Ku Buat Kau Menyesal, Mas!
Sudah genap satu tahun Aluna menyandang status sebagai Nyonya Pramudya. Namun, gelar itu sama sekali tidak membuat hidupnya lebih indah. Barra masih tetap sama dingin, kaku, dan seakan tidak peduli bahwa ada seorang istri yang menunggunya di rumah setiap malam.
Setiap hari Aluna selalu mencoba mencari perhatian, meski sering berakhir dengan kecewa. Kadang ia sengaja terlambat pulang, kadang ia menggoda teman pria mereka di pesta, bahkan pernah ia sengaja mengenakan gaun yang paling disukai banyak pria hanya untuk melihat reaksi suaminya. Namun semua sia-sia. Barra tidak pernah marah, tidak pernah cemburu, bahkan seakan tidak melihat usaha Aluna sama sekali.
Malam itu, Aluna kembali mencoba. Dia duduk di ruang kerja Barra, melipat tangan di dada dengan wajah cemberut.
“Barra,” panggilnya, suaranya dibuat manja.
Pria itu bahkan tidak mengangkat wajah dari dokumen di hadapannya.
“Hm?”
“Aku tadi makan malam sama Andra. Dia bilang aku makin cantik.” Aluna menekankan kalimat terakhir, berharap ada sedikit reaksi.
Tapi Barra hanya menandatangani berkasnya.
“Baguslah kalau begitu,” jawabnya singkat.
Aluna terdiam, dadanya terasa sesak. Ia ingin marah, ingin berteriak bahwa dia bukan boneka yang hanya dipajang di rumah besar ini, tapi lidahnya kelu. Perlahan, air mata jatuh tanpa bisa ia tahan. Ia membalikkan tubuh, berjalan keluar, meninggalkan suaminya yang bahkan tidak menyadari betapa hancurnya hati seorang istri yang terus berusaha dicintai.
Aluna masih terduduk di ruang tamu dengan wajah penuh kekecewaan. Air matanya belum kering ketika suara pintu kamar kerja terbuka. Barra keluar dengan langkah tergesa, ponsel menempel di telinganya.
“Ya, saya segera ke sana … tunggu di tempat biasa,” suara Barra terdengar jelas, dingin, penuh kepastian.
Aluna buru-buru berdiri, menghampiri pria itu. “Barra, kamu mau ke mana? Ini sudah hampir tengah malam,” tanyanya dengan nada cemas bercampur curiga.
“Menemui klien,” jawab Barra singkat tanpa menoleh.
“Klien? Jam segini?” Aluna menahan pergelangan tangan Barra, memaksanya berhenti sejenak. Matanya menatap penuh harap, menunggu jawaban yang bisa menenangkan hatinya.
Namun, Barra hanya menarik tangannya dengan kasar, lalu melangkah lagi. “Jangan ikut campur.”
Pintu utama terbuka dan tertutup keras, meninggalkan Aluna yang berdiri mematung di ruang tamu yang luas tapi terasa hampa. Tangannya mengepal erat, tubuhnya bergetar menahan perasaan yang campur aduk marah, kecewa, sakit hati, sekaligus masih mencintai.
'Satu tahun …'batinnya.
'Satu tahun aku mencintai pria itu. Satu tahun aku berbakti pada pernikahan ini. Aku menyiapkan sarapan setiap pagi, menunggunya setiap malam, merelakan tubuhku, bahkan mengubur semua egoku hanya untuknya. Tapi, apa balasan yang kudapat? Tatapan dingin, kata-kata singkat, bahkan sapaan pun tak pernah.'
Aluna menutup wajahnya dengan kedua tangan. Isak kecil lolos, menyesakkan dadanya. Yang tak pernah ia tahu malam itu bukanlah malam biasa. Malam itu menjadi awal dari kembalinya mimpi buruk yang selama ini dijauhkan Kakek Haryanto darinya.
Sementara itu di tempat lain.
Bandara malam itu dipenuhi cahaya lampu neon yang berkilauan, ramai dengan para penumpang yang baru tiba dari penerbangan internasional. Barra berdiri tegap di depan pintu kedatangan internasional, jas hitamnya rapi, wajahnya tegas seperti biasa.
Tak lama, seorang gadis berwajah cantik dengan senyum menawan melangkah keluar. Rambut panjangnya tergerai, tubuhnya dibalut gaun sederhana namun elegan, dialah Miska saudara tiri Aluna.
“Kak Barra…” suara lembut itu terdengar, seakan membawa nostalgia yang selama ini disembunyikan.
Barra menoleh, matanya berbinar untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Senyum tipis muncul di wajah yang selama setahun hanya menunjukkan dingin pada istrinya.
