Isabella bersandar dengan anggun di kursinya, tatapannya kini tak lagi fokus pada steak di atas meja, melainkan sepenuhnya pada pria di hadapannya. Ia menguncinya dengan tatapannya, seolah sedang menguliti lapisan demi lapisan jiwanya.
"Marco," panggil Isabella, suaranya masih tenang namun kini mengandung nada finalitas absolut yang membuat bulu kuduk merinding.
"Ya, Bos?"
Isabella mengibaskan tangannya ke arah piring dengan gerakan meremehkan.
"Lupakan steaknya."
Ia berhenti sejenak, membiarkan perintah itu menggantung, memperpanjang siksaan di ruangan itu. Matanya yang gelap menelusuri wajah Leo, dari rambutnya yang sedikit berantakan hingga garis rahangnya yang tegas.
"Bawa kokinya padaku. Besok pagi."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Nanas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Runtuhnya Menara Gading
Di ruang perang Empress Tower, kemenangan terasa seperti abu di lidah. Kamera televisi yang menyorot wajah Jenderal Purnawirawan Soeharto yang tenang dan penuh wibawa terasa lebih mengancam daripada moncong seribu senapan. Pengangkatannya sebagai kepala Satuan Tugas Khusus bukan sekadar sebuah manuver politik; itu adalah sebuah deklarasi skakmat. Soeharto tidak hanya membalas serangan mereka terhadap yayasannya; ia telah mengambil seluruh papan catur, menulis ulang peraturannya, dan menobatkannya dirinya sendiri sebagai pemain sekaligus wasit.
"Dia tidak hanya mengamati kita, Leo," bisikan Isabella yang penuh kengerian adalah gema dari pemahaman kolektif mereka. "Dia baru saja mengubah seluruh negara ini menjadi senjatanya... untuk memburu kita."
Kebenaran dari kata-kata itu menghantam mereka dengan kekuatan sebuah tsunami. Selama beberapa detik yang terasa abadi, tidak ada yang bergerak. Lima orang jenius—seorang Ratu, seorang Alkemis, seorang Pelatih, seorang Banteng, dan seorang Hantu digital—yang baru saja merasa seperti dewa, kini merasa seperti serangga di bawah kaca pembesar. Benteng mereka yang menjulang di atas Jakarta, yang mereka anggap sebagai puncak dunia, kini terasa seperti sebuah sangkar yang terekspos, menunggu untuk dihancurkan.
Bianca adalah yang pertama tersadar dari kelumpuhan itu, naluri bertahan hidup digitalnya mengambil alih. Jarinya menari di atas keyboard, dan layar-layar di sekitar mereka mulai menyala merah dengan peringatan-peringatan darurat.
"Dia bergerak cepat," kata Bianca, suaranya tegang. "Sangat cepat. Aku mendeteksi lonjakan aktivitas siber dari beberapa alamat IP pemerintah yang sebelumnya tidak aktif. Mereka menargetkan infrastruktur keuangan kita. Rekening-rekening yang terhubung dengan nama Rosales... mereka sedang dibekukan saat kita bicara. Aset-aset properti kita... surat perintah penyitaan elektronik sedang dikeluarkan secara massal."
Setiap kata adalah sebuah pukulan. Kerajaan sah yang dibangun oleh ayah Isabella selama puluhan tahun, kini sedang dilucuti dalam hitungan menit.
"Ini bukan lagi operasi rahasia," kata Pak Tirta, matanya yang tajam memindai data yang masuk. "Ini adalah sebuah invasi yang terang-terangan, disamarkan sebagai penegakan hukum."
BZZT. Ponsel terenkripsi Marco bergetar. Ia mengangkatnya, mendengarkan, dan wajahnya memucat. "Bos," katanya pada Isabella. "Itu Riko. Tim Delta di Pelabuhan... mereka sedang diserbu. Bukan oleh polisi biasa. Pasukan khusus. Perlengkapan lengkap, gerakan terkoordinasi. Mereka mengepung gudang kita."
Satu per satu, laporan serupa mulai masuk dari seluruh kota. Aset-aset mereka, tempat-tempat persembunyian, bisnis-bisnis mereka, semuanya diserang secara serempak. Ini adalah sebuah blitzkrieg, sebuah serangan kilat yang dirancang untuk melumpuhkan mereka sepenuhnya sebelum mereka sempat bereaksi. Soeharto tidak bermain catur. Ia sedang membakar hutan.
