Penolakan Aster Zila Altair terhadap perjodohan antara dirinya dengan Leander membuat kedua pihak keluarga kaget. Pasalnya semua orang terutama di dunia bisnis mereka sudah tahu kalau keluarga Altair dan Ganendra akan menjalin ikatan pernikahan.
Untuk menghindari pandangan buruk dan rasa malu, Jedan Altair memaksa anak bungsunya untuk menggantikan sang kakak.
Liona Belrose terpaksa menyerahkan diri pada Leander Ganendra sebagai pengantin pengganti.
"Saya tidak menginginkan pernikahan ini, begitu juga dengan kamu, Liona. Jadi, jaga batasan kita dan saya mengharamkan cinta dalam pernikahan ini."_Leander Arsalan Ganendra.
"Saya tidak meminta hal ini, tapi saya tidak pernah memiliki kesempatan untuk memilih sepanjang hidup saya."_Liona Belrose Altair.
_ISTRI KANDUNG_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 : Perkelahian
Leander tertawa mendengar perkataan Aster yang baginya itu hanyalah sebuah lelucon. Leander berdiri dan merapikan jas putihnya lalu diikuti oleh Jedan dan yang lain.
“Saya rasa pertemuan ini selesai. Saya harus bekerja dan saya anggap masalah ini selesai. Jika nanti masih ada teror atau apa pun yang mengusik ketenangan istri saya, saya tidak akan mengajak untuk bicara lagi. Permisi.” Leander pergi begitu saja dari rumah Jedan Altair, meninggalkan begitu banyak kegelisahan bagi mereka semua.
Aster membanting vas bunga di dekatnya dan membalikkan meja hingga kaca di meja itu pecah. Aster berteriak dan mengutuk pertemuan ini, dia merasa bahwa dirinya direndahkan dan dibandingkan dengan Liona.
“Liona brengsek, anak sialan. Aku akan membunuh dia, iya. Dia memang pantas mati,” geramnya lalu melangkah, namun belum satu langkah. Arsen sudah menahan lengan Aster lalu melayangkan tamparan ke pipi Aster berkali-kali.
Aster di dorong hingga terduduk di sofa dan Arsen menekan lututnya ke samping tubuh Aster.
“Kau sudah merusak semuanya, Aster. Jika Leander sudah mengambil tindakan, kita semua bisa hancur, apa yang kita bangun selama bertahun-tahun bisa lenyap dalam waktu singkat. Kau tau siapa yang kau hadapi hah? Dia bahkan pemegang kendali terbesar dalam keluarga Ganendra dan bisnis kita, menjadikan keluarga mereka sebagai sandaran. Kau paham tidak?” bentak Arsen dengan suara yang tak lagi rendah, matanya memerah, urat di leher dan wajahnya tercetak jelas.
“Aku tidak peduli itu.”
Arsen menjambak rambut adiknya. “Tidak peduli? Ya pastinya, karena yang kau pedulikan hanya melemparkan tubuhmu ke ranjang pria asing demi mempertahankan karirmu.” Aster membulatkan matanya, Arsen mendorong kepala Aster lalu pergi dari rumah itu.
Fabrizio menatap Aster dengan tatapan tak bisa diartikan lagi, bahkan Aster sendiri tidak berani membalas tatapan itu.
“Silakan bertindak semaumu, Aster. Tapi ingat, apa yang dikatakan oleh Leander tadi benar adanya. Kau tidak setara dengan istrinya dan kau juga tidak layak menjadi nyonya Ganendra.” Fabrizio ikut meninggalkan rumah itu, rumah yang kini hanya menyisakan ketegangan dan emosi yang tak terbilang.
Sementara Jedan merasakan sesak di bagian dada, dia memegangi dada kirinya dan pingsan. Samaira dan Aster kaget, mereka langsung memanggil pelayan untuk membantu membawa Jedan ke rumah sakit.
...***...
Sore harinya, Liona menyiapkan air hangat untuk Samaira mandi.
