Sejak bayi, Eleanor Cromwel diculik dan akhirnya diasuh oleh salah satu keluarga ternama di Kota Olympus. Hidupnya tampak sempurna dengan dua kakak tiri kembar yang selalu menjaganya… sampai tragedi datang.
Ayah tirinya meninggal karena serangan jantung, dan sejak itu, Eleanor tak lagi merasakan kasih sayang dari ibu tiri yang kejam. Namun, di balik dinginnya rumah itu, dua kakak tirinya justru menaruh perhatian yang berbeda.
Perhatian yang bukan sekadar kakak pada adik.
Perasaan yang seharusnya tak pernah tumbuh.
Di antara kasih, luka, dan rahasia, Eleanor harus memilih…
Apakah dia akan tetap menjadi “adik kesayangan” atau menerima cinta terlarang yang ditawarkan oleh salah satu si kembar?
silahkan membaca, dan jangan lupa untuk Like, serta komen pendapat kalian, dan vote kalau kalian suka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Suasana kantin seketika meledak seperti ada kembang api tak kasat mata. Riuh suara teriakan, tawa, dan bisik-bisik langsung memenuhi udara saat Rafael, murid baru yang sudah jadi pusat perhatian sejak pagi, menangkap tubuh Elanor dengan gerakan yang terlihat seperti adegan dalam film romantis. Beberapa siswi sampai menutup mulutnya sambil menjerit kecil, sementara yang lain langsung sibuk mengeluarkan ponsel, mencoba mengabadikan momen itu.
Bella, yang berada beberapa langkah di belakang, hanya bisa melongo. Mulutnya terbuka setengah, tatapannya tak percaya melihat sahabatnya dalam posisi yang begitu… dramatis. "Astaga, Lala…" bisiknya nyaris tak terdengar, seperti tak yakin pada apa yang baru saja terjadi di depan matanya.
Elanor sendiri membeku sepersekian detik dalam pelukan singkat itu. Jantungnya berdegup kencang, seolah sedang dipacu untuk lomba maraton. Nafasnya tercekat, matanya tak berani menatap wajah Rafael terlalu lama, takut kalau wajahnya yang semakin panas akan benar-benar mempermalukannya. Begitu Rafael melepas genggamannya dengan senyum lembut, Elanor buru-buru berdiri tegak, merapikan seragamnya dengan gugup, lalu menarik tangan Bella hampir setengah berlari menjauh dari kerumunan yang semakin riuh.
Mereka akhirnya menemukan meja kosong di dekat jendela. Elanor langsung menjatuhkan diri di kursi, mencoba menstabilkan nafasnya. Namun, wajahnya sudah lebih dulu memerah parah, bukan hanya di pipi, tapi sampai ke telinga. Matanya menghindar dari tatapan siapa pun, terutama Bella yang kini duduk di seberangnya sambil melipat tangan di dada, menatapnya dengan tatapan penuh selidik.
"Lala…" Bella memajukan wajahnya sedikit, senyum nakal tersungging. "Jujur, deh. Kenapa tadi Rafael manggil lo ‘Nona’? Kayak… kayak lo itu Cinderella gitu. Lo kenal dia dari dulu, ya?"
Elanor hanya menatap balik dengan mata membulat, tapi mulutnya tetap terkunci rapat. Ia mencoba pura-pura sibuk menaruh sendok di atas meja.
"Atau jangan-jangan lo diam-diam temenan sama dia sebelum dia masuk sini?" Bella tak berhenti, suaranya semakin penuh rasa ingin tahu. "Gila sih, Lala, cowok seganteng dia tiba-tiba nolong lo, terus manggil lo kayak gitu. Cerita, dong. Ayolah… gue sahabat lo, kan?"
Elanor hanya menghela nafas panjang, menatap ke arah luar jendela, ke halaman sekolah yang ramai oleh siswa-siswi lain. Tatapannya kosong, seolah ia sedang berada di dunia yang berbeda. Dalam hatinya, ia tahu ada hal-hal yang tak bisa dengan mudah ia bagi pada siapa pun, bahkan Bella.
Bella mencondongkan tubuhnya lebih dekat lagi, tak sabar. "Lala… please… jawab dikit aja! Jangan bikin gue penasaran setengah mati kayak gini."
Karena tidak mendapatkan jawaban dari Elanor Bella mendengus kesal, menyerah karena tak mendapat satu pun jawaban dari sahabatnya. "Yaudah deh, bodo amat!" ujarnya sambil menarik nampan penuh makanan ke arahnya. Tanpa ragu, ia mulai melahapnya satu per satu dengan ekspresi bete tapi tetap lahap. "Lo diem aja, gue yang makan semua ini. Rasain tuh," gumamnya sambil mengunyah.
