Dokter Arslan Erdem Mahardika, pria tampan dan cerdas berusia 33 tahun, memiliki segalanya kecuali satu hal yaitu kepercayaan diri untuk menikah.
Bukan karena dia playboy atau belum siap berkomitmen, tapi karena sebuah rahasia yang ia bongkar sendiri kepada setiap perempuan yang dijodohkan dengannya yaitu ia impoten.
Setiap kencan buta berakhir bencana.
Setiap perjodohan berubah jadi kegagalan.
Tanpa cinta, tanpa ekspektasi, dan tanpa rasa malu, Tari Nayaka dipertemukan dengan Arslan. Alih-alih ilfeel, Tari justru penasaran. Bukannya lari setelah tahu kelemahan Arslan, dia malah menantang balik sang dokter yang terlalu kaku dan pesimis soal cinta.
“Kalau impoten doang, bisa diobatin, Bang. Yang susah itu, pria yang terlalu takut jatuh cinta,” ucap Tari, santai.
Yang awalnya hanya pengganti kakaknya, Tari justru jadi pawang paling ampuh bagi Arslan pawang hati, pawang ego, bahkan mungkin pawang rasa putus asanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 13. Dipercepat
AREA PARKIR BELAKANG – SENJA MEREMANG
Tanpa aba-aba dan tanpa kalimat basa-basi, Arslan tiba-tiba menarik tubuh Nayaka kembali dalam pelukannya. Lengan kirinya memeluk pinggang perempuan itu rapat seolah takut kehilangan, sementara tangan kanan menyentuh lembut tengkuknya.
Tak ada yang dijelaskan, tak ada yang dibicarakan. Tapi begitu bibirnya kembali melumat bibir Nayaka, semuanya jadi jelas.
Bukan karena nafsu, bukan sekadar karena pembuktian. Tapi karena rasa yang selama ini dipendam terlalu dalam, terlalu lama, sampai lupa bagaimana cara mengeluarkannya.
Ciuman itu panas tapi lembut, panjang tapi tenang, liar tapi dalam. Ada ledakan emosi yang perlahan berubah jadi aliran air, mengalir ke seluruh tubuh, membuat lutut Nayaka sedikit lemas.
Tapi bukannya menjauh, Nayaka justru terkekeh kecil, lalu dengan nakalnya melingkarkan satu kakinya ke pinggang Arslan.
“Ya ampun, kamu tuh tinggi banget, sumpah,” ucapnya pelan sambil mendekatkan lagi wajahnya, “jadi enak sih dijadiin gantungan.”
Arslan mendesah, menatap Nayaka dalam-dalam, lalu menggumam di sela ciumannya, “Kamu nyusahin…”
“Dan kamu nggak pernah nolak kan?” godanya sambil mencubit pelan tengkuk Arslan.
Ciuman itu berlanjut, makin dalam. Nafas mereka sudah mulai memburu. Napas Nayaka tersendat karena tubuh Arslan terlalu dekat, terlalu panas, terlalu nyata.
Namun tiba-tiba—
Suara berat seseorang memecah momen itu, “Kalian serius mau pingsan bareng di sini?”
Keduanya sontak terkejut. Nayaka buru-buru menurunkan kakinya, wajahnya merah padam. Arslan langsung berdiri tegak, wajahnya datar, tapi telinganya memerah.
Di depan mereka berdiri seorang pria paruh baya dengan jas cokelat dan sorot mata tajam. Di sampingnya, seorang wanita elegan dengan tas mahal di tangannya menatap keduanya dengan ekspresi... tak terbaca.
“Pa... Ma...,” gumam Arslan pelan.
Nayaka menelan ludah, lalu buru-buru menyapa sambil membungkuk setengah, “Maaf Tante, Om…”
Bu Selma mengangkat alis. “Kami datang bukan untuk melihat drama Korea live-action,” ucapnya dingin.
Pak Mahardika menyilangkan tangan di dada, menatap anaknya tajam. “Dan kamu, Arslan, umurmu sudah kepala tiga. Tapi kelakuan masih kayak remaja mabuk cinta.”
“Maaf,” ucap Arslan datar.
“Maaf?” ulang ayahnya. “Di tempat kerja, dengan staf rumah sakit, dan ini... kamu baru saja siaran langsung tunangan dan sekarang hampir...”
“Pak,” sela Nayaka lembut. “Saya yang mulai duluan. Saya yang cium duluan.”
