Annisa Dwi Az Zahra gadis periang berusia 20 tahun yang memutuskan ingin menikah muda dengan lelaki pujaannya yang bernama Rian Abdul Wahab, namun kenyataan pahit harus diterima ketika sebuah tragedi menimpanya.
Akankah Nisa bertemu bahagia setelah masa depan dan impiannya hancur karena tragedi yang menimpanya?
"Kini aku sadar setelah kepergianmu aku merasa kehilangan, hatiku hampa dan selalu merindukan keberadaanmu, aku telah jatuh cinta tanpa kusadari" Fahri
"Kamu laki-laki baik, demi kebaikan kita semua tolong lepaskan aku, karena bertahan pun bukan bahagia dan pahala yang kita dapat melainkan Dosa" Nisa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝐈𝐩𝐞𝐫'𝐒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
"Hmmmffttttt" Rena tertawa ditahan mendengar panggilan Nisa pada Rian. Adiknya dipanggil om sama perempuan yang lagi gencar-gencarnya didekati itu.
Sedangkan Rian yang melihat Rena sang kakak menertawakannya Ia hanya melengos pergi ke dapur.
"Ayo silahkan duduk. Cobain ini semua ibu yang bikin." Rena mempersilahkan Nisa duduk kemudian mendekatkan makanan-makanan yang sudah tertata dipiring ke arah Nisa.
"Kok kue-kuenya ditata dipiring kak. Bukannya ini pesanan orang?"
Nisa menyampaikan keheranannya melihat meja yang dipenuhi beraneka macam kue.
"Kan bikinnya banyak, sekalian buat acara nanti sore." Rena melirik ke arah Nisa yang makin keheranan mendengar akan ada acara nanti sore.
"Eh Caca sudah sampai. Apa kabar sayang?" Bu Widya datang sambil menggendong Naina mendekat ke arah Nisa kemudian cipika-cipiki, Binar bahagia memenuhi wajahnya bu Widya begitu kentara.
"Alhamdulillah baik bu" Nisa mencium tangannya bu Widya kemudian membalas cipika-cipikinya, tatapannya berakhir pada batita gembul menggemaskan yang sedang menatapnya dari atas sampai bawah.
"Eh eh ada boneka hidup. Ini ciapa namanya? Masya Allah lucunya, boleh gendong gak bu?" Sambil menjawil-jawil pipi Naina dengan gemas, Nisa menatap bu Widya dan Rena bergantian meminta ijin buat gendong Naina.
"Boleh sayang. Tapi sebenarnya Nai paling gak betah digendong, ini saja anteng karena baru bangun tidur." Setelah mencium pipi gembulnya kemudian bu Widya memberikan Naina pada Nisa, dan langsung disambut dengan penuh senyum dan gemas oleh Nisa.
"Tan. Cake nya mau pake lilin gak?" Suara Nina mengalihkan perhatian bu Widya dan Nisa yang langsung mengerutkan keningnya melihat kue ulang tahun yang dibawa Nina, Ia melihat ada tulisan Happy Birthday Ibu.
"Lho. Ibu ulang tahun?" Nisa menatap bu Widya penuh tanya bergantian dengan yang lain satu persatu Ia tatap menuntut penjelasan. Kebetulan Rian juga sudah kembali bergabung disitu.
Bu Widya tersenyum simpul sambil menganggukkan kepalanya
"Iya hari ini hari kelahiran ibu. Makanya ibu ingin sekali berkumpul bahkan berharap ibunya Caca bisa datang kesini. Nanti teleponin ibunya ya biar ibu yang bicara."
"Ya ampun kenapa ibu gak bilang kalau hari ini ulang tahun ibu. Kemarin pas nelepon minta Caca datang. Kalau begini kan gak enak Caca gak bawa apa-apa dan gak ngasih kado juga ke ibu." Nisa merajuk seperti ke ibunya sendiri, sedangkan Rena menatap Rian dan Nina bergantian sambil mengulum senyum.