Elanor hanya tersenyum tipis, meski wajahnya masih merah. Ia sudah hendak menegur Bella ketika tiba-tiba sebuah bayangan tinggi berdiri di samping meja mereka. Bella menghentikan kunyahannya, menoleh, lalu nyaris tersedak melihat siapa yang datang.
Rafael.
Dengan langkah tenang, ia meletakkan dua nampan di meja mereka. Satu berisi salad segar dengan segelas jus jeruk—tepat seperti pesanan Elanor yang tadi belum sempat ia ambil karena insiden kecil itu. Satu lagi miliknya sendiri. Rafael duduk dengan senyum hangat, membuat suasana sekitar seakan ikut mencair.
"Ini, nona," katanya sambil mendorong nampan salad ke depan Elanor. "Makanya, lain kali hati-hati. Jangan sampai jatuh lagi."
Kalimat itu sederhana, tapi cukup membuat jantung Elanor berdentum makin kencang. Wajahnya langsung merona parah, dan kali ini makeup tipis yang ia kenakan sama sekali tak mampu menyamarkan rona merah di pipinya. Tangannya bergetar sedikit saat menerima nampan itu.
Bella? Dia hanya bisa melongo, matanya bergantian melihat ke arah Rafael dan Elanor, lalu kembali ke makanan di tangannya.
Elanor yang semakin kikuk mencoba mengalihkan perhatiannya. Namun entah kenapa, bibirnya bergerak spontan, memanggil dengan suara setengah tinggi, "Rafa!"
Rafael yang baru saja menyendok makanannya menoleh, sedikit kaget mendengar panggilan itu.
Seketika suasana meja itu terasa… berbeda. Bella menatap Elanor dengan wajah penuh tanda tanya besar. Sementara Rafael hanya menahan tawa, matanya berbinar, jelas panggilan itu bukan hal asing baginya.
Elanor, yang sadar dirinya keceplosan, buru-buru mengalihkan tatapan dan dengan nada agak tinggi—lebih untuk menutupi rasa malunya—berkata, "Rafa tuh… ngeselin banget!"
Rafael akhirnya tak tahan. Ia terkekeh geli, bahunya berguncang kecil, senyumnya semakin dalam. "Kalau aku ngeselin, kenapa masih manggil aku dengan nama itu, hm?" suaranya ringan tapi penuh godaan halus.
Elanor langsung menunduk, pura-pura sibuk menusuk salad dengan garpunya, padahal wajahnya makin merah seperti tomat matang.
Bella? Kali ini benar-benar kehabisan kata-kata. Yang keluar hanya satu kalimat terbata, "Kalian… Lo… sebenernya… kenapa sih?"
Tiba-tiba
BRAK!
Meja kantin yang tadinya adem langsung bergetar. Semua orang di sekitar mereka spontan menoleh, kaget. Bella menepuk meja dengan kedua tangannya, matanya membelalak lebar seakan siap menginterogasi pelaku kejahatan tingkat tinggi.
"JAWAB GAK KALIAN!?" teriak Bella dengan nada frustrasi. "Satunya manggil ‘Rafa’, satunya manggil ‘Nona’! Ini gimana ceritanya WOY! JAWAB GAK!? JIWA KEKEPOAN GUE UDAH MELEDAK!!"
Elanor nyaris tersedak salad, sementara Rafael hanya bisa menahan tawa, bibirnya melengkung tipis dengan ekspresi geli. Dengan tenang, ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah Bella, suaranya rendah dan lembut, "Tenanglah, Bella. Gak ada yang aneh kok."
"TENANG MANA BISA!?" Bella menunjuk Rafael dengan telunjuknya, lalu beralih menunjuk Elanor. "Gue gak bisa hidup tenang kalo misteri beginian gak kejawab. Jadi… NGAKU!!"
Rafael akhirnya menyerah. Ia meletakkan sendoknya, lalu berkata dengan nada santai, "Kalau kamu harus tahu… ayah dan ibuku bekerja di kediaman keluarga Cromwel. Jadi, aku dan Elanor memang sudah tumbuh bersama sejak kecil. Bukan rahasia besar, hanya… yah, lebih ke teman masa kecil."
Mendengar itu, Bella terdiam sejenak. Ia menyilangkan kedua tangan di dada, menatap Rafael dengan ekspresi setengah percaya setengah masih kepo. Kemudian perlahan kepalanya menoleh ke Elanor, tatapannya lebih tajam daripada sinar laser.
"Terus, kenapa lo diam aja, Lala?" tanyanya dengan penuh kecurigaan.
Elanor menarik napas panjang, matanya sempat melirik ke arah Rafael yang hanya tersenyum santai. Dengan nada pelan, ia mengangguk. "Iya, Bell. Dia memang teman kecil gue."
