“Abang janji akan kembali ‘kan? Berkumpul lagi bersama kami?” tanya Meutia Siddiq, menatap sendu netra suaminya.
“Iya. Abang janji!” ucapnya yakin, tapi kenyataannya ....
Setelah kabar kematian sang suami, Meutia Siddiq menjadi depresi, hidup dalam kenangan, selalu terbayang sosok yang dia cintai. Terlebih, raga suaminya tidak ditemukan dan dinyatakan hilang, berakhir dianggap sudah meninggal dunia.
Seluruh keluarga, dan para sahabat juga ikut merasakan kehilangan mendalam.
Intan serta Sabiya, putri dari Meutia dan Ikram – kedua gadis kecil itu dipaksa dewasa sebelum waktunya. Bahkan berpura-pura tetap menjalani hari dimana sang ayah masih disisi mereka, agar ibunya tidak terus menerus terpuruk, serta nekat mau bunuh diri, berakhir calon adik mereka pun terancam meninggal dalam kandungan.
Dapatkah Meutia beserta buah hatinya melewati badai kehidupan?
Bagaimana mereka menjalani hari-hari berat itu ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21 ~ Apa masih kurang?
Yunus membuka sepatu boots yang dikenakannya. Ekspresi wajah tetap sama, tenang. Dia menatap sopan wanita sedari awal dikenalnya terasa seperti menjaga jarak penuh antisipasi, dan pada kesempatan tertentu mencoba mengintimidasi. “Apa boleh bila pertanyaan itu dibalik, Ambu? Semisal saya telah berkeluarga bahkan mungkin sudah memiliki anak, bagaimana dengan perasaan mereka?”
"Dengan kehilangan saya yang mungkin tanpa kabar sama sekali, hal tersebut pasti menghancurkan perasaan mereka. Coba bayangkan semisal suatu saat nanti takdir mempertemukan kami! Istri, bisa jadi juga sepasang anak … melihat sosok disayangi menggandeng tangan wanita lain. Bercanda dengan keluarga barunya – sakitnya itu berkali-kali lipat daripada berita kematian,” ia berusaha sabar, meskipun terkadang ada keinginan untuk pergi jauh.
Namun mau kemana? dirinya sama sekali tidak memiliki apa-apa. Identitas pun tak punya, memori masa lalu hilang semua, tertinggal rasa bingung. Dulu ketika siuman sudah berada di puskesmas jauh dari kelurahan Sampan, tanpa ingatan, tidak mengenal dirinya sendiri.
Sebulan kemudian setelah Arinta melahirkan bayinya, Abah mengajak Yunus pindah kesini. Pulang ke kampung halaman Ambu, maka dari itu para warga mengiranya pasangan suami istri dan Denis buah hati mereka.
Yunus pun tidak tahu menahu perihal surat keluarga, identitas barunya. Semua Abah yang mengatur dan mengurus.
Arinta berhenti mengunyah keripik, fokus sepenuhnya pada sisi wajah kecoklatan Yunus. Pria baik hati yang rela memberikan kasih sayang, seluruh perhatian untuk putra nya, Denis.
Ambu sejenak terdiam, dia menghela napas panjang. “Buktinya sampai kini tak ada yang merasa kehilangan dirimu, hal tersebut bukankah bisa disimpulkan bila engkau masih sendiri, Yunus?”
“Untuk jangka pendek dan tanpa pemikiran jauh kedepan, bisa jadi iya. Namun mengingat bagaimana diri ini mengurus Denis yang sama sekali tidak kesulitan, seperti sudah terbiasa menghabiskan hari dengan bayi – saya meyakini kalau sudah berkeluarga ataupun pernah memilikinya,” ia tetap pada pendiriannya.
“Ambu, apa belum cukup peran saya teruntuk putrimu? Warga kelurahan Sampan beranggapan kami suami istri, saya pun diam. Mereka tahunya diri ini ayah biologisnya Denis, saya terima. Semua itu demi menjaga kehormatan Arinta, nama baik keluarga Abah, dan menghindarkan Denis dari mulut tidak bertanggung jawab. Apa masih kurang, Ambu?”
“Jelas masih, Yunus! Tiba masanya Denis masuk sekolah, dia membutuhkan kartu keluarga, status yang jelas bukan sekadar ucapan tapi bukti tertera di atas kertas!” Ambu masih ingin menekan.
“Maaf Ambu, saya tetap berpegang teguh pada pendirian.” Yunus kembali mengenakan sepatu, dia pergi memasuki kebun jeruk.
Sepeninggalannya Yunus, Abah menasehati sang istri. “Seringkali ku ingatkan padamu, jangan terus-terusan menekan Yunus. Dia itu memiliki kepribadian tegas, berprinsip, sedari awal dirinya telah mengatakan meminta waktu sampai ingatannya kembali, baru bisa memutuskan menikahi Arinta _”
“Kelamaan, Abah! Macam mana bila benar dia telah berkeluarga? Abah mau cucu kita tak memiliki ayah? Dihujat sana-sini dikira anak lahir diluar pernikahan, itu yang Abah inginkan, iya?!” wajah Ambu memerah.
