Barbar Queen & Sang Ceo Kejam

Mansion mewah milik Jason Shu

Seorang dokter tengah memeriksa kondisi Queen yang masih terbaring tak sadarkan diri di ranjang besar itu. Alat medis sederhana terpasang, sementara suasana kamar terasa sunyi dan tegang.

“Apakah luka di kepalanya tidak apa-apa?” tanya Jason dengan nada cemas, pandangannya tak lepas dari wajah pucat Queen.

“Lukanya mulai membaik,” jawab dokter tenang. “Namun, Nona Lin pingsan karena mengalami syok berat. Apakah dia baru saja mengalami sesuatu yang mengguncang emosinya?”

Jason terdiam sesaat sebelum menjawab, suaranya terdengar berat.

“Ingatannya pulih… dan ingatan itu membuatnya terpukul. Sejak kecil dia kehilangan ingatan karena sebuah kejadian mengerikan yang terjadi tepat di depan matanya. Kini semua kenangan itu muncul kembali sekaligus. Emosinya sempat tak terkendali.”

Dokter mengangguk pelan, ekspresinya penuh pengertian.

“Nona Lin membutuhkan waktu untuk mengobati luka di hatinya. Dia perlu ditemani, dijaga, dan dibuat merasa aman. Bantu dia kembali ceria agar bisa keluar dari mimpi buruk yang menghantuinya.”

“Apa yang harus kami lakukan agar Queen bisa cepat membaik?” tanya Jason, nadanya penuh harap.

“Buatlah dia merasa bahagia dan perlahan melupakan kenangan pahit itu,” jawab dokter. “Bayangkan saja, ingatannya pulih secara tiba-tiba, seolah peristiwa traumatis itu baru ia alami semalam. Pikiran dan perasaannya tentu belum siap menerima kenyataan seberat itu.”

Setelah dokter pergi, Jason duduk di tepi ranjang. Tangannya terangkat perlahan, menyentuh wajah pucat gadis itu.

“Queen… mulai hari ini aku tidak akan membiarkanmu menderita lagi,” ucap Jason lirih. “Aku akan selalu berada di sisimu.”

Ia menunduk, keningnya hampir menyentuh tangan Queen yang dingin.

***

Di sisi lain, ruang interogasi dipenuhi suasana dingin dan menekan. Zoanna duduk dengan kedua tangan terborgol di atas meja besi, wajahnya pucat namun masih berusaha terlihat tenang. Di hadapannya, Kapten Yu meletakkan sebuah map tebal dan sebuah tablet.

“Laporan dan rekaman kejadian sepuluh tahun lalu ada di sini, Zoanna,” ujar Kapten Yu dengan suara tegas. “Apa penjelasanmu?”

Zoanna mengernyit, sorot matanya bergetar.

“Rekaman apa?” tanyanya, berpura-pura tak tahu.

“Pembunuhan yang kau lakukan,” jawab Kapten Yu dingin. “Rekaman ini selama ini disimpan oleh Tuan Jason Shu. Ia tidak melaporkanmu karena tidak ingin Queen kehilangan satu-satunya orang yang ia kenal sebagai ibu. Anak itu hanya mengingat dirimu.”

Zoanna terdiam. Bibirnya bergetar sebelum akhirnya ia berujar,

“Jadi… Jason Shu ternyata adalah teman dari Lin Fan.”

Kapten Yu menatapnya tajam.

“Zoanna, kau sangat pintar menyembunyikan kesalahanmu. Bukannya berubah, hidupmu justru semakin berantakan. Anakmu sudah dewasa, namun tetap harus menanggung penderitaan akibat dosamu. Kini semuanya telah terungkap.”

Ia berhenti sejenak, lalu bertanya dengan nada berat,

“Apakah kau mengakui semua perbuatanmu?”

“Tidak! Aku tidak akan mengaku!” seru Zoanna dengan suara meninggi. “Aku ingin bertemu Queen. Dia tidak bisa menuntutku! Aku tidak mau menghabiskan sisa hidupku di dalam penjara!”

Kapten Yu menatapnya tanpa emosi.