Kemudian, pukulan terakhir datang. Sebuah panggilan masuk ke sistem terenkripsi mereka. Dari Detektif Adrian Hartono. Leo memberi isyarat pada Bianca untuk menyambungkannya ke speaker utama.
"LEO! ISABELLA! APA PUN YANG KALIAN LAKUKAN, LARI!" Suara Hartono terdengar panik, terengah-engah, dengan suara sirine yang samar di latar belakang. "Ini di luar kendaliku! Dia tidak memberitahuku apa-apa! Dia mengaktifkan protokol 'Ancaman Nasional'. Dia menggunakan satgas ini untuk membersihkan semua bidaknya yang longgar, termasuk aku! Aku sedang dalam perjalanan untuk menghilang. Mereka akan segera mengejarku. Mereka tahu segalanya! Mereka akan datang ke menara! Lari, sekarang! Jangan hubungi aku lagi!"
Panggilan itu terputus dengan suara statis yang keras.
Jangkar terakhir mereka di dalam sistem telah dipotong. Mereka kini benar-benar sendirian, terombang-ambing di tengah lautan badai yang diciptakan oleh musuh mereka.
Di tengah kekacauan yang meningkat, Leo dan Pak Tirta saling berpandangan. Sebuah pemahaman diam terjalin di antara sang ahli strategi dan sang ahli taktik. Mereka berdua sampai pada kesimpulan yang sama, yang dingin dan tak terhindarkan.
"Kita harus pergi," kata Pak Tirta.
"Menara ini sudah tamat," tambah Leo, suaranya datar. "Ini bukan lagi benteng. Ini adalah makam."
Bagi Isabella, kata-kata itu terasa seperti sebuah pengkhianatan. "Pergi? Lari?" tanyanya, suaranya bergetar karena amarah dan rasa tak percaya. "Ini rumahku! Ini pusat kerajaan ayahku! Kita telah mengubahnya menjadi benteng teraman di Asia! Kita tidak akan lari!"
Leo berjalan mendekatinya, memegang bahunya dengan lembut namun tegas. "Isabella, dengarkan aku," katanya, matanya menatap lurus ke dalam mata Ratu-nya yang terluka. "Benteng hanya berguna jika musuh berada di luar. Musuh kita tidak lagi di luar. Dia adalah sistem itu sendiri. Dia bisa mematikan listrik kita, air kita. Dia bisa mengirim jet tempur untuk meratakan gedung ini dan menyebutnya sebagai latihan anti-teroris. Simbol kekuasaanmu ini... kini telah menjadi target terbesar kita. Untuk bertahan hidup, kita harus rela melepaskannya."
Isabella menatap sekeliling ruang perangnya, ke simbol-simbol kekuasaannya yang kini terasa hampa. Ia menatap ke luar jendela, ke kota yang pernah ia anggap miliknya. Air mata kemarahan dan kehilangan menggenang di matanya, tetapi ia menelannya kembali. Ia adalah seorang Ratu, dan seorang Ratu tahu kapan sebuah pertempuran telah kalah dan kapan saatnya untuk mundur agar bisa bertempur lagi di hari lain.
"Berapa banyak waktu yang kita punya?" tanyanya, suaranya kini kembali dingin dan terkendali.
Bianca menatap monitornya. "Berdasarkan kecepatan pergerakan unit taktis mereka dan lalu lintas Jakarta... paling lama tiga puluh menit. Mungkin kurang."
Tiga puluh menit untuk membongkar sebuah kerajaan dan menghilang dari muka bumi.
"Baiklah," kata Isabella, menegakkan punggungnya. Sang Ratu telah kembali. "Operasi 'Bumi Hangus'," perintahnya, sebuah protokol darurat yang telah mereka rancang tetapi berharap tidak akan pernah digunakan.
Ruang perang yang tadinya panik kini berubah menjadi sarang lebah yang penuh dengan aktivitas yang terfokus. Setiap orang tahu tugas mereka.
"Bianca, mulai prosedur penghapusan total," perintah Leo. "Aku ingin setiap server, setiap hard drive, setiap gigabyte data di gedung ini dihapus, dienkripsi, lalu ditimpa dengan data sampah sebanyak tiga kali. Jangan tinggalkan apa pun untuk mereka. Buku besar Jäger, data Steiner, semua penelitian kita tentang Soeharto... bakar semuanya. Kita akan membawanya di sini," katanya sambil menunjuk ke kepalanya.