Hening sebentar. Lalu…
Bella menarik napas dalam-dalam, sebelum tiba-tiba meletup seperti bom waktu. "Huhuhu!! Lala, lo curang!!" serunya sambil memegangi dadanya dramatis. "Lo udah cantik banget, punya dua kakak kembar yang gantengnya kebangetan, sekarang punya juga teman masa kecil yang kayak artis Hollywood jatuh dari langit! Gue apaan coba!? Jomblo ngenes, makan banyak, tidur juga banyak, huhuhu!"
Beberapa siswa di meja sebelah bahkan mulai menahan tawa mendengar akting Bella yang lebay. Elanor menutup mulutnya dengan tangan, bahunya berguncang menahan geli, sementara Rafael sudah tak bisa lagi menahan tawanya. Ia tertawa cukup keras sampai beberapa pasang mata di kantin ikut menoleh.
"Astaga, Bell," Elanor akhirnya ikut tertawa lepas. "Lo tuh lebay banget sumpah."
"Lebay? Ini bukan lebay, ini luka batin!!" sahut Bella sambil pura-pura menangis dan mengelap mata dengan tisu seperti artis sinetron.
Rafael menggeleng pelan, wajahnya masih dihiasi senyum hangat.
Seketika Bella berhenti pura-pura nangis, lalu menatap Rafael dengan ekspresi sok serius. "Iya dong, gue ini paket komplit. Gue bisa jadi temen curhat, bisa jadi Ultraman, bisa jadi power ranger, ahhh iya, bisa jadi power puff juga ehehe."
Elanor cuma bisa menggeleng-geleng sambil tertawa
Mereka bertiga akhirnya larut dalam obrolan santai di meja dekat jendela kantin. Elanor sudah mulai lebih rileks, Rafael tampak tenang dengan senyum hangatnya, sementara Bella masih sesekali mengoceh sambil mengunyah makanannya yang numpuk.
Suasana jadi lebih ringan… sampai tiba-tiba, tanpa sengaja, tangan Elanor dan Rafael bersentuhan di atas meja.
Deg.
Waktu seakan berhenti sejenak. Elanor langsung terlonjak kecil, buru-buru menarik tangannya seperti tersengat listrik. Wajahnya seketika memerah, bahkan blush tipis makeup-nya pun tak mampu menyembunyikan rona panas itu.
Dan tentu saja, Bella tidak melewatkan momen emas itu.
"Ohohoooo~" Bella langsung mencondongkan tubuhnya dengan tatapan penuh usil. "Lala… kamu suka sama Rafael, yaaa? Hayoo ngaku!"
"APA!?" Elanor sampai terbatuk kecil, tangannya sibuk mengipas wajahnya yang panas dengan panik. "Nggak! Gak ada, apaan sih, Bell!?" jawabnya terbata-bata, nadanya meninggi karena gugup.
Rafael yang duduk di seberangnya pun tak kalah salah tingkah. Senyumannya jadi kaku, dan rona merah mulai menjalar di pipinya.
Bella makin menjadi-jadi. Ia menyeringai lebar, matanya menyipit penuh kemenangan. "HAYOO ketahuan. Mana ada orang yang dari tadi salting mulu, terus wajahnya kayak tomat rebus begini. Astaga, Lala, Lala~"
"Bell!" Elanor memprotes, tapi justru semakin membuatnya terlihat jelas kalau ia memang salah tingkah.
Rasa panas di wajahnya makin tak tertahankan. Dengan napas tersengal malu, akhirnya Elanor berdiri terburu-buru. "Aku… aku ke luar dulu!" katanya cepat, lalu langsung berlari keluar dari kantin.
Beberapa murid yang duduk tak jauh hanya melongo, heran dengan tingkah aneh si primadona sekolah itu.
Di meja, Bella menatap Rafael dengan penuh arti. Ia menurunkan sendoknya perlahan, lalu berkata dengan nada sok bijak tapi mulutnya masih penuh makanan. "See? Udah gue tebak, Lala suka sama lo."
Rafael menoleh ke arah pintu kantin yang baru saja ditinggalkan Elanor, dan kini wajahnya juga merah padam. Tatapan matanya melembut, seperti berusaha menahan sesuatu yang sejak tadi bergolak di dadanya.
Bella mengunyah lagi sambil menyuapi dirinya dengan santai. Dengan mulut yang masih penuh, ia menunjuk pintu kantin. "Susul dia, Rafael. Jangan cuma diem. Go, go!"
Rafael menelan ludah, lalu tersenyum kecil. Ia menghela napas dalam-dalam, berdiri, dan melangkah pergi menyusul Elanor… sementara Bella hanya mengangguk puas, seperti mastermind yang baru saja berhasil menjalankan rencananya.
mirip kisah seseorang teman ku
air mata ku 😭