Quin didaftarkan ke acara idol oleh musuh bebuyutannya Dima.
Alhasil diam-diam Quin mendaftarkan Dima ikutan acara mendaftarkan puisi Dima ke sayembara menulis puisi, untuk menolong keluarga Dima dari kesulitan keuangan. Sementara Dima, diam-diam mendaftarkan Quin ke sebuah pencarian bakat menyanyi.
Lantas apakah keduanya berhasil saling membantu satu sama lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon imafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Terdengar suara bel ganti pelajaran berbunyi. Dima dan Quin masih di ruang kesehatan. Berkali-kali Dima menyuruh Quin kembali ke kelas, tapi Quin tetap duduk di kursi bundar di sebelah Bu Vina yang mengobati dagunya Dima dengan obat merah.
“Sudah. Cepat kembali ke kelas,” kata Bu Vina sambil merapikan kotak obat.
Quin dan Dima bangkit dari kursi, lalu sama-sama keluar ruangan sambil berkata, “Makasih, Bu.”
Mereka berdua jalan di lorong sekolahan dengan dinding yang dominan berwarna hijau.
“Sori,” kata Quin akhirnya berani bicara.
“Ngapain minta maaf? Kan bukan gara-gara kamu juga sih.”
Tiba di kelas, ternyata teman-teman sedang sibuk masing-masing. Ternyata jam kosong.
“Quin minta parfum tadi gue!”kata Meta pada Quin yang datang dan langsung pergi lagi setelah mengambil baju seragamnya dan pergi ke luar kelas untuk ganti baju.
Tapi tidak dengan Dima. Dima langsung membuka bajunya, mengelap badannya dengan baju olahraga, lalu memakai kaos dan seragamnya di kelas.
“Eh gila lu! Jangan ganti di sini!” kata Meta sambil menutup matanya ketika Dima mengambil celana seragamnya.
“Mana bau banget lagi ketek lu!” Jejen mendorong Dima agar segera keluar kelas.
“Iyaaa! Ini gue ganti di kamar mandi!”kata Dima melangkah ke luar kelas dengan seragam yang belum terkancing.
Jejen melemparkan parfum ke Dima, tanpa sepengetahuan Meta, “Nih pake!”
—
Quin yang sudah ganti baju seragam keluar dari kamar mandi bersamaan dengan Dima yang juga keluar dari kamar mandi sedang memakai parfum.
“Lo ngambil parfum gue?” tanya Quin sambil merebut parfumnya dari Dima.
“Itu punya elu?” Dima tampak polos dan memang tidak tahu bahwa itu parfum milik Quin.
“Iya!”
“Jejen tadi yang ngasih itu,”
“Jangan main asal ambil punya orang dong!” Quin bergegas pergi dengan langkah kakinya yang berderap kesal. Harusnya dia tidak marah, toh tadi dia juga yang membuat Dima terluka, tapi lagi-lagi Quin tidak bisa santai kalau menghadapi Dima. Entah kenapa Quin seperti lebih mudah menghadapi Dima dengan emosi.
“Sori,” kata Dima yang melewati Quin yang duduk di tengah sebangku dengan Nisa dan sebelahan dengan Meta.
“Lah, ngapain sori? Kan bukan elu yang ngambil, tadi Meta yang minjem,” jawab Quin membalikkan kata-kata Dima.
Dima nyengir meledek, “Iya juga.”
–
Jam terakhir, jam kesenian. Hari ini pelajaran mengenai membaca not nada. Dan yang jadi panutannya adalah Quin. Sebagai vokalis utama paduan suara sekolah, Quin selalu jadi anak murid kesayangan guru seninya, Pak Adam. Orang-orang bilang, karena Pak Adam sebenarnya suka pada Quin, tapi siapa yang tidak suka pada Quin yang cantik dan punya suara merdu.
Dima memperhatikan Quin melantunkan nada mengikuti nada piano yang dimainkan Pak Adam. Kemudian satu persatu anak-anak melakukan hal yang sama. Givan dan Danu membuat ruang seni penuh dengan tawa, karena mereka sama sekali tidak bisa bernyanyi.
“Ajarin dong temennya nyanyi,” bisik Quin pada Dima.
“Kalau elu mau ngajarin, gue mau ngajarin mereka,” kata Dima menantang.
“Lah kan temennya mereka elu!”
“Tapi kan yang jago elu!”
”Elu juga jago,”
“Ya, nggak sejago elu yang dari kecil les vokal di rumah lah!” kata Dima bermaksud memuji.
