mengikuti mertuanya ke kamar dengan perasaan campur aduk. Di lantai berserakan barang-barang yang menurut Aini sangat miris dan menyedihkan untuk sebuah acara seserahan pernikahan. Ada mukena yang bahannya kasar dan panas, sajadah yang tipisnya mirip sapu tangan, dan set peralatan mandi yang mereknya bahkan tidak pernah terdengar di iklan TV mana pun.
"Ini seserahan teman Ibu kok... barangnya kayak gini ya, Bu? Sajadah ini bukannya yang dulu Ibu simpan di gudang karena nggak pernah dipakai?" tanya Aini sambil membolak-balik barang tersebut, mencoba menahan senyum sinisnya.
Wajah Ibu Sarah memerah karena malu sekaligus kesal.
"Sotoy kamu itu! Ini barang baru, masih bau toko! Teman Ibu itu orangnya sangat hemat dan nggak suka yang mewah-mewah, katanya yang penting berkah. Sudah, kerjakan saja yang rapi, jangan banyak protes atau nanya-nanya lagi!"
"Oh, gitu. Sayang banget ya calon menantunya teman Ibu, dapet seserahan yang sangat 'hemat' begini di hari spesialnya," sindir Aini sambil mulai menata barang-barang itu dengan sangat telaten. Karena Aini memang memiliki selera seni yang bagus dan tangan yang terampil, dalam sekejap barang-barang murahan itu terlihat sedikit lebih berkelas dengan sentuhan lipatan yang artistik dan hiasan pita-pita perak yang manis.
"Nah, sudah selesai semua, Bu. Lihat, jadi cantik kan?"
Ibu Sarah mengintip hasilnya dari balik bahu Aini, matanya sedikit membelalak karena puas. "Hmm, ya lumayanlah, nggak malu-maluin banget. Ya sudah, tugasmu sudah selesai, kamu keluar sana. Ibu mau tidur lagi, jangan ganggu dan jangan berisik di depan kamar Ibu!" usir Ibu Sarah tanpa kata terima kasih sedikit pun.
Aini hanya tersenyum tipis, sorot matanya dingin.
"Sama-sama, Bu. Semoga teman Ibu suka ya sama 'kreativitas' Aini hari ini," ucapnya sarkastik sebelum melangkah keluar kamar.
Malam harinya, saat makan malam berlangsung, Varo pulang dengan wajah yang sangat gelap dan aura yang mencekam. Ia hampir tidak bicara sepatah kata pun, hanya suara denting sendok dan piring yang terdengar di ruang makan yang sunyi.
"Mas, besok jadi berangkat ke kampung Ibu pagi-pagi?" tanya Aini tenang, memecah keheningan yang menyesakkan itu.
Varo tersedak air minumnya, ia terbatuk kecil sebelum menjawab.
"E-iya, jadi. Mas, Ibu, sama Ayah besok subuh-subuh sudah harus jalan biar nggak kena macet di jalur utama."
"Kenapa mendadak banget urusannya, Mas? Ada masalah genting di sana?" tanya Aini lagi, matanya menatap lurus ke arah Varo, seolah ingin menembus kebohongannya.
"Urusan tanah warisan, Aini. Tanah kakek di sana ada yang mau gusur buat proyek tanpa izin kita, jadi kita harus segera ke sana buat luruskan surat-suratnya sekalian mau kita lepas saja tanahnya kalau ada yang nawar tinggi," sahut Ibu Sarah cepat dengan nada bicara yang sangat meyakinkan, mencoba menyelamatkan anaknya yang tampak gugup.
"Tanah kakek? Bukannya sudah habis dijual tahun lalu buat lunasin cicilan ibu yang sempat menunggak itu ya, Bu?" tanya Aini dengan nada datar namun menohok.
Varo berkeringat dingin, ia merasa seolah sedang disidang.
"Masih ada satu petak lagi di ujung desa, Ai. Kamu nggak tahu saja urusan internal keluarga. Makanya kita harus ke sana sekarang sebelum hilang diklaim orang lain."
"Oh, gitu. Ya sudah kalau memang mendesak. Kalau gitu Aini ikut saja ya? Kan Aini juga kangen berat sama Ibu Dewi di kampung, rumah kita kan cuma beda beberapa blok saja kalau mau ke sana. Sekalian Aini mau ziarah juga," tawar Aini dengan senyum yang terlihat tulus namun mematikan.
"Jangan! Nggak usah!" Varo hampir berteriak, membuat Pak Wijaya (ayahnya) yang sedang makan ikut kaget.
"Maksudku... jalanannya lagi rusak parah banget di sana, Ai. Banyak truk-truk besar karena ada proyek perbaikan jalan nasional. Bahaya buat kamu, lagian kamu kan gampang banget mabuk darat kalau jalannya berkelok-kelok. Kamu di sini saja, istirahat dan jaga rumah."
"Iya, Aini. Kamu di rumah saja, jangan bandel. Lagian besok rumah makanmu ada pesanan katering lumayan banyak, kan? Sayang banget kalau dilewatkan begitu saja, lumayan buat tambah-tambah tabunganmu sendiri, kan?" timpal Ibu Sarah dengan senyum palsu yang paling manis yang pernah ia buat dalam hidupnya.
Aini mengangguk pelan, seolah-olah ia sudah termakan oleh alasan mereka.
"Iya juga sih, Ibu benar. Pesanan katering besok memang lumayan sih. Ya sudah, Aini di rumah saja kalau gitu. Titip salam sayang ya buat keluarga di sana, dan titip doa buat almarhum kakek."
Varo dan Ibu Sarah menghela napas lega secara bersamaan, seolah baru saja lolos dari lubang jarum. Mereka merasa sudah memenangkan babak sandiwara ini dengan sangat sempurna. Padahal, mereka tidak sadar bahwa Aini justru sedang menahan tawa, karena ia sudah menyiapkan kejutan yang jauh lebih besar yang akan meledak tepat di wajah mereka semua hari Sabtu nanti.
BERSAMBUNG...