"Penghapusan butuh waktu dua puluh lima menit untuk selesai," kata Bianca, jemarinya sudah terbang di atas keyboard. "Sangat mepet."
"Kalau begitu, jangan buang waktu," balas Pak Tirta. "Marco, kumpulkan tim inti. Hanya kau, Riko, dan Maya. Yang lain... Legiun... mereka harus menyebar. Beri mereka perintah 'Protokol Hantu'. Mereka harus menghilang, memutuskan semua kontak, dan menunggu sinyal dari kita, kapan pun itu akan datang. Kita tidak bisa mempertaruhkan mereka semua tertangkap bersama kita."
Marco mengangguk dengan berat hati. Membubarkan pasukan yang baru saja ia bangun adalah hal yang menyakitkan, tetapi ia mengerti perlunya.
Sementara Bianca memulai proses kiamat digital dan Marco menyampaikan perintah terakhirnya, Leo, Isabella, dan Pak Tirta mulai mengumpulkan apa yang penting. Bukan uang atau perhiasan. Mereka mengambil hard drive eksternal yang paling terenkripsi, beberapa set identitas palsu, dan senjata-senjata pribadi mereka.
Isabella berjalan melewati apartemennya untuk terakhir kalinya. Ia melewati ruang tamunya yang mewah, bar pribadinya, kamar tidurnya yang menjadi saksi bisu dari begitu banyak momen intim mereka. Ia berhenti sejenak di depan perpustakaan ayahnya. Untuk sesaat, ia tergoda untuk mengambil foto ayahnya dan Antonio Valli, untuk menyimpannya sebagai pengingat akan pengkhianatan. Tapi ia menggelengkan kepalanya. Masa lalu sudah mati. Ia tidak membawa apa-apa.
Mereka berkumpul kembali di ruang perang. Hitungan mundur digital di layar Bianca menunjukkan sisa waktu 15 menit. Di layar lain, citra satelit menunjukkan iring-iringan kendaraan taktis lapis baja mendekati menara mereka dari tiga arah.
"Saatnya pergi," kata Pak Tirta. "Rute utama sudah pasti diblokir. Kita akan gunakan 'Jalur Alkemis'."
'Jalur Alkemis' adalah rute pelarian gila yang dirancang oleh Leo dan Pak Tirta. Itu bukanlah sebuah terowongan atau pintu rahasia yang sederhana. Itu adalah serangkaian manuver berisiko tinggi yang dirancang untuk menjadi tak terduga.
Mereka berlari menuju helipad di atap. Tapi bukan untuk naik helikopter. Helikopter terlalu mudah dilacak dan ditembak jatuh. Saat mereka tiba di atap yang diterpa angin, mereka bisa melihat helikopter-helikopter Black Hawk milik satgas khusus mulai mendekat dari kejauhan.
"Sekarang!" teriak Pak Tirta.
Riko dan Maya sudah memasang sebuah tali baja berkekuatan tinggi dari pagar pembatas atap Empress Tower ke atap gedung perkantoran di seberang jalan, yang sedikit lebih rendah. Sebuah zip-line darurat.
"Kau duluan, Bianca!" perintah Leo. Bianca, dengan laptop paling penting terikat di punggungnya, menelan ludahnya tetapi segera mengaitkan dirinya ke tali dan meluncur ke dalam kegelapan malam, menghilang ke atap seberang. Marco menyusul, tubuhnya yang besar tampak aneh saat meluncur di atas tali baja itu.
Kini giliran Isabella. Ia ragu sejenak, menatap kerajaannya yang akan segera jatuh. Leo menggenggam tangannya. "Ini bukan akhir, Isabella. Ini hanya awal yang berbeda."
Ia mengangguk, mengaitkan dirinya, dan meluncur. Leo dan Pak Tirta adalah yang terakhir. Saat Leo mengaitkan dirinya, ia bisa mendengar deru helikopter musuh semakin dekat. Ia meluncur tepat saat sorot lampu raksasa dari helikopter pertama menyapu atap yang baru saja ia tinggalkan.
Mereka berhasil menyeberang. Di atap seberang, Riko dengan cepat memotong tali baja itu, membiarkannya jatuh ke gang gelap di bawah, menghapus jejak mereka. Dari sana, mereka berlari menuruni tangga darurat gedung itu, keluar melalui lobi yang sepi, dan masuk ke dalam sebuah mobil van bunga yang tampak biasa saja, yang telah disiapkan oleh Maya.