“Dasarnya dia saja tak tahu berterima kasih. Sudah ditolong, dikasih tempat tinggal, diakui anggota keluarga, tapi tak tahu diri! Apa susahnya coba menikahi Arinta? Kita dari keluarga kaya, dia bakalan kecipratan juga. Tak perlu bekerja keras tinggal menikmati hasil, lama-lama aku kesal betul dengannya! Sombong sangat jadi manusia! Mungkin saja dirinya itu dari kalangan bawah, tapi gayanya sok memiliki harta!” Giginya sampai berbunyi, dia benar-benar menahan geram.
“Ambu, kau wanita ‘kan? Sama seperti istrinya bila Yunus telah memilikinya. Apa kau tak sakit hati, sedih, kecewa, melihat orang terkasih menikah lagi disaat dirinya mungkin masih patah hati, belum bisa menerima kenyataan pahit kehilangan suami. Tidakkah engkau berpikir sampai sana?” nada suara Abah masih terjaga, tidak meninggi.
Ambu yang terlanjur emosi tidak lagi menjaga lisan. “Kalaupun dia sudah beristri ya tinggal ceraikan! Arinta pasti jauh lebih dari segalanya. Kalaupun enggan, bukankah laki-laki boleh berpoligami?”
Demi menghindari pertengkaran, Abah pun pergi menjauh. Enggan menjawab pertanyaan istrinya.
“Kau lihat Abah mu itu, Arinta! Selalu menghindar bila diajak berdiskusi perihal Yunus.”
Arinta termenung, merasa serba salah. Ibunya sangat keras kepala, sulit membelokkan arah pikirannya. Diapun tidak berdaya memberikan masukan yang bertentangan sebab memiliki dosa besar dikarenakan pernah jadi anak durhaka.
***
Yunus duduk berselonjor kaki di bawah pohon jeruk manis. Netranya menerawang jauh. ‘Sebenarnya siapa diriku? Dari mana asalku?’
Setitik air mata terjatuh, ada kalanya dia merasa lelah. Telah berusaha sekuat tenaga untuk mengingat, menggali memori tapi yang terjadi malah sakit kepala tak tertahankan.
Ingin berobat ke rumah sakit besar, tempat itu jauh dari sini, dan dirinya tidak memiliki uang.
Bila saja tidak memandang Abah, mungkin dirinya sudah memutuskan pergi. Namun pria bersahaja itu pernah memohon sampai bersimpuh, membawa nama Denis yang memang dia sayangi.
Terlebih dirinya bersyukur, baik Abah maupun Ambu – tidak ada yang memainkan drama, menganggap mengenal dirinya ataupun diakui sebagai suami putri mereka. Enggan memanfaatkan ketidakberdayaannya.
Pasangan suami itu jujur, bila mereka sama sekali tidak mengenal Yunus sewaktu pria itu siuman dan mengalami amnesia.
“Astaghfirullah.” Yunus mengusap wajahnya, berusaha untuk tegar dan tidak lagi mengeluh. Masih banyak yang bisa disyukuri – diberi kesehatan, kesempatan hidup kedua yang mungkin saja berkat mukjizat atau kencangnya doa seseorang mengharapkan keselamatannya.
Sewaktu dia sadarkan diri, banyak luka yang menghiasi tubuhnya. Kepala bagian belakang terdapat sebelas jahitan, pundaknya pun ada bekas jahitan, dan pada paha bekas luka itu sangat panjang.
***
“Karena anak-anak Ayah tua berhasil menyabet juara, kalian boleh meminta apa saja!” Pria yang sudah berumur setengah abad itu sedang memberikan hadiah teruntuk Intan, Sabiya dan lainnya.
“Betulan Ayah tua, kami boleh minta apa saja?!” Zeeshan langsung menyambar bak ikan melahap umpan.
“Iya.”
"Alhamdulillah.” Dia mengusap telapak tangan pada wajah. “Aku mau main ke pasar malam, terus beli mainan mobil-mobilan, motor-motoran, terus belikan peralatan sekolah lengkap, terus_”
“Teros-teros saja kau ini! Dapat ranking paling belakang tapi daftar permintaannya sangat panjang. Apa lah kau ini, Zeeshan!” Kamal mencibir sang sahabat.
“Diam lah kau! Ini aku sedang aji mumpung!”
Demi menjaga kondisi tetap kondusif, juragan Byakta Nugraha, ayahnya Kamal dan Rania – memilih bertanya kepada gadis manis berkerudung putih polos. “Sabiya, Ayah tua boleh minta tolong tidak, Nak?”
“Boleh.” Anggukannya disambut senyum oleh Rania, Lanira, dan Hazeera. Sang sahabat percaya pada pilihannya yang selalu sehati dengan mereka.
“Kira-kira liburan pertengahan semester kali ini, enaknya kemana ya?”
“Kalau Ayah tua dan lainnya tak keberatan, Sabiya ingin liburan ke resort hotel pantai nan jauh di pelosok kabupaten milik Ibu Nirma, boleh tidak?”
.
.
Bersambung.