Aruna hanya memanfaatkan Arjuna Dewangga. Lelaki yang belum pernah menjalin hubungan kekasih dengan siapapun. Lelaki yang terkenal baik di sekolahnya dan menjadi kesayangan guru karena prestasinya. Sementara Arjuna, lelaki yang anti-pacaran memutuskan menerima Aruna karena jantungnya yang meningkat lebih cepat dari biasanya setiap berdekatan dengan gadis tersebut. *** "Mau minta sesuatu boleh?" Lelaki itu kembali menyuapi dan mengangguk singkat. "Mau apa emangnya?" Tatapan mata Arjuna begitu lekat menatap Aruna. Aruna berdehem dan minum sejenak, sebelum menjawab pertanyaan Arjuna. "Mau ciuman, ayo!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 20
Aruna pikir, dia tidak akan dirayakan. Nyatanya salah. Kali ini, bukan hanya ada Arjuna saja---tapi juga sahabatnya. Mereka melakukan camping singkat di dekat pantai. Biasanya pantai disini memang menyediakan alat camping. Jadi, dengan penuh inisiatif---Arjuna merancanakan semuanya.
Tengah malam, suasana sudah hening. Beberapa orang yang melakukan camping---sebagain besar sudah terlelap. Arjuna sudah menyiapkan tempat dan donat. Lelaki itu memanggil nama Aruna dari luar tenda. Gadis itu tak kunjung bangun, yang bangun justru Misel. Gadis itu segera membuka setengah tenda, menyembulkan kepalanya keluar.
"Ayo Sel, panggil Aruna sama Karin keluar. Gue udah siapin kue,"
Menahan kantuk dan mengucek matanya. "Emang sekarang jam berapa?" Tanya Misel dengan suara serak.
"Jam dua belas kurang sepuluh menit." Misel mengangguk dan membangunkan Karin untuk mengumpulkan nyawa. Setelah itu, Misel keluar dan mengikuti Arjuna. Di sana sudah ada Ethan.
"Run, temenin gue ke kamar mandi yuk! Gue takut!" Karin menggoyangkan lengan Aruna.
"Ayo, loh Misel kemana?" Aruna bertanya penasaran.
"Kamar mandi mungkin."
Aruna berjalan menggandeng tangan Karin, matanya setengah terpejam dan setengah terbuka. Masih mengantuk sekali rasanya. Tiba di tempat, kantuk Aruna menghilang seketika.
Dia mendengar suara Sahabatnya yang bernyanyi lirih dengan kue ulang tahun di meja. Matanya sontak berkaca-kaca. Tak lama kembang api bermunculan. Dia memeluk kedua sahabatnya dan mengucapkan terimakasih.
"Susah banget nyalain lilin disini," Lilin ulang tahun sudah mati-mati sejak tadi. Arjuna sampai kesal sendiri.
Aruna menangis dengan senyuman manis, gadis itu berlari memeluk tubuh Arjuna.
"Harusnya sih pas ada sunset. Tapi, jadinya sekarang aja," Arjuna membenarkan rambut nakal Aruna yang berterbangan, menyisipkan di balik telinganya.
Mereka duduk bersama menikmati donat dan beberapa makanan yang Arjuna persiapkan. Ethan datang dengan wajah cemberut, duduk di samping Misel.
"Selamat ulang tahun Run, semoga tambah tinggi!"
Aruna melotot garang pada Ethan, mentang-mentang dirinya pendek. Arjuna tertawa singkat, menikmati raut wajah Aruna yang berseri-seri bahagia.
"Selamat ulang tahun Runa, semoga semua impian dan cita-cita lo tercapai."
"Selamat ulang tahun Runa, semoga makin kaya, makin cantik, makin sexy dan makin pinter. Semoga bahagia selalu juga!"
Aruna mengucapkan terimakasih, gadis itu menoleh pada Arjuna yang tidak mengucapkan apapun.
"Kamu nggak mau ngucapin gitu?"
Arjuna mengedik pelan. "Nanti sayang," Bisiknya lembut.
"Masih ada yang lain kali Run," Misel memutar bola matanya malas, menatap kemesraan dua pasangan di depannya.
"Ganti nama deh, jangan panggil dia Run- run-run." Semua menatap Ethan heran.
"Kenapa emangnya?! Bagus kok nama gue?!" Tanya Aruna dengan ngegas.
Ethan tertawa. "Bagus sih, tapi nama kan jadi manifestasi doa." Mereka semakin mengerutkan keningnya, mendengar jawaban Ethan.
"Ya emang! Kalau itu gue juga tahu! Nggak jelas lo, kenapa sih suruh ganti?" Sahut Karin menatap aneh Ethan.