Tanpa ragu, Miska berlari kecil dan langsung memeluk Barra. Seolah-olah pria itu bukan kakak iparnya, melainkan pria yang sudah lama dinantikan dengan penuh rindu. Barra tidak menolak, bahkan seakan menikmati kehadiran gadis itu. Di balik pelukan hangat itu, Miska diam-diam mengeluarkan ponselnya, mengangkatnya sedikit ke samping. Sebuah foto dirinya dan Barra yang tampak akrab pun terabadikan. Beberapa menit kemudian, foto itu terkirim ke ponsel ponsel Aluna.
Aluna yang masih duduk di ruang tamu, menunggu Barra pulang dengan mata sembab, mendengar getaran ponselnya. Ia membuka pesan, dan detik berikutnya wajahnya pucat.
Layar menampilkan foto Barra bersama Miska. Senyum manis Miska tampak begitu polos, seakan sedang bersama pria yang benar-benar mencintainya.
[Kak, terima kasih sudah menjaga Barra untukku. Sekarang aku sudah pulang.]
Jantung Aluna serasa diremas. Matanya berkaca-kaca, dadanya bergemuruh. Tangannya bergetar menggenggam ponsel. Namun, ia tidak membalas. Hanya menutup layar dan meletakkan ponsel itu di meja. Air matanya jatuh, satu demi satu.
'Jadi benar … dari awal yang ada di hati Barra hanyalah Miska.'
Aluna memeluk dirinya sendiri, seakan mencoba menahan perih yang menelannya hidup-hidup. Aluna menyeka air matanya kemudian, lalu bangkit dari sofa menuju kamarnya.
Malam itu rumah besar Pramudya milik suaminya terasa hening. Aluna duduk di sisi ranjang, memandangi gelas air putih yang baru saja ia letakkan di atas nakas. Tangannya sedikit bergetar, tapi matanya penuh tekad.
'Jika cinta tidak bisa kudapat dengan cara yang baik, maka aku akan merebutnya ... dengan cara apapun.'
Pukul sebelas lebih, pintu kamar terbuka. Barra baru pulang. Wajahnya tampak lelah, jas dilepaskan begitu saja, lalu ia masuk ke kamar mandi. Air terdengar mengalir sebentar, sebelum pria itu keluar dengan rambut masih sedikit basah.
Barra menoleh pada ranjang, melihat Aluna terlelap. Ia menghela napas panjang. Berniat untuk tidur di ruang tamu, seperti biasa. Namun sebelum keluar, kebiasaan lamanya memanggil, ia mengambil gelas air putih di atas nakas, meneguknya hampir tandas.
Belum sempat melangkah ke pintu, tubuhnya tiba-tiba terasa panas. Nafasnya berat, matanya mendelik ke arah gelas kosong di tangan, lalu pada sosok Aluna yang masih berbaring. Dengan langkah terguncang, ia mendekat, lalu mencengkeram bahu istrinya. “Kau … kau memberi aku obat?!” suaranya berat, penuh amarah.
Aluna tersentak, pura-pura terbangun. “Apa maksudmu? Aku tidak mengerti, Barra…” suaranya lembut, matanya berair, namun di dalam hati ia berbisik penuh ambisi, 'Jika aku tidak bisa mendapatkan hatimu, maka aku akan mendapatkanmu dengan cara ini.'
Barra berusaha keras menolak gejolak dalam tubuhnya. Namun tatapan Aluna, sentuhan tangannya, dan kehangatan yang semakin dekat membuat pertahanannya runtuh. Malam itu, akhirnya ia tak kuasa lagi menahan. Aluna tersenyum di balik desahannya, menikmati setiap detik.
'Akhirnya, kau jadi milikku, Barra.'
Setelah semuanya usai, Barra terlelap dalam kelelahan. Aluna masih terjaga, dengan tatapan penuh kemenangan, ia mengusap lembut wajah suaminya, lalu mengambil ponselnya.
Sebuah foto Barra yang tertidur di pelukannya pun terabadikan, dengan cepat, ia kirimkan foto itu kepada Miska.
[Dia ada di sisiku, bukan di sisimu. Jangan coba-coba merebut apa yang sudah jadi milikku.]
Di rumah keluarga Wijaya, Miska yang sedang bersiap tidur menerima pesan itu. Saat foto itu muncul di layar, wajahnya memerah, tangannya gemetar. Teriakan melengking lepas dari mulutnya, memenuhi kamar mewahnya.
“Aku tidak akan kalah darimu, Aluna!” pekiknya sambil menghantam meja rias hingga cermin bergetar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
A.M.G
paling nyesek kalo tidak diakui keberadaan 🤧
2025-09-07
0
Uthie
Menarik 👍👍👍
2025-09-09
0
ken darsihk
Aq mampir 😍😍
2025-09-06
1