Saat van itu melaju perlahan, menyatu dengan lalu lintas malam Jakarta, mereka semua menoleh ke belakang dan melihat pemandangan terakhir dari kehidupan lama mereka. Puluhan kendaraan taktis menyerbu Empress Tower. Pasukan bersenjata lengkap turun dari helikopter ke atap. Menara gading mereka telah jatuh.
Mereka kini adalah buronan. Musuh negara nomor satu. Tanpa rumah, tanpa pasukan, tanpa sumber daya. Hanya ada mereka bertujuh, di dalam sebuah van bunga yang bau, dengan seluruh kekuatan negara memburu mereka.
Tujuan mereka bukanlah sebuah safe house mewah atau apartemen rahasia. Semua tempat itu pasti sudah ada di daftar Soeharto. Mereka menuju ke satu-satunya tempat di Jakarta di mana Jenderal Soeharto dan pasukannya tidak akan pernah berani masuk dengan kekuatan penuh tanpa memicu perang yang sesungguhnya: perut kota yang paling dalam dan paling busuk.
Pak Tirta mengarahkan mereka menyusuri jalan-jalan yang semakin sempit dan semakin gelap, hingga akhirnya mereka tiba di sebuah labirin gang-gang di kawasan kumuh di Jakarta Utara. Di sini, hukum negara adalah sebuah saran yang jauh. Hukum yang berlaku adalah hukum jalanan, hukum bertahan hidup. Udara dipenuhi oleh bau got, sampah yang terbakar, dan kemiskinan.
"Kita akan tinggal di sini untuk sementara," kata Pak Tirta saat mereka berhenti di depan sebuah ruko tua yang tampak reyot.
Bagian dalamnya adalah kebalikan dari penthouse mereka. Sempit, lembap, dan hanya diterangi oleh beberapa bola lampu pijar yang berkedip. Ada beberapa kasur tipis di lantai, sebuah dapur kecil yang kotor, dan satu kamar mandi yang kerannya bocor.
Bagi Isabella, tempat ini adalah sebuah kejutan budaya yang brutal. Ia, yang terbiasa dengan sprei sutra dan pelayan pribadi, kini harus berbagi ruang sempit dengan enam orang lainnya, tidur di atas kasur yang berbau apek. Ia melihat ke sekeliling, ke dinding yang catnya mengelupas, ke kecoak yang berlarian di sudut. Ini adalah titik terendahnya. Seorang Ratu di pengasingan, di tengah wilayah kaum papa.
Malam itu, saat yang lain mencoba untuk beristirahat, Leo menemukan Isabella duduk sendirian di dekat jendela yang berjeruji, menatap ke gang yang gelap. Ia tampak begitu kecil dan tersesat.
Leo duduk di sampingnya di lantai yang dingin. Ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya mengambil tangan Isabella dan menggenggamnya.
"Aku kehilangan segalanya, Leo," bisik Isabella, suaranya serak. "Semua yang dibangun ayahku. Semua yang kuperjuangkan. Hilang dalam satu malam."
"Kau tidak kehilangan segalanya," balas Leo lembut. "Kau kehilangan sebuah gedung. Kau kehilangan uang. Itu semua bisa dicari lagi. Tapi kau tidak kehilangan ini." Ia meremas tangannya. "Kau tidak kehilangan kami. Dan kau tidak kehilangan dirimu sendiri."
Di tengah kesengsaraan dan keputusasaan itu, di dalam sebuah ruangan kumuh yang menjadi istana baru mereka, sebuah keintiman yang berbeda lahir. Itu bukan lagi gairah yang didorong oleh adrenalin atau kemenangan, bukan pula ritual yang gelap. Itu adalah sebuah kebutuhan yang mendesak untuk menemukan kemanusiaan di tengah kondisi yang tidak manusiawi.
Ia menariknya ke dalam pelukannya, dan di atas sebuah kasur tipis di lantai, mereka bercinta. Adegan itu tidak glamor. Tidak ada sampanye, tidak ada pemandangan kota yang berkilauan. Hanya ada suara tetesan air dari keran yang bocor dan cahaya remang dari lampu jalanan yang menyelinap masuk melalui celah jendela.
