NovelToon NovelToon
Demi Semua Yang Bernafas Season 2

Demi Semua Yang Bernafas Season 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Balas Dendam / Identitas Tersembunyi / Raja Tentara/Dewa Perang / Pulau Terpencil / Kultivasi Modern
Popularitas:13.6k
Nilai: 5
Nama Author: Babah Elfathar

Yang Suka Action Yuk Mari..

Demi Semua Yang Bernafas Season 2 Cerita berawal dari kisah masalalu Raysia dan Dendamnya Kini..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18

Bab 18 -

Ada apa sebenarnya. Rangga menatap ke arah Osie yang mendadak mengerem mendadak hingga tubuhnya sedikit terhentak ke depan. Ia mengerutkan kening dan bertanya dengan nada datar,

“Ada apa?”

Wajah Osie sedikit tegang, kedua matanya terpaku ke arah depan jalan.

“Tadi... ada seseorang di depan. Jangan-jangan aku... menabraknya?” suaranya bergetar, nyaris seperti anak kecil yang baru saja melakukan kesalahan besar.

Osie memang salah satu orang yang pernah berada di bawah koordinasi Prof. Q, salah satu figur penting di dunia bawah tanah. Namun berbeda dari kebanyakan orang di lingkaran itu, Osie menjalani kehidupannya seperti warga biasa. Ia tidak pernah membunuh, tidak melakukan kekerasan, dan sebisa mungkin menjauh dari kekacauan.

Jadi, ketika ada kemungkinan kecelakaan seperti ini, wajar jika ia langsung panik.

Rangga menatapnya dengan pandangan tajam, tapi ada nada penasaran di suaranya.

“Bukankah kau pernah belajar bela diri? Kenapa bisa panik begini?”

Osie mendengus, agak tersinggung.

“Aku memang pernah belajar. Tapi pertanyaanmu itu tidak penting sekarang! Cepat keluar dan lihat, jangan cuma diam!”

Rangga menarik napas panjang, separuh lelah, separuh geli.

Ia yakin mobil tidak menabrak siapa pun tadi — ia bahkan tidak merasakan benturan sekecil apa pun.

Namun karena Osie benar-benar panik, Rangga akhirnya membuka pintu dan keluar untuk memastikan.

 

Begitu keluar dari mobil, Rangga melihat seorang pria berusia sekitar lima puluh tahunan tergeletak di tengah jalan. Pria itu memegangi betisnya sambil meringis kesakitan, suaranya serak dan dibuat-buat.

Rangga menatap pemandangan itu, lalu tersenyum miring.

Ia sudah tahu — ini pasti tipikal penipu jalanan.

Pria itu terus berguling pelan di aspal, menahan kaki kirinya sambil merintih.

Rangga melirik ke arah Osie yang masih duduk di dalam mobil dan berkata lantang,

“Tenang saja, kau tidak menabrak siapa pun. Orang ini cuma penipu kecil.”

Osie mengembuskan napas lega, meski wajahnya masih tampak sedikit pucat.

“Oh begitu... syukurlah,” katanya pelan sambil membuka pintu dan turun dengan cepat.

 

Rangga berjongkok di depan pria itu, nada bicaranya dingin tapi terkendali.

“Jangan berpura-pura lagi. Kami tidak menabrakmu.”

Pria itu tidak menjawab. Ia terus memegangi kakinya sambil mengerang.

Suasana di sekitar mulai ramai; orang-orang yang lewat berhenti dan memperhatikan. Beberapa bahkan mengangkat ponsel, siap merekam.

Tempat ini memang terkenal sebagai titik seringnya terjadi insiden “tabrak pura-pura”.

Tiba-tiba, seorang wanita paruh baya di antara kerumunan berseru,

“Hey! Kalian mengendarai mobil semewah itu, tapi malah menabrak orang dan mengejeknya? Keterlaluan!”

Rangga perlahan menoleh, menatapnya datar.

“Benarkah? Jadi menurutmu aku menabraknya?”

Wanita itu menatapnya dengan penuh keyakinan.

“Tentu saja! Aku melihatnya dengan mataku sendiri! Kau menabraknya, tapi malah berkata dia berpura-pura? Apa kau tidak punya hati nurani?”

Rangga menatapnya lama, lalu tersenyum tipis.

Ia tahu betul permainan ini — pasti sudah direncanakan. Penipu itu tidak bekerja sendirian.

Ia menatap sekeliling, lalu berkata dengan nada santai,

“Baiklah. Jadi, kalian semua di sini… temannya?”

“Aku hanya pejalan kaki biasa!” sahut salah satu dari kerumunan cepat-cepat, pura-pura tidak kenal.

“Oh begitu?” Rangga menyeringai. “Kalau begitu, mari kita buktikan bersama.”

Ia lalu menunduk, menatap pria yang masih tergeletak di tanah.

“Jadi... berapa yang kau minta?”

Pria itu melengos sedikit, lalu dengan suara lemah berkata,

“Kakiku... sepertinya patah. Aku tidak akan bisa bekerja selama beberapa bulan. Minimal ganti rugi... enam puluh juta.”

Rangga mengusap bibirnya, seakan menahan tawa.

Betapa mudahnya uang bagi orang seperti itu — hanya perlu berbaring dan berpura-pura kesakitan.

Sementara dirinya, dulu saat menjadi menantu keluarga Liana, harus bekerja keras di proyek bangunan hanya untuk gaji belasan juta sebulan.

Ia menegakkan tubuh, lalu berkata dengan nada serius,

“Kalau memang kami menabrakmu, tentu kami akan bertanggung jawab. Mobil yang kami kendarai ini nilainya puluhan miliar, jadi enam puluh juta bukan masalah.”