"Soalnya, dia jadi pinter lari-larian alias kabur." Ethan tertawa mendapati raut wajah Aruna yang masam. "Mending kalau jadi atlit lari, bisa bikin bangga. Lah ini, bikin orang lain puyeng."
"ETHAN!!! Gue lempar lo ke laut ya?!" Marahnya berkacak pinggang menatap Ethan.
Ethan sontak mendelik. "Loh, yang ulang tahun kan lo---harusnya, yang di ceburin laut ya lo."
"Junaaa, marahin Ethan dong!" Aruna menoleh dan merengek manja, meminta di bela oleh kekasihnya. Arjuna tertawa pelan, menikmati moment lucu tersebut.
"Usul Ethan benar kok, kamu emang harus ganti nama panggilan. Jangan Run- run-run terus." Ethan mengulum senyum senang, mendapat teman yang setuju padanya.
"Apaan emang? Awas ya aneh-aneh?!" Matanya memicing tajam.
"Panggilannya jadi sayang," Sahutnya pelan dan lembut.
Ethan, Misel dan Karin sontak mendengus geli. Menatap kedua pasangan bucin di depan matanya. Pasangan yang selalu dimabuk asmara setiap saat, meskipun banyak drama.
Setengah dua pagi, mereka memutuskan untuk kembali tidur. Namun, Arjuna menahan lengan Aruna. Dia ingin berduaan dulu dengan kekasihnya. Lelaki itu meminta Ethan untuk mengambilkan kain pantai di tendanya.
"Makasih Than!"
Ethan lantas berbalik pergi meninggalkan keduanya. Aruna dan Arjuna duduk di pasir dengan menggunakan kain pantai sebagai alasnya. Rangkulan Arjuna di bahunya, membuat tubuh Aruna menghangat.
Keduanya menatap langit cerah yang bertabur bintang dan bulan. Arjuna mendekat, mengikis jarak di antara keduanya. Bibirnya mengecup lembut bibir Aruna, dalam dan penuh perasaan.
"Selamat ulang tahun sayang, semua hal yang kamu inginkan semoga tercapai." Arjuna tersenyum manis, mengusap sudut bibir Aruna.
"Makasih Juna, hidup aku jauh lebih bahagia sama kamu." Ucapnya dengan jujur dan pelan.
Arjuna mengangguk pelan. "Runa, kamu percaya sama aku?"
Kening Aruna mengkerut heran. Apa maksud pertanyaan Arjuna? Rasanya tidak ada yang dirinya sembunyikan.
"Ada sayang, aku belum tahu banyak hal dari kamu. Mungkin, aku cuma tahu tentang mama kamu---Mama Arina. Tapi, untuk yang lainnya? Papa kamu? Kenapa kamu hidup sendiri? Boleh, aku tahu?"
Sebenarnya, Aruna pun berniat menceritakan semuanya. Pada akhirnya Aruna mengangguk. "Kamu tahu Om Himawan? Papa Sisil? Dia papi aku juga." Aruna menghembuskan nafasnya pelan. Menatap raut wajah Arjuna yang tidak kaget.
"Dulu, papa sama mama nikah karena di jodohkan. Tapi, mama emang udah cinta sama papa sejak awal. Dulu, hidup kami bahagia awalnya. Sampai akhirnya, papa pulang bawa anak sama istri keduanya. Tante Siska sama Sisil, ternyata selama ini papa nikah diam-diam di belakang mama." Aruna menyela sudut matanya yang berair.
"Alasan papa nikah diam-diam, karena mama nggak hamil waktu itu. Ternyata, Mama justru hamil bareng sama Tante Siska. Padahal, papa nikah sama Tante Siska karena dia mantan pacar papa." Fakta ini baru Aruna ketahui dari mulut Siska beberapa waktu lalu. Kali ini, raut wajah Arjuna kaget.
"Mama kabur dari rumah, karena nggak bisa hidup bareng sama Papa yang lebih peduli sama Tante Siska. Tapi, mama juga nggak mau cerai. Papa jarang datang ke apartemen buat nemuin aku atau ajak main bareng, Om Anggara sama Tante Lila yang sering ajak main." Arjuna mengusap-usap bahunya, ikut merasakan sakit melihat kekasihnya menangis.
"Keluarga ku hancur Juna! Kalau aja, Tante Siska nggak datang di hidup kami. Tapi, Papa juga salah karena tergoda sama wanita busuk itu." Nafasnya naik turun, dadanya terhimpit sakit ketika mengingat masa-masa kelam tersebut.
