Naren kehilangan pekerjaannya dan terpaksa kerja serabutan demi menghidupi istri serta tiga anaknya.
Namun pengorbanannya tidak cukup untuk menahan hati Nadira, sang istri, yang lelah hidup dalam kekurangan dan akhirnya mencari kenyamanan di pelukan pria lain.
Di tengah getirnya hidup, Naren berjuang menahan amarah dan mempertahankan keluarganya yang perlahan hancur.
Mampukah Naren tetap mempertahankan keluarga kecilnya di tengah peliknya kehidupan? Menurunkan Ego dan memaafkan istrinya demi sang buah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kangen Ibu
"Terimakasih Shanaya, aku nggak tahu harus membalas kebaikan kamu seperti apa," ucap Naren sebelum turun dari mobil Shanaya.
Hari ini tepat seminggu setelah ia terkena tembakan dan sudah diperbolehkan pulang. Kondisinya pun jauh lebih baik karena terus mengonsumsi obat dengan teratur. Dan selama seminggu pula yang bolak balik rumah sakit menjenguknya adalah Shanaya. Naren pun bingung mendapati kebaikan Shanaya.
Saat masih bersama Nadira dulu, wanita itu tidak pernah menyapanya. Tetapi sekarang Shanaya seolah berusaha mendekatkan diri.
Hari ini pula, wanita itu datang menjemputnya saat mendengar dia telah keluar dari rumah sakit.
"Apa mungkin dia menyukaiku?" gumam Naren terus menatap Shanaya yang sibuk menurunkan barang bawaan yang tidak seberapa. "Nggak mungkin." Ia mengelengkan kepalanya, menepis kemungkinan tersebut.
"Yey ayah pulang, Naresa kangen ayah." Teriakan anak kecil di ambang pintu mengambil atensi Naren.
Pria itu berjalan pelan, berlutut untuk mensejajarkan tingginya dengan sang putra. "Ayah juga kangen sama Naresa dan adek. Maafin ayah ya karena kerjanya kelamaan sampai nggak pulang-pulang."
"Nggak apa-apa Ayah, kata nenek ayah cari uang untuk kakak dan adek. Ayah tahu? Kemarin Naresa nangis."
"Kenapa Nak?"
"Naresa kira ayah pulang ke rumah ibu tanpa mengacak Naresa dan adek."
"Nggak mungkin Nak." Naren mengacak-acak rambut Naresa. Pria itu berdiri dan mengenggam tangan putranya menghampiri Shanaya yang masih berada di samping mobil memperhatikan interaksi mereka.
"Hay ganteng." Shanaya menyapa dengan senyuman.
"Halo tante cantik. Tante teman kerjanya ayah ya?"
"Iya."
"Ayah nggak nakal kan Tante?" Naresa mengerjap pelan.
Naren membulatkan matanya, sedangkan Shanaya mengulum senyum. "Nggak dong, ayah mah kalau kerja nggak banyak tingkah."
"Shanaya? Ya ampun kenapa malah mengobrol di sini sih? Ayo masuk dulu!" seru wanita paruh baya. "Kamu ini ada tamu bukannya di ajak masuk malah ngobrol di depan rumah."
Naren meringis mendapatkan tepukan di lengan. Bukan sakit, tapi malu dengan tingkah ibunya. Usianya sudah 35 tahun, tapi ia selalu diperlakukan seperti anak kecil jika berada di rumah. Apalagi sekarang sudah resmi bercerai dengan Nadira.
"Iya Buk makasih tawarannya, tapi saya harus pergi soalnya masih ada pekerjaan."
"Kalau begitu tunggu sebentar ya." Ibu Naren berlari memasuki rumah.
"Sorry Nay, aku membuang waktumu yang berharga."
"Nggak apa-apa, aku senang kok. Kalau begitu aku pergi sekarang Ren, ada meeting sama karyawan."
Naren mengangguk, dan mengajak putranya masuk ke rumah setelah Shanaya pergi.
Dan yap, karena ulahnya sendiri ia mendapatkan tatapan tajam dari ibunya yang tengah membawa paper bag di tangan.
"Kamu ini nggak bisa apa cegah Shanaya pergi dulu?" omel ibu Naren.
"Bu, Shanaya sibuk dan ada meeting. Kalau menunggu ibu dia bisa terlambat."
"Ibu kan cuma mau berterimakasih soalnya dia jagaian kamu di rumah sakit. Dia bukan siapa-siapa tapi peduli padamu. Sedangkan mantan istrimu itu ...."
"Kan bagus Buk, Nadira nggak menemui Naren lagi."
"Ya tapi seengaknya dia datang untuk mempertanyakan anak-anaknya, soalnya ayahnya lagi sakit. Ini malah menghilang."
"Sudah Bu, nanti Naren yang mengantar itu buat Shanaya." Naren menunjuk paper bag yang entah apa isinya. "Tapi Naren istirahat dulu beberap jam."
....
"Dalian mau ikut." Darian berlari menyusul ayahnya yang duduk di teras sembari memasang sepatunya.
"Naresa juga."
