Niatnya mulia, ingin membantu perekonomian keluarga, meringankan beban suami dalam mencari nafkah.
Namum, Sriana tak menyangka jika kepergiannya mengais rezeki hingga ke negeri orang, meninggalkan kedua anaknya yang masih kecil – bukan berbuah manis, melainkan dimanfaatkan sedemikian rupa.
Sriana merasa diperlakukan bak Sapi perah. Uang dikuras, fisik tak diperhatikan, keluhnya diabaikan, protesnya dicap sebagai istri pembangkang, diamnya dianggap wanita kekanakan.
Sampai suatu ketika, Sriana mendapati hal menyakitkan layaknya ditikam belati tepat di ulu hati, ternyata ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Isyt : 18
Sriana yang khusus hari ini mengenakan pakaian bagus dibeli saat musim dingin tahun lalu, berhenti sejenak, menoleh menatap kakak sepupunya yang memilih lembur dikarenakan wajahnya masih belum pulih, luka bekas cakaran kuku terlihat memerah.
“Aku libur setahun sekali, apa ndak bisa kamu lihat aku bersantai barang sebentar saja?” tanyanya dengan nada dingin. Semenjak dikirimi video oleh Wulan – sikap Sriana jauh lebih pendiam, berbicara seperlunya saja.
“Setiap Minggu dirimu libur, apa pernah megang peralatan bersih-bersih rumah, ndak ‘kan? Bangun tidur langsung mandi terus melengos pergi. Jadi, untuk kali ini tak ikuti caramu.” Dia berbalik badan, masuk ke kamar mau pamitan ke nenek. Enggan menatap wajah kakak sepupunya.
Triani terpaku, berdiri di bawah tangga. Sengaja tadi dia menunggu Sriana. Perasaannya sedikit tidak nyaman, beberapa hari ini sikap sepupunya layaknya musim dingin, irit bicara, enggan menatapnya, malas menanggapi setiap titahnya.
***
“Mbak Sri!” Kedua tangannya Eka melambai kala melihat sosok wanita berpakaian tebal, mengenakan masker.
Sriana mempercepat langkah, mereka janjian ketemu di perempat jalan sedikit jauh dari komplek villa. “Jam berapa kamu keluar dari rumah? Kok cepat banget sudah ada disini?”
Eka menjawab seraya menyetop taksi. “Majikan sama anak yang tak jaga belum bangun, aku sudah ngluyur (pergi) duluan … ha ha ha.”
Sriana lebih dulu masuk, lalu duduk. “Apa mereka ndak protes?”
“Ya kalau protes tinggal tak kasih surat pemberitahuan tentang hak-hak kita sebagai tenaga kerja rumah tangga lah. Enak saja, hari libur pun masih disuruh kerja, ya ndak sudi!” Eka menyebutkan tujuan mereka ke pak sopir.
Majikan Eka termasuk baik, takut melanggar peraturan pemerintah tentang undang-undang ketenagakerjaan yang memakai jasa warga asing. Mereka juga memperlakukan Eka dengan layak, terlebih sang pembantu menyayangi putra semata wayangnya yang masih berumur tujuh tahun.
Taksi pun sudah melaju, Sriana melihat keluar jendela – pada bangunan apartemen tinggi, rimbunnya pepohonan. Beberapa hari ini hatinya gelisah, perasaan tak tenang, terus tertuju ke Septian serta Ambar Ratih.
Eka yang mengerti suasana hati Sriana, memilih diam. Tidak mengganggu lamunan ibu dari dua orang anak itu. Sengaja memilih naik taksi daripada bus, agar kesempatan bertemu teman-temannya Triani sang kecil kemungkinannya.
***
Akhhh!
Arghh!
“Sakit Gusti, hatiku hancur ya Rabbi!” Dia bersimpuh diatas pasir putih, berteriak lantang meluapkan rasa menyesakkan dada.
“Septian, Ambar Ratih … maafkan Bunda Nak, lee … hiks hiks hiks.” Digenggamnya kuat-kuat butiran pasir kering. Matanya memandang lautan lepas, deburan ombak menghampiri pantai.
“Tujuanku kerja ke luar negeri supaya kedua anakku hidup layak, kok malah disia-siakan. Aku ndak pernah nuntut ini itu, cuma minta tolong sayangi, perlakuan baik Septian dan Ambar. Kenapa kalian tega sama anak sekecil itu, hah?! Mereka itu darah kalian, bukan orang lain. Kok diperlakukan layaknya hewan! Bangsat kau Agung, Dwita, Wiyah, Toro!” Sriana meninju pasir, hatinya remuk redam.
Eka yang duduk di belakang Sriana, menangis dalam diam. Hatinya ikut terenyuh membayangkan hari-hari sulit dua sosok anak yang belum cukup umur untuk dikatakan sebagai seorang remaja.