Arslan menoleh kaget. “Nayaka…”
“Tapi saya yang nikahin dia nanti, bukan Bapak-Bapak wartawan itu,” lanjutnya santai.
Bu Selma tersedak kecil, tapi matanya berbinar sedikit, menahan senyum.
Pak Mahardika mendengus. “Kalian berdua gila. Tapi kalau kalian memang mau serius, datang ke rumah. Jangan selesaikan semuanya pakai ciuman di parkiran.”
Nayaka menunduk cepat. “Siap, Om.”
Arslan hanya mengangguk. Matanya kembali datar, tapi tangannya menggenggam tangan Nayaka diam-diam, menyelip di balik tubuh agar tidak terlihat siapa pun.
Bu Selma melirik tangan mereka yang saling genggam lalu berbisik ke suaminya, “Setidaknya, dia bukan cewek yang takut ambil sikap.”
Pak Mahardika hanya berdehem pelan, lalu berbalik. “Besok malam, jam tujuh. Di rumah jangan telat.”
Mereka berjalan pergi meninggalkan keduanya yang masih berdiri mematung.
Nayaka menoleh pelan ke Arslan. “Eh... sorry ya, aku yang duluan cium. Gimana sih salah aku banget tadi.”
Arslan menghela napas lalu berkata tenang, “Nggak salah.”
“Hah?” Nayaka bingung.
Arslan menatap matanya, dalam dan penuh makna. “Aku suka kamu nekat, suka kamu bar-bar, suka kamu marah buat aku, suka kamu belain aku, suka kamu cium aku.”
Nayaka mengedip pelan, lalu tertawa kecil. “Halah gombal juga ternyata si dokter dingin ini.”
“Gombal?” gumam Arslan pelan.
Ia mendekat lagi. Kali ini tidak terburu-buru. Tangannya membelai rambut Nayaka pelan lalu menunduk menyentuh bibirnya sekali lagi.
Lama, tenang dan nyaman. Mereka tak peduli lagi ada siapa di sekitarnya.
Saat ciuman itu selesai, Nayaka berbisik, “Kamu yakin mau nikah sama perawat lincah, genit, dan berisik kayak aku?”
Arslan mengangguk, lalu menjawab pelan, “Karena kamu satu-satunya suara yang bisa nenangin kebisingan di kepalaku.”
Dan di antara senja Jakarta yang mulai gelap, cinta mereka mulai menemukan bentuknya tidak sempurna, tapi nyata. Tidak seperti dongeng, tapi lebih hidup dari apa pun yang pernah mereka bayangkan.
RUMAH MAHARDIKA – MALAM MULAI TURUN
Malam baru saja menyapa langit ketika mobil hitam elegan berhenti di pelataran rumah besar bergaya kolonial. Lampu-lampu taman menyala temaram, memberi kesan hangat meski udara agak menegang. Arslan membuka pintu untuk Nayaka, lalu tanpa banyak kata langsung menggandeng tangannya masuk.
“Tenang aja, aku udah biasa dimarahin. Tapi dimarahi orang tua calon suami itu level baru sih,” celetuk Nayaka pelan, separuh bercanda tapi nadanya sungguh-sungguh.
“Jangan banyak ngomong,” sahut Arslan datar.
“Kan aku perawat, mulut emang nggak bisa diem,” balasnya cepat sambil nyengir.
Langkah mereka terhenti saat pintu kayu besar dibuka dari dalam. Di ambang berdiri Bu Selma, anggun dalam balutan blus satin abu, menyambut dengan senyum tipis. Di ruang tamu sudah duduk Pak Mahardika, Aylara, dan Bu Dina
“Masuklah,” ucap Bu Selma singkat.
Mereka duduk berseberangan. Ruangan mewah itu sepi, hanya suara jam antik di dinding yang terdengar samar. Ketegangan membungkus meja, terutama setelah kejadian siang tadi yang tak sengaja disaksikan langsung oleh dua kepala keluarga.
“Kalian kelihatan terlalu nyaman ya untuk orang yang baru dijodohkan,” ujar Pak Mahardika dengan nada pelan tapi nadanya penuh makna.
Nayaka menelan ludah, lalu berkata jujur,
“Memang awalnya dijodohin, tapi sekarang kami saling pilih tanpa paksaan.”
“Kamu yakin, Nayaka?” tanya Bu Selma pelan.
“Yakin banget,” sahutnya cepat.