“Mama mandi ya, aku mau ke kamar dulu. Bentar lagi Leander pulang, aku juga mau mandi.” Liona memberikan handuk pada Gita.
“Terima kasih ya, Sayang.” Gita mengecup kedua pipi Liona dan membiarkan menantunya itu pergi.
Liona bersiap untuk mandi karena tadi Leander bilang akan membawanya keluar. Baru saja memasuki kamar mandi, dia kaget melihat suaminya ada di dalam.
Liona cepat berbalik namun ditarik oleh Leander. “Kamu kapan pulang? Tadi katanya masih di kantor?” tanya Liona bingung, karena lima menit yang lalu Leander bilang masih di kantor.
“Aku pulang dari tadi, pelayan bilang, kamu di kamar Mama. Makanya aku kirim pesan dan suruh kamu siap-siap segera.” Liona memukul dada bidang suaminya.
“Dasar. Kenapa pulangnya cepat? Biasanya kamu pulang jam enam sore.”
“Aku rindu istriku.” Leander mendekap pinggang Liona dan mencium leher istrinya.
“Sana mandi, katanya mau keluar,” kata Liona sambil mendorong tubuh Leander.
“Kamu juga mau mandi, kan?” balas Leander yang dibalas anggukan oleh Liona. “Ya sudah, mandi saja sekalian.”
“Iya juga ya.” Leander tertawa saat melihat ekspresi istrinya itu.
“Kenapa sih, kamu itu lucu banget? Dikasih makan apa sih waktu kecil?” Leander mencubit pipi Liona dengan gemas.
“Makan bubur, soalnya kalau masih bayi gak bisa makan berat.” Lagi-lagi Leander tertawa mendengar jawaban istrinya itu, benar-benar tidak terpikir olehnya kalau Liona akan menjawab demikian.
...***...
Leander membawa Liona keluar jalan-jalan sekalian belanja apa yang Liona inginkan. Liona sendiri akan kembali melanjutkan pendidikannya yang sempat tertunda karena pernikahan.
“Pastikan semua perlengkapan kuliah kamu aman ya, jangan sampai ada yang ketinggalan.” Leander mengingatkan.
“Iya aman.”
Leander memilih beberapa barang yang ingin dia beli, begitu juga dengan Liona yang memilih belanjaannya. Mereka kini berada di mall besar pusat kota, pengunjung sore itu sangatlah ramai.
Sedang fokus memilih belanjaan, Liona tiba-tiba merasakan tubuhnya ditarik dan dipeluk oleh seseorang. Hidungnya terasa sakit ketika bertabrakan dengan dada bidang orang tersebut.
“Aku kangen banget sama kamu, Liona.” Liona membulatkan matanya mendengar suara Narel.
“Lepas, Narel. Kamu apa-apaan?” Liona berusaha mendorong tubuh Narel, namun pelukan itu terlalu kuat hingga membuat Liona sesak.
“Biarkan begini dulu, apa kamu tidak merindukan pelukanku?” Liona terus mendorong tubuh Narel.
“Jangan gila, aku sama sekali tidak merindukanmu. Lepas, Narel.” Narel tidak peduli, dia bahkan semakin mempererat pelukannya.
Leander yang baru saja selesai memilih barang dan kembali ke Liona, langsung emosi melihat istrinya dipeluk begitu. Dia memukul wajah Narel dengan kepalan tinjunya hingga pelukan itu terlepas.
Liona menghirup udara dengan lepas, dadanya terasa amat sakit. Leander langsung saja memeluk Liona yang kini terlihat sedang tidak baik.
“Kamu gak apa-apa?” Liona mengangguk dan mendekap Leander.
Narel menghapus darah di sudut bibirnya. “Aku hanya ingin bicara dengannya,” katanya pelan.
“Kau sudah bertindak jauh terhadap istriku, brengsek. Bicara apalagi yang kau maksud hah?” bentak Leander.
