Arunaya, seorang gadis dari keluarga terpandang yang terpenjara dalam sangkar emas tuntutan sosial, bertemu Adrian, pria sederhana yang hidup mandiri dan tulus. Mereka jatuh cinta, namun hubungan mereka ditentang keras oleh Ayah Arunaya yang menganggap Adrian tidak sepadan.
Saat dunia mulai menunjukkan taringnya, memihak pada status dan harta, Naya dan Adrian dihadapkan pada pilihan sulit. Mereka harus memilih: menyerah pada takdir yang memisahkan mereka, atau berjuang bersama melawan arus.
Terinspirasi dari lirik lagu Butterfly yang lagi happening sekarang hehehe....Novel ini adalah kisah tentang dua jiwa yang bertekad melepaskan diri dari kepompong ekspektasi dan rintangan, berani melawan dunia untuk bisa "terbang" bebas, dan memeluk batin satu sama lain dalam sebuah ikatan cinta yang nyata.
Dukung authir dong, like, vote, n komen yaa...
like karya authir juga jangan lupa hehehe
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Gaun sutra merah yang dikenakan Arunaya(Naya) terasa seperti jerat yang mengikat tubuhnya. Ia berdiri di sudut ruang pesta, mencoba menghilang di antara tawa paksa dan obrolan dangkal para tamu di acara ulang tahun perusahaan Ayahnya. Di mata mereka, ia adalah Naya yang sempurna, putri dari keluarga terpandang. Namun, di hatinya, ia merasa kosong dan terasing.
Ayahnya, Hardi, sedang berbicara dengan seorang kolega bisnis, sesekali melirik Naya seolah ia adalah properti berharga yang siap dijual atau ditunangkan.
Naya menyelinap keluar ke taman belakang, mencari udara segar dari suasana sesak di dalam. Di sana, di dekat area katering yang sedikit sepi, ia melihatnya.
Seorang pria sedang sibuk merapikan beberapa gelas kotor. Ia tidak mengenakan jas mahal, hanya seragam staf yang rapi. Namanya Adrian(Rian). Rian adalah mahasiswa pekerja keras yang mengambil pekerjaan sampingan malam itu. Fokusnya pada pekerjaan sangat kontras dengan hiruk pikuk di dalam gedung.
Rian menoleh saat menyadari kehadiran Naya. Tatapannya lurus, tanpa basa-basi atau kekaguman berlebihan yang sering ia lihat di mata para pria kaya. Ia hanya menyapa singkat.
"Malam, Nona," ujar Rian, lalu kembali fokus pada gelas-gelasnya.
Ada sesuatu dalam ketenangan Rian—sesuatu yang nyata, yang memicu rasa penasaran Naya. Rian yang bersahaja, dan Naya yang terperangkap dalam sangkar emasnya. Dunia mereka berbeda, tapi untuk sesaat, di bawah lampu taman yang redup itu, seolah ada benang tak terlihat yang menghubungkan dua jiwa yang sama-sama ingin keluar dari kepalsuan.
Naya tidak segera kembali masuk. Rasa penasaran menghentikannya. Ia melangkah mendekat ke arah Rian, yang masih fokus pada tugasnya.
"Sibuk sekali?" tanya Naya, suaranya terdengar sedikit canggung karena sudah lama ia tidak berbicara tulus dengan orang asing.
Rian mengangkat kepala, alisnya terangkat sedikit. Ia tersenyum tipis. "Namanya juga kerja, Nona. Pesta di dalam memang belum usai."
"Aku Naya," kata Naya, mengabaikan sapaan formal Rian.
"Rian."
Keheningan melingkupi mereka sejenak. Rian melanjutkan membersihkan nampan, sementara Naya hanya mengamati.
"Kau tidak suka pestanya?" tanya Rian santai, memberanikan diri.
Naya mendengus. "Pesta yang penuh topeng. Aku lebih suka di sini, di luar."
"Di luar juga sama, Nona. Cuma topengnya beda," balas Rian. Ia menumpuk gelas-gelas kosong.
Jawaban Rian mengejutkan Naya. Pria ini tidak basa-basi. Ia tulus, dan itu menyegarkan.
"Kau benar," jawab Naya, pandangannya menerawang ke bintang-bintang di atas.
Tiba-tiba, suara keras memanggil nama Naya dari dalam. Ayahnya. Momen damai itu langsung sirna.
"Aku harus kembali ke kandang," ujar Naya, ada nada getir dalam suaranya.
Rian menangkap nada itu. Ia menatap Naya dengan simpati, tapi tidak berkomentar.
"Sampai jumpa lagi, Rian," kata Naya, berbalik dan melangkah masuk ke dalam gemerlap cahaya dan kepalsuan lagi.
Rian hanya mengangguk kecil. Ia kembali bekerja, tapi pandangannya sesaat terpaku pada punggung Naya yang menghilang. Ia tahu, di balik gaun mahal itu, ada jiwa yang sama tertekannya dengannya.
...****************...