🍁🍁🍁
[Iya bu. Kesini nya sama ayah aja, sampai ketemu disini]
Nisa mengakhiri panggilan telepon bersama ibunya yang sudah berlangsung lama dari setelah sholat Dzuhur, Walaupun sebenarnya dari tadi obrolan didominasi oleh bu Widya.
Bu Widya dan ibunya langsung akrab sudah seperti orang yang sudah lama saling kenal padahal ketemu pun belum pernah baru mau bertemu nanti sore, akan tetapi mereka sudah seperti sahabat yang lama tidak berjumpa.
"Sudah selesai neleponnya?" Suara Rian yang berasal dari ruang tamu mengagetkan Nisa yang mau memasukkan handphonenya ke dalam tas.
"Om kebiasaan kayak Jailani ih suka ngagetin. Tiba-tiba ada gak ketahuan darimana asalnya." Nisa menggerutu kemudian memalingkan wajahnya kesamping karena tidak kuat bersitatap langsung secara lama. Tatapan Rian memang teduh tapi entah kenapa bisa menusuk jantung dan bikin kesehatannya menurun.
"Siapa yang ngagetin. Emang dari tadi juga disini yang lagi nelepon aja terlalu fokus. Mau ikut gak?
"Gak mau ah. Entar kayak tadi pagi kena prank lagi." Belum tau arah kemana Nisa langsung menolak tawaran Rian, Ia masih ingat tadi pagi ketika diajakin ke KUA makanya lebih dulu menolak dari pada kena Korban keisengan untuk yang kedua kalinya.
"Siapa yang nge prank? Serius ini mau keluar jemput mas Nathan ke Stasiun. Ikut yuk biar ada teman ngobrol."
"Plis deh Ri! kemana-mana harus ditemenin biasanya juga enggak, semenjak ada Nisa kenapa jadi kolokkan.Jangan ikut Ca mending bantuin kakak bikin salad!" Rena langsung melarang Rian yang ingin mengajak Nisa menemaninya. Ia heran dengan tingkah adiknya yang mendadak kolokkan.
Jatuh cinta segitunya. kemana-mana ingin bareng, kayak anak SMP saja. Rena menggerutu dalam hati greget sama pasangan yang sama-sama sedang jatuh cinta.
Nah kan kalau kak Rena yang melarang pasti gak berkutik, hmft
Nisa menertawakan Rian yang cuma diam sambil membuang muka mendengar ocehan sang kakak.
"Ya sudah aku berangkat dulu. Assalamu'alaikum" Rian pamit sambil mengucap salam, terakhir menatap Nisa yang kebetulan sedang menatapnya juga. Pandangan mereka bersirobok dan saling mengunci. Selalu ada perasaan yang sama merayap pada hati keduanya tiap kali mau berpisah. Tidak rela
Walaupun belum ada kata yang terucap untuk sebuah pegangan yang pasti dalam sebuah hubungan, namun keduanya seolah-olah saling menjaga dan memahami rasa masing-masing.
Terbukti ketika Rian dikenalin sama keponakan managernya di kantor Ia menolak secara halus. Semenjak Ia dekat dengan Nisa hati ingin selalu menjaga hatinya.
Waktu terus bergulir siang pun mulai beranjak berganti sore, suara adzan Ashar di Mesjid sudah selesai dikumandangkan beberapa menit yang lalu.
"Ca. Tolong masukin nomor hp ibunya Caca ke hp ibu biar nanti kalau ada waktu senggang bisa calling-calling." Bu Widya memberikan hpnya pada Nisa.
Nisa menerima hpnya Bu Widya sambil tersenyum kemudian Ia memasukkan nomor handphone ibunya.
Gak kebayang kalau mereka berdua teleponan pasti lupa waktu, orang sama-sama suka ngobrol.
Setelah mengembalikan hp Bu Widya Nisa pamit ke depan karena mendapatkan pesan dari sang ibu bahwa kedua orang tuanya itu sudah berada di depan rumah.
