Calya, seorang siswi yang terpikat pesona Rion—ketua OSIS tampan yang menyimpan rahasia kelam—mendapati hidupnya hancur saat kedua orang tuanya tiba-tiba menjodohkannya dengan Aksa. Aksa, si "cowok culun" yang tak sengaja ia makian di bus, ternyata adalah calon suaminya yang kini menjelma menjadi sosok menawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asma~~, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Sinar matahari pagi menembus celah gorden, menyinari kamar apartemen Aksa. Cahaya itu menerpa wajah Calya, membuatnya perlahan terbangun dari tidurnya yang pulas. Ia meregangkan tubuh, dan sebuah senyum tipis terukir di bibirnya saat ia menyadari ia berada di pelukan Aksa. Ia teringat bagaimana pria itu semalam menenangkannya dari ketakutan. Untuk pertama kalinya, ia merasa aman dan damai. Ia mendongak, menatap wajah Aksa yang masih terlelap. Pria itu tampak begitu polos, damai, dan tampan.
Namun, ketenangan itu seketika sirna saat ponsel Calya berdering nyaring di atas nakas. Ia menggeser tubuhnya pelan, mengambil ponselnya. Sebuah nama muncul di layar: Bunda Aksa. Dengan ragu, ia mengangkatnya.
"Halo, Tante?" sapa Calya dengan suara serak.
"Calya, sayang! Kamu sama Aksa kan? Semalaman Tante dan om cariin kamu," suara bunda Aksa terdengar cemas. "Tante lega kamu baik-baik saja."
"Maaf, Tante. Semalam hujan deras, jadi hp aku mati, " bohong Calya, mencoba menutupi kegugupannya.
"Ya sudah. Tante dan Om sudah bicara dengan mama dan papamu," suara bunda Aksa kini berubah ceria. "Pernikahan kalian akan dipercepat! Ini semua ide Aksa, loh. Dia yang minta. Katanya dia tidak sabar untuk menikah denganmu."
Dunia Calya seakan runtuh. Pernikahan akan dipercepat. Dan itu semua permintaan Aksa? Otak Calya langsung memutar kembali percakapan dengan ibunya semalam. Jadi, ini semua bukan takdir, bukan pula keinginan orang tua. Ini semua ulah Aksa. Pria yang semalaman ia anggap malaikat penyelamat, ternyata adalah dalang di balik semua masalahnya.
Calya merasa dikhianati. Seluruh kebaikan Aksa semalam, semua perhatiannya, semua kata-kata manisnya, kini terasa seperti tipu muslihat murahan. Ia merasa begitu bodoh.
Dengan amarah yang memuncak, Calya meletakkan ponselnya, matanya menatap Aksa yang masih tertidur pulas. Ia merasa muak. Betapa tenangnya pria ini setelah menghancurkan hidupnya. Ia meraih bantal di sampingnya, mengepalkan tinjunya, dan melayangkan bantal itu ke wajah Aksa berulang kali.
"BANGUN! AKSA BRENGSEK!" teriak Calya histeris. Ia tidak peduli jika suaranya parau, ia tidak peduli jika aksinya terlalu gila. Ia hanya ingin Aksa merasakan sedikit saja amarah yang ia rasakan.
Aksa terperanjat bangun. Matanya membulat, menatap Calya yang kini terlihat seperti orang kesetanan. Padahal semalam, ia adalah wanita yang begitu rapuh dan jinak di pelukannya. Ia mencoba menutupi wajahnya dengan tangan, bingung.
"Calya! Ada apa sih?! Kamu Kenapa ?!" teriak Aksa, mencoba menahan amukan Calya.
"KURANG AJAR! JAHAT LO!" Calya kini tidak lagi menggunakan bantal. Ia memukul dada Aksa dengan tinjunya, air matanya tumpah lagi. "Ini semua gara-gara lo! Lo yang minta dipercepat, kan?! Kenapa lo tega, Aksa?! Kenapa lo harus ngatur hidup gue?!"
Aksa berhasil mencengkeram tangan Calya, menghentikan pukulannya. "Tunggu! Apa yang lo bicarain? Siapa yang bilang?" tanyanya, suaranya dipenuhi kebingungan.
"Bunda lo! Kurang ajar lo! Semalem lo baik-baikin gue, biar gue nurut, iya kan?!"
"Enggak, Cal! Bukan gitu!" Aksa mencoba membela diri."
Amarah Calya tak terbendung. Ia tidak mau lagi mendengarkan Aksa. Ia merasa dikhianati, dan semua penjelasan Aksa terasa seperti kebohongan lain. Ia berbalik, mencoba berjalan menuju pintu, bertekad untuk pulang dan menghadapi orang tuanya. "Gue mau pulang! Lo enggak usah pegang gue lagi! Gue benci lo!" teriaknya, suaranya parau.
Namun, langkahnya terhenti saat Aksa bergerak cepat, berdiri di depannya dan memblokir jalan. "Calya, dengerin gue dulu! Ini enggak seperti yang lo pikir," ucap Aksa, matanya memancarkan keputusasaan.