Aylara yang duduk menyilang kaki lalu bicara santai, “Seharusnya aku yang dijodohin sama Arslan. Tapi ya aku udah punya Kaisar. Lagipula, Nayaka dan Arslan jauh lebih cocok, mereka berisik dan diam seimbanglah Tante Selma.”
Pak Mahardika menatap Arslan tajam,
“Kamu nggak keberatan, kan? Harusnya kamu nikah sama dokter juga, bukan perawat.”
Arslan menjawab pendek,
“Yang penting bukan gelarnya. Tapi siapa yang tahan sama aku.”
Bu Dina menimpali, “Kami cuma khawatir karena Nayaka itu ceroboh. Dan kamu ya kamu tahu dirimu.”
Nayaka menunduk, tapi lalu berkata dengan suara jelas, “Saya memang ribut, tapi saya tahu batas mama. Saya tahu Arslan bukan orang yang gampang ditangani. Tapi saya bukan cewek gampang juga.”
Bu Selma menatap mereka bergantian, lalu melontarkan pertanyaan yang membuat ruangan langsung sunyi,
“Kami juga ingin tanya langsung. Arslan soal kondisimu, apakah Nayaka sudah tahu?”
“Saya impoten karena kecelakaan, bukan karena trauma bukan juga karena hormonal bawaan,” ucapnya lirih tapi tanpa ragu.
Pak Mahardika menghela napas,
“Dan kamu nggak merasa perlu kasih tahu dari awal?”
“Sudah Om, dokter Arslan sudah mengatakan kepadaku,” sela Nayaka cepat. “Dan saya nggak keberatan.”
Bu Selma sedikit terkejut, lalu bertanya pelan, “Kamu ngerti maksudnya kan, Nak?”
“Ngerti banget. Dan saya bukan nikah cuma buat urusan kasur,” jawab Nayaka sambil menatap Arslan dengan sorot lembut.
Arslan menoleh padanya, sejenak matanya mencair, lalu berkata pelan,
“Aku sempat pikir kamu bakal lari. Tapi kamu malah makin nempel.”
“Ya iyalah, udah ganteng, pintar, baik ya meski jutek sih. Tapi kamu punya hal yang nggak semua orang punya yaitu kejujuran,” balas Nayaka seraya meremas tangan Arslan diam-diam di bawah meja.
Ada keheningan yang tak canggung sebuah kelegaan setelah pembicaraan jujur akhirnya keluar ke permukaan. Mereka tak lagi berpura-pura. Semuanya sudah terbuka dan sudah dihadapi bersama.
“Jadi, kalian tetap lanjutkan tunangan Minggu ini?” tanya Bu Selma sekali lagi, kali ini dengan suara lebih lembut.
“Iya, Tante,” jawab Nayaka mantap.
“Dan minggu depannya akad dan resepsi akan disiarkan langsung oleh televisi swasta,” imbuhnya Bu Selma.
Aylara berseru kecil, “Ya ampun, kalian tuh kayak karakter drama banget, tapi nyata bikin iri tau.”
Pak Mahardika berdiri lalu melirik Arslan tajam, tapi di ujung matanya ada sinyal penerimaan.
“Kalau kamu berani bertanggung jawab, Papa ridho. Tapi kalau kamu lari dari ini, kamu tahu sendiri akibatnya.”
“Saya bukan pengecut,” jawab Arslan singkat.
Bu Dina akhirnya tersenyum hangat sambil menatap Nayaka, “Kalau kamu bisa tahan dengan anakku yang seperti robot es itu selamat datang di keluarga Ghazali.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya Nayaka merasa benar-benar diterima. Bukan sebagai pengganti, bukan sebagai bayangan kakaknya, tapi sebagai dirinya sendiri perempuan yang jatuh cinta pada dokter bedah dingin dengan luka yang tak terlihat tapi tak pernah disembunyikan.
Suasana ruang tamu mulai menghangat setelah makan malam. Beberapa kerabat masih bercengkerama santai, sementara Bu Selma dan Pak Mahardika duduk berdampingan dengan wajah tenang. Nayaka duduk di samping Arslan, meski ketegangan di mata pria itu belum sepenuhnya reda.
Namun ketenangan itu seketika terpecah ketika bel rumah berbunyi.
Aylara yang semula sedang berbincang dengan Bu Selma langsung berdiri.
Matanya membelalak napasnya tercekat, “Astaga… i-ni tidak mungkin..”