“Akibat perbuatanmu, hingga saat ini Queen masih belum sadar. Apakah di kehidupan lalu anak itu berutang padamu, hingga di kehidupan ini ia harus menanggung semua penderitaan?” ucapnya dingin. “Kau membunuh suamimu sendiri di depan anak berusia dua belas tahun. Sejak itu Queen tumbuh tanpa bayangan seorang ayah. Bahkan ia tak pernah tahu siapa ayahnya sebenarnya.”

Zoanna mengepalkan tangan.

“Aku yang membesarkan dia!” bantahnya keras. “Jadi kau tidak berhak mengambil itu dariku. Lin Fan hanya peduli pada pekerjaannya dan mengabaikan perasaanku. Dia jarang pulang dan membiarkanku mengurus semuanya sendiri. Saat aku melahirkan, saat aku merawat anak, saat mengurus rumah tangga—aku sendirian! Sebagai suami, dia tidak pernah ada di sisiku. Dia lebih peduli pada anak buahnya daripada istri dan anaknya sendiri!”

“Walaupun begitu, itu bukan alasan untuk membunuhnya,” potong Kapten Yu tegas.

“Lebih baik dia mati!” bentak Zoanna. “Sejak menikah dengannya, aku merasa dicampakkan, seperti benda tak berguna!”

Kapten Yu menatapnya tajam.

“Jadi kau tetap tidak mengakui kesalahanmu?”

“Kalau dia adalah suami yang baik, mana mungkin aku melakukan semua itu!” jawab Zoanna tanpa rasa bersalah.

Kapten Yu berdiri dari kursinya.

“Zoanna, mengaku atau tidak, bukti kejahatanmu sudah lengkap. Kau tidak akan bisa menghindari hukuman berat.”

Wajah Zoanna memucat.

“Hukuman apa yang akan aku terima?” tanyanya dengan suara bergetar.

“Tunggu saja keputusan hakim,” jawab Kapten Yu singkat sebelum melangkah keluar dari ruang interogasi, meninggalkan Zoanna dalam keheningan yang mencekam.

"Lin Fan… semasa hidup kau menyingkirkanku, setelah mati pun kau tetap melakukan hal yang sama.

Kenapa aku begitu lengah? Kenapa aku tak pernah memperhatikan rekaman CCTV di lokasi kejadian? Jika saja aku lebih berhati-hati… apakah aku masih bisa bebas?"

Keesokan harinya

Queen yang telah sadar melangkah keluar dari kamarnya. Ia berhenti sejenak, menatap sekeliling rumah yang mewah dan luas itu dengan pandangan asing. Langkahnya perlahan saat ia menyusuri lorong, lalu menuruni anak tangga. Ia masih mengenakan pakaian tidur dengan jubah tebal yang membungkus tubuhnya.

“Nona, selamat pagi. Sarapan telah disiapkan,” sapa seorang pria paruh baya—asisten rumah tangga—dengan senyum ramah.

“Paman… ini rumah siapa?” tanya Queen ragu.

“Nona, semalam Tuan Shu yang membawa Anda pulang. Ini adalah rumah beliau,” jawab pria itu sopan.

“Jason Shu…” gumam Queen pelan.

“Nona, Tuan sedang keluar karena suatu urusan. Tidak lama lagi beliau akan pulang,” lanjut asisten itu.

“Paman, setelah sarapan aku akan pergi,” ucap Queen lirih.

"Kak Jason terlalu setia pada Papa.

Aku tidak ingin terus merepotkannya. Aku juga tidak ingin dia merasa berutang budi pada Papa dan padaku,"batin Queen.

Asisten itu tampak terkejut.

“Nona, sebaiknya Anda menunggu Tuan pulang. Beliau sangat mengkhawatirkan Anda. Lagipula… rumah ini juga milik Anda.”

“Milikku?” Queen menatapnya tak percaya.

“Mungkin Nona belum tahu,” lanjutnya lembut. “Selama ini Tuan menunggu Anda pulang. Harapan terbesarnya adalah bisa tinggal bersama Anda.”

"Kak Jason memang selalu setia dan memegang janji… Walaupun Papa telah meninggal, dia tetap menjalankan permintaan Papa, "batin Queen, hatinya terasa hangat sekaligus perih.