Calya mendorong Aksa. "Minggir! Gue bilang gue mau pulang!"
Aksa tidak bergerak. Ia menarik napas dalam, lalu tiba-tiba ia merengkuh Calya, memeluknya erat-erat. Calya terkejut, memberontak sekuat tenaga. Ia memukul-mukul dada Aksa, mendorongnya, dan bahkan mencoba menggigitnya.
"Lepasin gue, Aksa! Gue bilang lepasin!" teriaknya, suaranya dipenuhi amarah dan tangis.
"Nggak! Gue enggak akan lepasin lo sampai lo tenang!" balas Aksa, suaranya tegas. Ia memeluk Calya semakin erat, menahan semua perlawanan wanita itu. Calya akhirnya lelah, isakannya mereda, namun tubuhnya masih kaku dalam dekapan Aksa. Ia tahu, ia tidak punya kekuatan untuk melawan, dan ia benci perasaan itu.
Calya meronta, mencoba melepaskan diri dari pelukan Aksa. Air matanya sudah kering, digantikan oleh tatapan penuh kebencian. "Lepasin! gue benci sama lo, Aksa! Benci!" teriaknya, suaranya parau. "Sekarang hari Minggu, orang tuaku sudah pulang. Antar gue pulang sekarang juga!"
Aksa tidak bergeming. Ia memeluk Calya semakin erat, seolah tak ingin melepaskannya. Pelukan itu bukan lagi paksaan, melainkan sebuah permohonan yang tak terucap. Wajahnya ia tenggelamkan di bahu Calya, napasnya terasa hangat.
"Aku enggak akan biarin kamu pergi," bisik Aksa, suaranya begitu lembut, "Sampai kamu dengerin aku."
Calya memukul-mukul dada Aksa, namun setiap pukulannya terasa hampa. "Dengar apa lagi?! Sudah jelas kan semuanya?!"
Aksa menggeleng pelan. "Enggak. Kamu salah paham. Aku minta pernikahan ini dipercepat bukan untuk mengendalikan kamu," suaranya bergetar, penuh kejujuran. "Tapi karena aku enggak sanggup lihat kamu terluka."
Perlawanan Calya perlahan mereda. Ia terdiam, mendengarkan.
"Aku lihat Rion," lanjut Aksa, "Aku lihat dia sama cewek lain. Aku tahu kamu sakit hati. Aku mau kamu bahagia, Cal. Aku mau kamu jauh dari orang yang cuma mainin kamu. Aku enggak mau lihat kamu nangis lagi."
"Jadi itu alasan lo?" bisik Calya, "apa urusannya sama lo hah? lo ga usah urusin hidup gue" teriak Calya
"Iya," jawab Aksa, ia mengangkat kepalanya, menatap mata Calya yang kini dipenuhi air mata. "Aku minta dipercepat karena aku cinta kamu, Calya. Aku cinta sama kamu. Sejak pertama kali kita bertemu, aku sudah jatuh cinta. Aku ingin kamu jadi milikku, bukan karena perjodohan, tapi karena aku ingin melindungi kamu."
Calya tidak bisa berkata-kata. Ia menatap mata Aksa, mencari kebohongan, tapi yang ia temukan hanyalah ketulusan yang luar biasa. Ia merasakan tangan Aksa mengusap lembut punggungnya, dan kehangatan itu membuat hatinya yang beku perlahan mencair. Namun egonya sangatlah sulit ia terlanjur membenci Aksa.
"Gue ga minta lo buat lindungin gue, sekarang lepasin atau aku bakal bunuh lo sekarang juga". Lanjutnya
Aksa tidak berkata apa-apa. Dengan gerakan yang tiba-tiba namun lembut, ia mengangkat tubuh Calya. Calya terkejut, tubuhnya serasa melayang. Rasanya ia seringan kapas, Aksa mengangkatnya tanpa kesulitan sama sekali. Aksa kemudian duduk di sofa, memangku Calya yang masih terkejut dan bingung.
Aksa memegang kedua pipi Calya, ibu jarinya mengusap lembut. Calya yang masih tidak terima dengan perlakuan Aksa, menepis tangannya dengan kasar. "Apa-apaan sih, Aksa?! Turunin gue!" bentaknya, suaranya dipenuhi amarah. "Lo pikir gue boneka?! Dasar kurang ajar!"
Calya terus mengumpat, memaki Aksa dengan kata-kata kasar. Namun Aksa tidak bergeming. Ia hanya memperhatikan Calya, membiarkan wanita itu meluapkan amarahnya. Aksa kemudian memegang punggung Calya dengan satu tangan, dan tangan yang lain kembali memegang pipi Calya, menangkupnya dengan lembut.
Di tengah makian Calya, Aksa mendaratkan ciuman di bibir mungil Calya. Calya terdiam, matanya membelalak kaget. Ia tak menyangka Aksa akan berani melakukan hal itu. Semua makian yang sedari tadi keluar dari bibirnya, kini terhenti. Ia tidak lagi marah, hanya merasa terkejut dan bingung.