Mendengar itu, mata beberapa orang di sekitar langsung berbinar — tanda keserakahan mulai bekerja.

Rangga melanjutkan dengan tenang, “Karena kau katanya terluka parah, maka sebaiknya kita ke rumah sakit dulu. Masuklah ke mobil, aku akan mengantarmu sendiri untuk pemeriksaan menyeluruh. Setelah itu baru kita bicarakan soal ganti rugi.”

Nada suaranya terdengar tulus sekali — terlalu tulus untuk seorang korban penipuan.

 

Pria itu sempat tertegun.

Ia tidak menyangka Rangga akan bersikap sebaik itu. Tapi karena ini bukan kali pertama ia menjalankan modus semacam ini, ia pun pura-pura percaya diri dan mengangguk.

“Baiklah, tolong antar aku ke rumah sakit.”

Salah satu dari kerumunan ikut bersuara, “Aku akan menemani kalian ke sana.”

Rangga memiringkan kepala, menatapnya penuh minat.

“Bukankah kau tadi bilang hanya pejalan kaki biasa? Untuk apa ikut?”

Orang itu langsung terdiam. Namun pria yang berpura-pura cedera mengedipkan matanya cepat, memberi isyarat agar rekannya tidak bicara lagi.

Semua berjalan sesuai rencana mereka — atau begitulah yang mereka pikirkan.

Rangga menahan senyum. Dalam hatinya, ia sudah tahu akhir dari permainan ini.

Ia membantu pria itu naik ke mobil, lalu berkata kepada Osie yang masih tampak tegang,

“Ayo, kita jalan.”

Osie mengangguk, menyalakan mesin mobil, dan perlahan melajukan kendaraan.

Orang-orang di sekitar mulai bubar, mengira semuanya sudah selesai.

Rangga duduk di kursi belakang bersama si penipu.

Osie menatap lewat kaca spion, lalu bertanya,

“Ke rumah sakit mana kita akan pergi?”

Rangga menjawab santai,

“Pergi ke Restoran Trio Nation Bay dulu.”

Kata-kata itu membuat Osie dan pria di sebelahnya sama-sama menatap heran.

Pria itu buru-buru berkata,

“Bukankah... kita mau ke rumah sakit?”

Rangga tersenyum, nada bicaranya ringan tapi tajam.

“Kita akan ke rumah sakit nanti. Aku hanya ingin makan siang dulu di Restoran Trio Nation Bay, setelah itu baru urusanmu.”

Pria itu mulai merasa ada yang tidak beres. Ia menatap Rangga dan Osie bergantian.

“Kalau begitu, tidak usah ke rumah sakit. Transfer saja uangnya, selesai.”

Rangga menatapnya datar, senyumnya berubah dingin.

“Uang? Kau pikir aku akan memberimu uang setelah tahu kau penipu?”

Wajah pria itu langsung berubah. Ia menggertakkan giginya dan pura-pura menahan sakit.

“Aduh! Sakit! Kalian mau apa sebenarnya?”

Rangga mendengus pelan, lalu menatap Osie.

“Matikan perekam di dasbor.”

Osie menuruti perintah itu tanpa bertanya. Begitu lampu kecil di kamera padam, Rangga menatap pria itu dengan tenang.

“Aktingmu bagus,” katanya sambil menepuk bahunya. “Tapi masih kurang realistis. Aku bantu sedikit supaya terlihat nyata.”

Tangan Rangga mencengkeram bahu pria itu perlahan — namun tekanan itu cukup membuat tulangnya berderak pelan.

Dalam hitungan detik, wajah pria itu memucat hebat. Napasnya tersengal dan keringat dingin mulai mengucur di pelipisnya.

“Apa... apa yang kalian lakukan?! Aku bisa menuntut kalian!” teriaknya di sela rasa sakit.

Rangga menatapnya datar.

“Menuntut kami? Silakan. Tapi sebelum itu, pastikan ada bukti nyata... seperti kaki yang benar-benar patah.”

Ia menunduk sedikit, matanya menyapu kaki pria itu, lalu berkata dengan nada santai namun mengerikan,

“Tenang saja. Kalau kakimu patah, kami pasti ganTi rugi. Sekarang, aku sedang berpikir cara terbaik mematahkannya.”

Pria itu terdiam, wajahnya membeku ketakutan. Keringatnya menetes deras, matanya melebar tanpa berani bergerak sedikit pun.

Ia menelan ludah dengan susah payah, lalu memohon,

“Tolong... biarkan aku keluar dari mobil! Aku... aku tidak mau uangnya lagi!”

Rangga hanya menyandarkan tubuh ke kursi, senyum tipis terukir di wajahnya.

“Sudah terlambat untuk itu.”

Mobil terus melaju, dan aroma ketakutan mulai memenuhi udara di dalam kabin.

Berani-beraninya, diapain tuh ya?

Bersambung...

1
Was pray
ya memang Rangga dan raysa yg harus menyelesaikan permasalahan yg diperbuat, jangan melibatkan siapapun
Was pray
Rangga memang amat peduli sama orang2 yg membutuhkan pertolongan dirinya tapi tidak memikirkan akibatnya
hackauth
/Pray/ mantap update terus gan
Was pray
MC miskin mantaf ..
Was pray
Rangga. dalam rangka musu bunuh diri kah?
adib
alur cerita bagus..
thumb up buat thor
adib
keren ini.. beneran bikin marathon baca
Maknov Gabut
gaskeun thor
Maknov Gabut
ceritanya seru
Maknov Gabut
mantaff
Maknov Gabut
terima kasih thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!