Pertemuan singkat di taman belakang itu membekas di pikiran Naya dan Rian. Mereka tidak bertukar nomor, tidak berjanji bertemu lagi, namun takdir punya cara sendiri.
Beberapa hari kemudian, Maya mengunjungi sebuah kafe, yang ternyata kafe tersebut juga tempat Rian bekerja paruh waktu. Naya melihat Rian dari kejauhan. Ia pura-pura membaca buku, tapi matanya selalu mencuri pandang ke arah Rian yang sibuk melayani pelanggan.
Rian menyadari kehadiran Naya. Setelah shift kerjanya usai, ia menghampiri meja Naya.
"Sendirian lagi, Nona Naya?" goda Rian pelan.
"Aku suka kopi di sini," elak Naya, pipinya merona.
Mereka akhirnya bertukar nomor telepon. Hubungan mereka tumbuh secara diam-diam. Pesan singkat, obrolan telepon larut malam, dan pertemuan rahasia di taman atau kafe kecil yang jauh dari lingkungan elit Naya.
Beberapa hari kemudian, mereka bertemu lagi di taman kota kecil yang sepi itu lagi, tempat persembunyian favorit Naya. Di sana, di bawah naungan pohon rindang, dunia formal Naya dan dunia nyata Rian bertemu.
Rian, yang awalnya kaku, perlahan membuka diri. Naya mendapati Rian adalah pria yang cerdas dan penuh ambisi, meskipun hidup dalam kesederhanaan. Rian terpaksa bekerja paruh waktu di kafe dan menjadi staf event organizer untuk membiayai kuliahnya di jurusan arsitektur. Setiap ceritanya penuh dengan perjuangan, tapi juga harapan.
"Hidupmu keras sekali," komentar Naya, sambil mendengarkan Rian bercerita.
Rian tersenyum tipis. "Namanya juga hidup, Nona Naya. Yang penting dijalani."
Naya menceritakan dunianya yang terasa seperti penjara emas. Tentang ekspektasi orang tua, tentang calon suami pilihan yang membosankan, dan tentang kesepian di tengah keramaian.
"Aku merasa seperti kupu-kupu yang sayapnya belum tumbuh," bisik Naya, menatap Rian.
Rian meraih setangkai bunga liar kecil di rumput dan memberikannya pada Naya. "Sayap itu akan tumbuh, kalau kau berani terbang."
Hari-hari berikutnya diisi dengan pertemuan-pertemuan rahasia. Mereka mengunjungi kafe tempat Rian bekerja, di mana Naya bisa melihat ketulusan Rian melayani pelanggan. Mereka berjalan di sepanjang sungai di malam hari, di mana tawa Naya terdengar lebih tulus daripada tawa di pesta manapun.
Rian memberikan Naya ruang untuk menjadi dirinya sendiri, tanpa topeng. Naya memberikan Rian keyakinan bahwa ada seseorang yang melihat nilainya, bukan dari uang atau statusnya, tapi dari hatinya.
Mereka mulai merasakan ada ikatan kuat yang tumbuh. Ikatan dua jiwa yang lelah dengan dunia masing-masing, menemukan kedamaian dalam diri satu sama lain.
Mereka tahu dunia belum memihak mereka. Tapi untuk saat ini, di taman rahasia mereka, dunia terasa milik berdua.
Naya menemukan Rian adalah pria yang bertanggung jawab dan bertekad, di balik kesederhanaan statusnya. Namun, dunia mereka terlalu berbeda.
.......
Kebahagiaan yang dirasakan Naya dan Rian terasa terlalu rapuh, terlalu indah untuk bertahan lama. Seperti yang Rian duga, hubungan mereka tidak akan luput dari perhatian.
Suatu sore, saat mereka sedang duduk di taman, tawa mereka terhenti oleh kehadiran seseorang yang tak terduga.
Sebuah firasat buruk menyelimuti Naya. Ayahnya, Hardi, berdiri di hadapan mereka dengan wajah yang jelas menunjukkan ketidaksetujuan.
"Naya! Pulang!" perintah Hardi dengan suara tegas, mengabaikan Rian sepenuhnya.
Naya berdiri kaku, mencoba menenangkan ayahnya. "Ayah, tolong, dengarkan dulu penjelasanku—"
"Tidak ada penjelasan yang ku butuhkan! Masuk sekarang!" Hardi mengalihkan pandangannya yang tajam ke arah Rian. "Dan kau! Jauhi putriku!"
Rian diam, tapi rahangnya mengeras. Harga dirinya terluka, tapi ia tahu posisinya. Ia tidak ingin memperburuk keadaan bagi Naya.
Hardi menarik lengan Naya, memaksanya untuk pergi. Naya menoleh ke belakang, tatapannya penuh dengan kekecewaan.
Di dalam mobil, Hardi melancarkan ultimatumnya: hubungan Naya dan Rian tidak bisa dilanjutkan. Dunia mereka baru saja menunjukkan tantangannya, dan perjuangan nyata baru saja dimulai.
Bersambung...