Gairah mereka adalah sebuah bisikan di tengah kegelapan. Lambat, putus asa, dan sangat tulus. Itu adalah cara mereka saling mengingatkan bahwa mereka masih hidup, masih manusia, masih memiliki satu sama lain. Setiap sentuhan adalah sebuah penegasan di tengah ketidakpastian. Setiap ciuman adalah sebuah pemberontakan sunyi melawan nasib. Di sana, di titik terendah mereka, dilucuti dari semua kekuasaan dan kemewahan mereka, mereka menemukan esensi paling murni dari hubungan mereka. Itu adalah cinta di tengah reruntuhan. "Panas" dari adegan itu bukanlah panas api, melainkan kehangatan dari dua jiwa yang saling berpegangan erat agar tidak membeku dalam kegelapan.
Keesokan harinya, realitas dari situasi mereka menghantam dengan keras. Mereka berkumpul di sekitar sebuah televisi tua, menonton berita. Wajah mereka terpampang di setiap saluran, di bawah judul besar "MUSUH NEGARA". Media, yang kini sepenuhnya dikendalikan oleh narasi Soeharto, melukis mereka sebagai sindikat kejahatan transnasional yang kejam, bertanggung jawab atas segala hal mulai dari penyelundupan senjata hingga terorisme. Jenderal Soeharto tampil sebagai pahlawan, penyelamat bangsa.
Mereka telah dihapus dari sejarah dan ditulis ulang sebagai monster.
Isabella menatap layar dengan tatapan kosong. "Dia tidak hanya mengalahkan kita," bisiknya. "Dia menghapus kita."
Rasa putus asa mulai menyelimuti kelompok kecil mereka. Mereka terjebak, diburu, dan kini dibenci oleh publik. Mereka telah kalah total.
Saat semua orang tampak tenggelam dalam kesunyian yang muram, Leo bangkit. Ia berjalan ke sebuah meja kayu tua yang reyot dan membentangkan sesuatu di atasnya. Bukan sebuah tablet canggih, melainkan sebuah peta kertas tua yang sudah usang dari kawasan kumuh Jakarta Utara.
"Dia mengambil menara kita," kata Leo, suaranya yang tenang memotong keheningan. "Dia mengambil uang kita. Dia mengambil pasukan kita. Dia pikir dia telah mengambil segalanya dari kita."
Ia menatap wajah-wajah timnya yang lelah dan putus asa. "Tapi dia lupa satu hal yang paling penting."
"Apa itu?" tanya Marco, suaranya tanpa harapan.
Leo tersenyum, senyum pertamanya sejak menara itu jatuh. Itu bukan lagi senyum dingin sang ahli strategi. Itu adalah senyum liar dari seorang pemberontak.
"Dia lupa," kata Leo, "bahwa sebelum kita menjadi raja dan ratu di istana, kita semua lahir dari jalanan. Dia telah melucuti kita dari senjata-senjata kita yang modern. Tapi dengan melakukan itu, dia justru memaksa kita untuk kembali menggunakan senjata kita yang paling tua dan paling kuat: kota ini sendiri."
Ia menunjuk ke peta itu, ke labirin gang-gang, pasar-pasar gelap, dan wilayah-wilayah geng yang tak tersentuh hukum. "Soeharto dan para jenderalnya mungkin menguasai istana dan gedung-gedung parlemen. Tapi mereka tidak menguasai ini. Ini adalah kerajaan yang berbeda. Sebuah kerajaan yang dibangun di atas keputusasaan, kemarahan, dan ketidakpercayaan pada sistem yang telah melupakan mereka. Ini adalah rakyatnya Soeharto yang terlupakan."
Ia menatap Isabella, matanya kini berkobar dengan api yang baru, api revolusi. "Kita berhenti menjadi perusahaan kriminal yang beroperasi dari atas ke bawah. Mulai hari ini, kita menjadi sebuah gerakan. Kita akan berjuang dari bawah ke atas. Kita akan menggunakan para preman, para pencuri, para pedagang kaki lima, semua orang yang telah dihancurkan oleh sistem Soeharto, sebagai pasukan baru kita."
Ia mengambil sebuah spidol merah dan dengan satu gerakan tegas, ia melingkari sebuah area di peta, sebuah kawasan kumuh paling padat dan paling berbahaya yang dikenal sebagai "Sarang Tawon".
"Soeharto menguasai istana," deklarasinya, suaranya kini bergema dengan kekuatan baru yang lahir dari keputusasaan.
"Baiklah. Kalau begitu... kita akan merebut jalanannya."