"Mama jadi sering sakit-sakitan dan papa seolah tutup mata. Dia bahagia sama keluarga kecilnya, lupain aku sama mama." Arjuna mengambil air di meja dan kembali duduk untuk di berikan pada Aruna. "Saat mama meninggal, aku nggak tahu apa papa merasa bersalah atau nggak. Waktu itu aku cuma lihat Om Anggara marah sama papa."
"Setelah itu aku tetap hidup kok, bareng Tante Siska sama Sisil. Tapi, lama-lama aku nggak betah hidup sama mereka. Akhirnya, aku mutusin buat tinggal di apartemen." Arjuna mengusap air mata Aruna. "Hidup aku kaya cerita dongeng deh! Dramatis banget,"
Arjuna menggeleng dan membawa tubuh Aruna untuk dirinya peluk. Dia hanya mendengarkan sejak tadi, tidak berkomentar banyak. Takut menyakiti perasaan kekasihnya.
"Maaf Jun, aku dekatin kamu karena Sisil. Semua rencana aku untuk Sisil,"
Arjuna terdiam sejenak. Kepalanya berusaha menyusun potongan puzzle dan mengingat awal-awal hubungan keduanya. "Jadi, maksud kamu---" Kali ini, dada Arjuna seolah di hantam ombak kencang.
Aruna menunduk dan mengangguk. "lya, aku cuma jadiin kamu alat balas dendam- --biar Sisil ikut sakit hati. Biar dia rasain apa yang pernah mama aku rasa. Tapi nggak sebanding sih," Jujurnya dengan nada suara lembut.
Arjuna terdiam sesaat dengan mata memanas. Permainan apa ini? Arjuna sudah sepenuh hati mencintai, mengapa Aruna tampak setengah hati? Hatinya hanya untuk dimainkan oleh dua saudara? Tidak Arjuna sangka.
"Aruna, kalau kamu masih mau dengan obsesi kamu---untuk menjadikan aku alat balas dendam menyakiti Sisil, lebih baik kamu kubur dalam-dalam." Nada suara Arjuna berubah dingin seketika. Rasanya, jantung Aruna seperti tertusuk jarum.
"Nggak bisa! Kamu harus bantuin aku, buat Sisil menderita!" Aruna berteriak marah.
"Nggak mungkin, itu perbuatan nggak baik." Balasnya menolak.
Aruna tersenyum sinis. "Terus menurut kamu perbuatan mereka baik? Aku kehilangan mama aku, Juna!" Teriaknya marah, mendorong dada Arjuna.
"Apa di pikiran kamu cuma balas dendam? Jadi, selama ini---kamu cuma main-main?" Tatapan wajah Arjuna terlihat sendu dan putus asa.
Pertanyaan Arjuna yang pertama dia beri anggukan, namun bukan berarti untuk yang kedua. Dia memang memiliki dendam. Apapun tentang mamanya, Aruna selalu merasa emosinya bangkit atau mudah tersulut. Aruna tidak peduli, sekali pun itu Arjuna. Dia tidak terima ketika kedua orang paling jahat dalam hidupnya, dibela oleh orang lain. Arjuna mungkin bukan orang lain, justru hal tersebut membuatnya terluka lebih dalam.
"Terserah, lebih baik kita masing-masing dulu. Apalagi kamu lebih bela mereka kan? Sekalian, kamu bisa lanjutkan rencana papa kamu dan Om Himawan. Sana, kamu emang nggak cocok sama orang jahat kaya aku!"
Aruna berlari memasuki tenda setelah mengatakan hal tersebut. Arjuna masih terdiam, menatap hamparan air laut di depan matanya. Arjuna pun masih menelan kecewa, merasa di permainkan. Namun, sejak awal pun dirinya sudah setuju untuk mengikuti permainan Aruna. Salahnya, jatuh cinta terlalu dalam.
"Jadi gini, rasanya sakit hati?" Gumam Arjuna menatap lautan yang begitu tenang. Tidak dengan pikiran dan hatinya yang saling beradu. Kepalanya penuh dengan potongan-potongan kejadian yang terjadi. Lelaki itu berusaha menyusun dan menganalisa menjadi satu.
Pantas saja, selama ini Aruna mudah memaafkan dan memberinya banyak kesempatan? Jadi, karena gadis itu masih bersikeras untuk menyakiti perasaan Sisil? Apa Aruna akan bahagia jika melihat Sisil terluka. Apa bahagia tercipta dengan menyakiti hati orang lain? Arjuna tidak tahu semua jawaban dari pertanyaan dalam kepalanya yang penuh.
Arjuna tahu, Aruna masih ingin melihat Sisil terluka---jadi, dia pikir Aruna akan kembali seperti biasanya setelah perdebatan dan salah paham yang sering terjadi. Arjuna hanya perlu berlapang dada, menelan rasa kecewanya, karena rasa cintanya jauh lebih besar.