"Boleh, sekalian kita jalan-jalan. Adek Seren di mana?"
"Tidur di kamar nenek, Ayah."
"Ya udah kita pergi bertiga saja." Naren kembali ke kamarnya untuk mengambil jaket, sebab di luar sana sedang gerimis.
Seperti janjinya pada sang Ibu, dia akan mengantar paper bag yang hendak diberikan pada Shanaya tadi. Ternyata isinya kue kering yang ibunya buat. Naren tidak keberatan sama sekali membawa kue kering tersebut sebab merasa Shanaya sudah baik padanya.
"Kita mau ke mana ayah?" tanya Naresa.
Naren melirik kedua putranya yang duduk di jok belakang dengan sabuk pengaman di tubuh.
"Ke toko tante Shanaya."
"Dalian kila mau ketemu ibu."
"Darian mau ketemu ibu?"
"Mau ayah." Darian menganggukkan kepalanya.
"Ayah, kenapa kita nggak tinggal sama ibu lagi? Biasanya ayah nggak mau jauh-jauh dari ibu. Selalu peluk ibu. Ayah juga pernah bilang nggak bisa tidur kalau nggak dipeluk ibu," tanya Naresa.
Naren tersenyum menanggapi pertanyaan putranya. Memang dulu, dia sangat bucin pada Nadira. Apapun rela Naren lakukan untuk membahagiakan istrinya. Dia pun terkadang manja dan rebutan kasih sayang dengan anak-anak.
Namun, semuanya berubah setelah ia dipecat. Kebahagian yang selalu tercipta sirna hanya karena sebuah nafkah. Sekarang Naren sadar, bahwa uang bisa merubah segalanya termasuk sifat manusia.
Selain cinta, Nadira membersamaimu karena uang. Dia merasa hidup denganmu masa depannya akan terjamin, kebutuhannya terus terpenuhi. Namun, saat kamu tersandung batu, dia mulai resah. Takut kamu tidak bisa lagi menjamin masa depannya dan memilih mencari seseorang yang bisa mewujudkan itu.
Ucapan ibu nya kala itu menjadi pacuan untuk Naren sedikit demi sedikit mulai berdamai dengan masa lalunya. Benar jika Nadira memang tulus mencintainya, dia tidak akan pergi hanya karena dia tidak berpenghasilan lagi.
"Ibu dan ayah nggak akan tinggal bersama lagi Nak."
"Kenapa ayah?" tanya Naresa dan Darian serempak.
"Ayah akan menjelaskan jika sudah waktunya."
Naren menghentikan mobilnya di depan sebuah toko dua lantai. Toko itu terlihat cantik dan estetik sebab nuansanya pink putih. Memikat anak-anak untuk mampir dan berbelanja apa saja.
Di dalam toko itu ada banyak anak-anak bersama orang tua mereka.
"Kita mau belanja ayah?" tanya Darian.
"Bertemu tante Shanaya."
Naren turun dari mobil, mengenggam tangan Darian yang berada di tengah-tengah. Sedangkan Darian dan Naresa saling berpegangan.
"Permisi, apa bu Shanayanya ada?"
"Ada pak di ruangannya. Bapaknya perlu apa? Biar saya ...."
"Saya temannya Bu Shanaya. Nama saya Naren."
"Tunggu sebentar pak." Karyawan tersebut segera undur diri.
Melihat hal itu, Naren pun melihat-lihat beberapa pajangan. Benar-benar semua desainnya di luar prediksi, sangat lucu tapi mengikuti trend.
Senyum Naren mengembang melihat satu desain yang sangat familiar untuknya.
"Selera bapak sangat bagus. Kebetulan ini adalah produk baru kami dan stoknya terbatas. Pakaian ini sangat cocok saat musim hujan. Bisa dipakai anak cewek atau cowok. Adeknya pasti juga." jelas karyawan di toko tersebut.
"Pak Naren bisa langsung ke ruangan bu Shanaya."
"Oh oke, terimakasih." Naren dan kedua putranya pun langsung ke lantai dua. Sedangkan para karyawan mulai berbisik satu sama lain.
"Siapa namanya tadi Pak Naren? Gila ganteng banget, mana adik-adiknya imut semua lagi."
"Iya ih, tadi pas baru masuk ke toko aku kira pangeran."
Di lantai dasar Naren terus menjadi topik panas, apalagi ini pertama kalinya Shanaya dikunjungi teman pria. Biasanya ada pria yang datang, tetapi rekan bisnis, bukan teman.
"Aduh gawat sih kalau sampai jadi bos kita, bisa-bisa salfok terus sama kegantengannya."
.
.
.
.
.
.
Hm, kalau nggak rujuk sama Nadira, kira-kira Naren cocoknya sama siapa ya🤭
udah kmu sm shanaya aja aku dukung pake bgtttt😄
tapi jangan Leona deh orang tuanya konglomerat takut Nanti Naren nya juga minder
dan takutnya orang tua Leona ga mau menerima anak2 Naren
jadi sama shanaya aja
semoga Naya juga sayang anak2 Naren