Akhirnya Rena dan Bu Widya pun mengikuti Nisa menuju teras depan.
Keriuhan pun seketika memenuhi ruangan rumah.
Sementara itu para laki-laki yang terdiri dari Pak Ahmad, Rian dan Nathan setelah acara perkenalan mereka ngobrol di ruang tamu, yang mereka bahas tidak jauh dari seputaran pekerjaan.
"Jeng. Kalau kayak gini saya ingat dulu pas lamaran Rena. Jadi sekarang pun berasa kayak mau besanan ya."
"Wah saya malah belum pernah merasakan. Jadi gak sabar juga pengen lamaran, tapi Arman masih belum ada tanda-tanda minta dilamarin, ngenalin perempuan aja belum." Bu Ratna menimpali dengan diakhiri keluhan tentang anak sulungnya yang selalu disibukkan pekerjaan.
"Anak laki-laki memang beda sama anak perempuan. Kalau perempuan asalkan udah cocok dan serius pasti langsung ditarik dibawa pulang. Beda sama laki-laki, pura-pura gak mau gak peduli padahal hati terpikat." Bu Widya mencondongkan badannya ke arah Bu Ratna membuka fakta tentang laki-laki setengah berbisik.
"Hemm. Curhat Bu?" Rena yang duduk di samping ibunya langsung menyahut.
Setelah beberapa menit berbincang, Acara inti pun yaitu makan-makan keluarga dimulai dengan Do'a bersama terlebih dahulu yang di pimpin oleh Pak Ahmad karena orang tuanya Nina yang biasa memimpin tidak bisa hadir, keponakan dari istrinya mengalami kecelakaan.
Suasana penuh canda tawa dalam kekeluargaan begitu berasa dirumah Keluarga Bu Widya.
Sangat berbeda sekali dengan yang terjadi di sebuah kafe daerah Kemang Jakarta Selatan. Seorang perempuan cantik sedang menangis dengan satu tangan dipegangi seorang laki-laki yang duduk berhadapan dengannya.
"Tolong beri aku waktu untuk meminta restu kembali. Mereka orang tuaku tanpa restu mereka aku takut langkahku gak berkah. kamu mau kan sayang?" Untuk kesekian kalinya Fahri meminta Nadira bersabar.
Restu sang Ibu yang belum Ia kantongi membuat hubungannya dengan Nadira begitu turun naik.
Ia faham dengan Nadira yang selama beberapa bulan belakangan terus menuntut kepastian mengingat hubungan mereka sudah mau menginjak tahun ketiga namun sama sekali belum ada tanda-tanda untuk menuju ke jenjang pernikahan.
Nadira tidak menjawab sepatah katapun, Ia hanya menganggukan kepalanya diiringi isakan kecil.
Sebagai perempuan yang berstatus kekasih Fahri yang sudah hampir 3 tahun Ia merasa digantung tanpa adanya kejelasan yang mengarah ke hal yang lebih serius seperti ikatan pernikahan yang diimpikan semua perempuan.
Apalagi dari segi ekonomi maupun usia Fahri sudah lebih dari mapan.
Dan akhir-akhir ini Ia berfikiran ingin mengambil sikap karena mengingat usianya yang sudah menginjak 25 tahun. Sudah cukup dewasa bahkan matang untuk seorang perempuan.
"Sudah jangan nangis lagi. Jelek." Fahri mengusap air mata Nadira penuh sayang dengan tangan kirinya. Sedangkan tangan kanan masih menggenggam erat tangan sang kekasih.
🍁🍁🍁
Sabar memang tidak terbatas, yang membuat hati berhenti untuk sesuatu yang telah dimulai bukan karena habis kesabaran, tapi fase lelah lah yang akhirnya memberhentikan hati untuk mengikuti sesuatu yang sudah berjalan walaupun dalam waktu lama.
jagain fahri atuhhh
masih membanggongkan ceritanya😯