“Apa salahnya les?” Quin bertanya dengan nada tersinggung.
Dima tidak mengerti dimana salahnya, “Nggak salah kok.”
“Iya deh, yang suaranya udah bagus, dan nggak usah les lagi. Aku mah apa,” kata Quin pura-pura merendah untuk menyindir Dima.
“Cewek tuh emang ya, gampang baper! Baper aja dulu mikirnya entaran,” Dima mencibir kesal.
“Sumpah yah, ngeselin ngomong sama elu lama-lama!” kata Quin sambil menjauhi Dima dengan keras. Membuat semua orang berpaling ke mereka berdua. Dima yang dari tadi membawa buku puisinya, langsung pura-pura tidak tahu dan sibuk membaca buku.
–
Quin menutup rapat jendela kamarnya yang tadinya terbuka. Dia bisa melihat Dima sedang jalan pulang sambil membaca buku puisi yang dari tadi dibawanya.
“Jam segini baru pulang, dari mana dia?” Quin bermaskud bergumam, tapi Nisa yang sedang duduk di lantai kamar Quin bisa mendengarnya.
“Paling juga nongkrong dulu di warung Bu Neneng,” jawab Nisa santai sambil mengecas hape di colokan kamar Quin. Nisa memang sering mampir main ke rumah Quin sebelum pulang ke rumahnya. Wajar saja, di rumah Quin sepi, tidak seperti di rumahnya yang ada adiknya yang masih SMP dan dua adiknya yang masih SD. Sedangkan Quin adalah anak tunggal yang mamanya sedang sibuk mengurus kafe bersama teman-temannya. Quin jadi hanya tinggal sendiri. Teh Santi kadang-kadang saja ada di rumah siang-siang untuk mengangkat jemuran dan menyeterika.
“Gue nggak bilang dia itu Dima, kok elu tahu gue ngomongin Dima?” tanya Quin sambil duduk di kasur dan mengambil hapenya.
“Ya, elu ngomongnya sambil ngeliat ke situ, ngomongin siapa lagi?” tanya Nisa balik sambil menunjuk ke arah jendela.
“Betah amat nongkrong di warung, nggak kepanasan apa?” Quin sibuk menscroll media sosial teman-temannya. Dia melihat Jejen update story lagi main uno di warung bu Neneng.
“Elu sama Dima tuh kenapa sih?” tanya Nisa yang berhenti melihat media sosial di hapenya.
“Kenapa, apa?” Quin masih melihat media sosial di hapenya.
“Serius elu nggak suka sama dia?” tanya Nisa serius. Sekian lama akhirya, Nisa berani bertanya pada Quin.
Quin terdiam, manyun. Dia tidak ingin berbohong pada sahabatnya. Dia ingin bilang kalau memang dia punya sedikit - sebetulnya banyak - ketertarikan pada Dima, tapi rasanya itu hanya karena memang Dima punya faktor sebagai orang yang mudah disukai orang lain saja. Jadi bukan hanya Quin, banyak orang menyukai Dima.
“Suka juga nggak apa-apa kali,” Nisa mencoba menerka apa yang ada di pikiran Quin.
“Hmmm, gimana ya?” Quin masih serius melihat hapenya.
“Kalau dia suka sama elu? Elu mau sama dia?”
“Ah, nggak mungkin! Kalau suka sama gue, harusnya dia nggak ngajak berantem melulu dong!”
“Di novel-novel biasanya cowok introvert kalau suka sama cewek itu caranya adalah ngajak berantem.”
“Itu kan di novel!” jawab Quin sibuk membuka media sosial milik Dima yang kosong, tidak ada apa-apa.
“Novel itu kan ditulis berdasarkan kejadian nyata juga, Quin.”
“Eh ini ada lomba puisi!” Quin tiba-tiba teriak mengalihkan pembicaraan.
“Ngalihin topik!” Nisa terdengar kesal.
“Yaaah, tapi batasnya besok malem!” Quin tidak peduli dengan keluhan Nisa yang memang dirinya berusaha mengalihkan topik pembicaraan soal Dima.
“Elu ajak aja Dima bikin puisi!” usul Nisa asal-asalan.
Quin terdiam. Dia berpikir usulan Nisa itu ada benarnya, tapi bagaimana caranya mengajak Dima bikin puisi, tanpa harus mengajak Dima.
‘Usulan yang bukan usulan!’ kata Quin dalam hati.
Bersambung.
queen Bima
mantep sih