Sahabat Sriana itu sengaja membawa ibu tengah dirundung nestapa ke salah satu pantai berpasir putih. Disaat musim dingin seperti ini tak banyak pengunjungnya apalagi masih pagi hari. Jadi, Sri dapat meluapkan segala rasa, melepaskan beban berat yang menggelayut.
‘Semoga setelah ini tinggal warna pelangi yang menghampiri kehidupanmu Mbak. Ndak ada lagi awan mendung apalagi badai, sudah cukup kesakitan yang datang secara bertubi-tubi.’
Sriana masih menangis sesenggukan, bersimpuh seraya meremas pasir. Kala dirumah, dia tidak leluasa meluapkan emosi maupun kesedihan, harus tampil tenang seolah semuanya baik-baik saja, padahal hati serta jiwanya tengah sekarat.
Tepat pukul sepuluh pagi, yang berarti jam sembilan Indonesia – Sriana menelepon nomor sahabatnya. Dia sudah dapat menguasai diri, menghilangkan jejak air mata dengan bantuan bedak padat milik Eka.
“Assalamualaikum Lan,” sapanya lembut.
“Waalaikumsalam Sri. Kami lagi dijalan, numpang mobil pickup nya mas Zahid, kebetulan dia satu arah mau ke kota.” Wulan menjawab lirih, dia ingin memberikan kejutan kepada dua anak yang duduk bersandar pada pinggiran bak.
"Semuanya aman kan Lan?” ia cemas, ingin memastikan.
“Alhamdulillah aman. Nanti pas udah sampai, langsung tak hubungi.”
Sriana mengucapkan terima kasih, lalu memutus sambungan telepon seluler.
“Mbak, sarapan dulu! Aku laper, maklumlah musim dingin bawaannya pengen ngunyah terus.” Eka membuka kertas pembungkus roti yang tadi sempat dibeli sebelum menunggu Sriana.
“Aku ndak lapar, Ka.” Dia menggeleng, sekarang duduk di lantai tenda camping milik Eka.
“Laper nggak laper tetep kudu makan, Mbak! Kita ini sama-sama punya penyakit maag, jangan sampai kambuh! Ini rotinya dikunyah!” ia sedikit memaksa, menyodorkan sarapan mereka, lalu menuang teh hangat dalam tumbler ke gelas kertas.
Mereka makan dalam diam, sampai pekikan Eka membuat Sriana ikut melihat ke arah samping.
“Joh Paijo! Nyapo kowe nyusul (Mengapa kamu menyusul)?!” dia berteriak, beranjak lalu menyapa sang kekasih yang dipanggil mas Paijo, nama aslinya Jordan.
Pemuda berkacamata, jangkung, mengenakan celana jeans panjang, serta jaket winter itu tentu tidak paham bahasa sang kekasih, tapi mengerti kalau Paijo itu panggilannya, katanya Eka – artinya laki-laki tampan.
“Ini pesananmu!” Tas besar yang dapat menjaga suhu makanan agar tetap hangat, diulurkan.
Eka nyengir sampai barisan gigi rapinya terlihat, padahal dia yang semalam minta sampai mengancam enggan diajak kencan, kalau sang kekasih tidak mau membelikan beberapa menu sarapan di restoran yang dia sukai, lalu mengantarkan sampai sini. “Ayo, aku kenalkan dengan kakakku.”
Sriana cepat-cepat mengenakan masker, dia malu dengan kondisi wajahnya.
Perkenalan singkat itu pun harus diakhiri, bukan cuma Jordan yang bersalaman dengan Sriana, ada juga temannya, jauh lebih dewasa. Kedua pria tadi pamit pergi. Tidak ingin menganggu waktu berkualitas Eka dan sahabatnya.
“Piye kembaran Andy Lau tadi mbak, Sri?” godanya jenaka.
“Apa sih, Ka?” Sri menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ganteng to? Dia itu duda loh, cocok sama kamu yang otw janda.” Matanya mengerling.
“Bocah gendeng (anak gila).” Sriana memukul pelan paha terbungkus celana ketat. Lalu mereka sama-sama tertawa. Dia paham kalau Eka tengah mengajaknya bercanda.
“Mbak, sambil nunggu telepon dari sahabatmu, nyanyi yo … kita resapi hidup di perantauan ini.” Dia bergegas membuka aplikasi YouTube, mencari lagu kesukaannya.
🎶 Jauh di negeri orang
Rela meninggalkan
Kampung halaman
Mengadu nasib
Demi masa depan
Yang indah dan juga cemerlang
Pahit manis menjadi teman
Dalam setiap perjalanan
Hanyalah mimpi
Yang membuat ku bertahan
Hidupku di perantauan.
Lirik penuh makna itu mereka tembangkan seraya bergenggaman tangan saling menguatkan.
Ponsel pemberian Eka berbunyi, nama Wulan tertera sebagai pemanggil, ia geser tombol hijau.
“Bunda … sebenernya Ambar kangen!”
.
.
Bersambung.