“Aku hanya ingin memperbaiki hubungan dengan Liona.” Liona mengepalkan tangannya dan maju lalu menampar pipi Narel.
“Hubungan apa yang ingin kamu perbaiki? Aku tidak memiliki hubungan apa pun denganmu,” bentak Liona dengan wajah yang sudah memerah.
“Aku tau kamu masih mencintai aku, kamu menikah dengannya karena terpaksa.”
“Jangan sok tau, aku tidak memiliki rasa apa pun lagi padamu. Pergi dari hidupku sebelum aku membunuhmu.”
Narel tertawa mendengar ancaman Liona, beberapa pengunjung melihat kekacauan itu.
“Liona, aku tau kamu Sayang. Kamu mencintaiku dan tidak semudah itu kamu bisa melupakan aku,” ledek Narel lalu memegang tangan Liona lagi.
Leander langsung menarik tangan Narel dengan kasar hingga genggaman itu terlepas dari Liona. Ia membawa Liona ke belakang tubuhnya dan tatapan Leander dingin, penuh amarah, dan tidak memberi celah sedikit pun.
“Sentuh lagi istriku, aku pastikan kau tidak akan bisa memakai tangan ini selamanya,” desis Leander dengan rahang yang menegang.
Narel tertawa meremehkan. “Kau pikir kau siapa, hah? Hanya karena dia jadi istrimu, aku tidak bisa—”
Belum selesai ucapannya, Leander sudah meninju perut Narel begitu keras hingga tubuhnya terbungkuk, hampir jatuh. Narel mencoba membalas dengan pukulan ke arah wajah Leander, tapi Leander lebih cepat. Dia menahan tangan Narel dan memelintirnya ke belakang.
“Aaargh!” teriak Narel menahan sakit.
Pengunjung mall semakin ramai mengerumuni, beberapa ada yang mencoba menahan, tapi Leander sama sekali tidak peduli. Dia melempar tubuh Narel ke lantai dengan hentakan keras hingga pria itu mengerang.
“Kau berani sekali menyentuh istri orang di depan suaminya sendiri, dasar tidak tau malu,” suara Leander rendah tapi tajam, matanya membara.
Narel memaksa bangkit, darah segar mengalir dari bibirnya. Dengan putus asa, dia melayangkan tinju ke wajah Leander, namun lagi-lagi Leander menangkis dan membalas dengan hantaman keras ke pipi Narel. Kepala Narel terhentak ke samping, darah makin banyak.
“Leander, sudah!” Liona menarik lengan suaminya, wajahnya pucat karena takut Leander kehilangan kendali.
Leander menoleh sebentar pada Liona, lalu kembali menatap Narel yang kini terhuyung. Dia mencengkeram kerah baju Narel, mengangkatnya setengah badan.
“Dengar baik-baik, Narel. Kau hanya masa lalu. Sekali saja kau coba mendekat lagi, kau akan keluar dari tempat ini dengan tubuh tak bernyawa.”
Narel terbatuk, wajahnya lebam, tapi masih mencoba tersenyum sinis. “Dia mencintaiku, Leander. Kau cuma penghalang. Kau hanya suami sementara baginya.”
Dan saat itu juga, tanpa pikir panjang, Leander menghantamkan tinju terakhir tepat ke rahang Narel hingga pria itu terjatuh tak berdaya di lantai. Beberapa satpam mall segera datang untuk melerai dan menarik tubuh Narel menjauh.
Leander masih berdiri tegak, napasnya memburu, tangannya penuh darah lawan. Liona memegang lengan suaminya, mencoba menenangkan.
“Cukup, Leander… ayo kita pergi,” bisiknya dengan suara gemetar.
Leander merangkul istrinya, membawanya pergi tanpa lagi menoleh pada Narel yang kini hanya menjadi tontonan memalukan di hadapan banyak orang.
“Brengsek,” umpat Leander lalu meludahi Narel yang kini dia pandang hina.