Di tengah hiruk pikuk kota Bandung yang modern, seorang pemuda terjebak dalam cinta yang tidak seharusnya. Ia tak tahu, bahwa wanita yang ia cintai menyimpan masa lalu yang kelam — dan hubungan mereka bukan sekadar kisah cinta biasa, melainkan takdir yang berulang dari masa lampau...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BABAK III: METAMORFOSIS NAHKODA ADIEGAN 11: GERBANG MENUJU KEHIDUPAN BARU 
Pengakuan Arya di restoran malam itu mengubah segalanya. Setelah tangisan haru yang mereda, Arya menjelaskan segalanya: kisah cinta masa lalu yang rumit dengan Nawangsih, kesalahpahaman, hingga keputusannya untuk melarikan diri karena ketakutan akan tanggung jawab. Arya memohon ampun, dan Reza, meskipun bingung dan terluka oleh masa lalu, tidak bisa menolak pelukan seorang ayah yang baru ia kenal, terutama di saat ia paling terpuruk.
Arya segera membawa Reza pergi dari keramaian pusat kota. Mereka naik taksi premium menuju kawasan elit Jakarta Pusat. Jalanan yang tadinya bising dan penuh sesak, perlahan berubah menjadi deretan jalanan yang teduh, dikelilingi pagar-pagar tinggi dan lampu jalanan yang lembut.
Tak lama kemudian, taksi berhenti di depan sebuah gerbang hitam tinggi. Ini adalah kawasan Menteng, yang identik dengan kemewahan dan ketenangan. Arya menekan bel, dan gerbang itu terbuka otomatis, menampakkan taman yang tertata rapi.
Reza terperangah. Rumahnya di Bandung dulu hanyalah rumah sederhana dengan taman kecil. Apa yang ia lihat di hadapannya kini adalah sebuah kompleks perumahan yang mewah.
Mobil melaju pelan, lalu berhenti di depan sebuah rumah yang megah. Arsitekturnya modern, dengan dominasi kaca dan batu alam, diterangi pencahayaan hangat. Arya turun, diikuti oleh Reza yang masih terpaku.
"Ayo, Reza. Selamat datang di rumah Ayah," ujar Arya, meraih ransel Reza yang lusuh, seolah barang itu adalah benda paling ringan di dunia.
Reza melangkah keluar, matanya menyapu setiap detail. Di satu sisi, ia melihat pancuran air yang tenang. Di sisi lain, sebuah bayangan biru memantul dari lampu bawah air—sebuah kolam renang yang tampak berkilauan di kegelapan. Rumah ini adalah definisi kesuksesan, sebuah dunia yang sangat jauh dari gudang kotor tempat ia mabuk.
"Ini... ini rumah Kakak?" tanya Reza terbata-bata, masih sulit memanggil Arya dengan sebutan 'Ayah'.
"Ini rumah Ayah. Dan mulai sekarang, ini juga rumahmu," jawab Arya. Ia menepuk bahu Reza, menyiratkan kehangatan yang melegakan.
"Kolam renang itu..."
"Nanti pagi kita coba berenang. Tapi sekarang, mari kita istirahat," ajak Arya, mendahului masuk ke teras.
Saat mereka melangkah mendekati pintu utama, sebuah suara riang menyambut mereka. Dari sudut teras, seekor anjing Golden Retriever berukuran besar berlari mendekat. Anjing itu bernama Max. Max menyambut Arya dengan melompat-lompat kecil, ekornya bergoyang gembira.
Anjing itu kemudian beralih ke Reza, mencium tangan remaja itu dengan rasa ingin tahu. Reza, yang dulu hanya berinteraksi dengan anjing liar yang keras di jalanan, sempat ragu, tetapi kelembutan anjing itu menenangkannya.
"Itu Max. Dia teman baik Ayah," jelas Arya, mengusap kepala Max. "Dia ramah, jangan takut."
Arya membuka pintu utama. Interior rumah itu membuat Reza semakin terkejut. Langit-langit tinggi, lantai marmer yang mengilap, dan perabotan minimalis yang mahal. Segalanya berbanding terbalik dengan kekacauan dan kemiskinan yang ia tinggalkan.
"Anggap saja ini rumahmu sendiri, Nak. Di sini tidak ada larangan, selama kamu serius memperbaiki diri. Ayah tidak mau kamu kembali ke jalanan," kata Arya, menatap Reza dengan tatapan yang penuh harapan.
Arya meletakkan ransel Reza di lantai, lalu melangkah ke koridor menuju lantai atas.
"Ayo, Ayah tunjukkan kamarmu. Kamu pasti lelah sekali. Besok kita bicara lebih detail, termasuk soal sekolah pelayaranmu."
Reza mengikuti Arya menaiki tangga. Langkah kakinya terasa ringan, tetapi pikirannya sibuk. Ia adalah anak yang diusir oleh ibu yang terlalu muda, dan kini ia menemukan ayah yang sukses, tinggal di rumah impian yang bahkan tidak pernah ia bayangkan.
Mereka tiba di sebuah pintu kayu besar. Arya membukanya.
"Ini kamarmu. Semua di dalamnya baru. Ayah sudah menduganya suatu saat kamu akan datang." (Arya berbohong, ia baru menyiapkan kamar itu dengan tergesa-gesa begitu mendengar pengakuan Reza di restoran.)
Reza melangkah masuk ke kamarnya. Kamar itu luas, dengan jendela besar menghadap taman dan kolam renang. Tempat tidur berukuran queen dengan seprai putih bersih, meja belajar modern, dan sebuah lemari pakaian yang kosong—menunggu untuk diisi dengan identitas baru.
Reza menoleh ke arah Arya, matanya berkaca-kaca karena rasa terima kasih yang tak bisa ia ucapkan.
"Ayah... terima kasih," kata Reza, akhirnya mengucapkan kata "Ayah" dengan lantang.
Arya tersenyum, senyum tulus yang meredakan rasa bersalah yang ia tanggung selama 15 tahun.
"Istirahat, Nak. Pintu selalu terbuka di sini. Besok, kita mulai hidup baru. Hidup sebagai Nahkoda sejati, bukan anak jalanan. Janji?"
Reza mengangguk mantap. Ia memeluk Arya untuk kedua kalinya, pelukan yang kini terasa penuh harapan.
Setelah Arya keluar, Reza menutup pintu. Ia meletakkan ransel lusuhnya di sudut kamar marmer itu, simbol masa lalu yang telah ia tinggalkan. Ia berjalan ke jendela, menatap refleksi dirinya sendiri: remaja 15 tahun yang lelah, diusir, dan kini tiba-tiba menjadi bagian dari kemewahan.
Di sana, di tengah kemewahan itu, tekadnya untuk menjadi Nahkoda mengeras. Ia harus sukses, tidak hanya demi dirinya, tetapi demi membuktikan diri kepada Nawangsih. Ia akan kembali ke Bandung, tetapi tidak sebagai anak yang diusir, melainkan sebagai pria yang sejajar dengan ayahnya, pria yang layak dicintai oleh ibunya.