Raisa tak pernah mengira hidupnya akan berubah drastis setelah ulang tahunnya yang ke-23. Gadis ceria itu terkejut ketika sang mama mengenalkannya pada seorang pria—bukan untuk dijodohkan dengan lelaki muda seperti biasanya, melainkan dengan teman dekat mamanya sendiri, seorang pria dewasa bernama Ardan yang berusia hampir dua kali lipat darinya.
Ardan, seorang duda mapan berwibawa, awalnya tak berniat menerima tawaran perjodohan itu. Namun, kepribadian Raisa yang hangat dan polos perlahan membuatnya goyah. Raisa pun dilanda dilema: bagaimana bisa ia jatuh hati pada seseorang yang selama ini ia kenal sebagai “Om Ardan”, sosok yang sering datang ke rumah sebagai sahabat mamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 19
Keesokan paginya, berita itu meledak lebih besar daripada yang Raisa bayangkan.
"Raisa Salsabila Menerima Lamaran Ardan! Perbedaan Usia 25 Tahun Tak Menghalangi Cinta Mereka" — begitu judul di portal hiburan terkenal. Foto yang menampilkan Ardan berlutut di hadapan Raisa di rooftop—entah siapa yang memotret—beredar cepat di media sosial. Potongan video singkat bahkan muncul di akun gosip, membuat semua orang bisa melihat wajah Raisa yang berlinang air mata saat menerima cincin itu.
Komentar-komentar pun berdatangan.
“Cewek mana sih yang nggak mau dilamar pengusaha sekaya Ardan? Wajar aja kalau dia terima.”
“Astaga, udah kayak ayah dan anak. Geli banget sumpah.”
“Tapi jujur aku salut sih, Raisa berani. Nggak gampang dihujat satu negara gini.”
Raisa membaca semuanya. Ia mencoba menahan diri untuk tidak membuka media sosial, tapi jari-jarinya selalu tergoda. Ia duduk di tepi ranjang, menatap ponselnya dengan wajah datar, sementara hati kecilnya berdesir setiap kali membaca komentar pedas.
Ardan, yang baru keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit pinggang, menatapnya. “Kamu baca lagi?”
Raisa buru-buru mematikan layar ponsel. “Nggak. Cuma… cek pesan Dina.”
Ardan menghela napas, lalu duduk di sampingnya. Ia menarik ponsel dari tangan Raisa dan meletakkannya di meja. “Kita udah ngomong soal ini, kan? Jangan kasih mereka masuk ke kepala kamu.”
Raisa menunduk. “Aku cuma… nggak nyangka semua orang segininya sama kita.”
“Karena mereka cuma tahu dari luar. Mereka nggak tahu apa yang kita rasain.” Ardan meraih dagu Raisa, mengangkatnya agar ia mau menatap. “Aku nggak peduli sama mereka. Yang penting, kamu sama aku. Kita yang jalanin ini.”
Raisa ingin percaya kata-kata itu. Ia ingin menutup telinga dari dunia luar. Tapi suara-suara itu terlalu nyaring.
Di kampus, situasi semakin tidak terkendali.
Saat Raisa memasuki ruang kuliah, semua mata langsung tertuju padanya. Beberapa mahasiswa pura-pura sibuk, tapi bisik-bisik mereka jelas terdengar.
“Itu dia, calon nyonya Ardan.”
“Kayaknya dia makin cantik deh. Ya iyalah, duitnya sekarang udah banyak.”
“Eh, denger-denger resepsi mereka bakal di hotel bintang lima. Seru banget ya jadi dia.”
Raisa duduk di bangku paling belakang, mencoba mengabaikan semuanya. Namun tak lama kemudian, seorang dosen menghampirinya.
“Raisa, sebentar.”
Ia mengikuti dosen itu ke luar.
“Begini,” kata dosen tersebut, suaranya datar. “Saya dengar kamu akan menikah dengan Pak Ardan. Kalau memang benar, mungkin kamu bisa mengajukan cuti akademik. Supaya kamu bisa fokus ke urusan pribadi dulu.”
“Bu, saya masih mau lanjut kuliah,” jawab Raisa, berusaha terdengar tegas.
“Tentu. Tapi kamu tahu kan, situasi sekarang… agak sulit. Mahasiswa lain mungkin merasa tidak nyaman.”
Raisa menelan ludah. “Jadi… saya yang harus pergi, Bu?”
Dosen itu terdiam sejenak, lalu menggeleng. “Saya hanya memberi saran. Keputusan di tanganmu.”
Raisa mengangguk kecil, lalu kembali masuk ke kelas dengan dada terasa berat. Ia tahu benar, dunia akademik tidak akan pernah memandangnya sama lagi.
Sementara itu, Ardan menghadapi masalahnya sendiri.
Di ruang kerjanya, beberapa direksi perusahaan sudah menunggu. Begitu ia masuk, mereka berdiri memberi salam, tapi suasana terasa kaku.
“Pak Ardan,” salah satu dari mereka membuka suara, “kami menghormati keputusan pribadi Bapak. Tapi hubungan Bapak dengan mahasiswa… membuat citra perusahaan kita terganggu. Beberapa klien bahkan menanyakan hal ini.”
Ardan duduk, menatap mereka dengan dingin. “Kalau mereka mempertanyakan hidup pribadi saya, mungkin mereka bukan klien yang tepat untuk perusahaan ini.”
“Pak…” salah satu direksi mencoba menengahi. “Kami hanya khawatir. Apalagi beritanya sekarang heboh. Ada yang bilang Bapak… memanfaatkan posisi.”
Ardan mengepalkan tangan. “Cukup. Saya tidak akan biarkan orang luar mengatur hidup saya.”
Ia tahu, ini bukan sekadar tentang cinta. Ini juga tentang reputasi—dan ia siap mempertaruhkan semuanya.
Malamnya, Raisa dan Ardan makan malam di apartemen. Namun suasananya berbeda dari biasanya. Raisa banyak diam, hanya memainkan sendoknya.
“Kenapa?” tanya Ardan akhirnya.
“Om…” Raisa menatapnya, matanya berkaca-kaca. “Apa kita… salah?”
Ardan mengerutkan kening. “Salah?”
“Lihat orang-orang. Mereka semua benci aku. Di kampus, di media… bahkan dosenku nyuruh aku cuti.”
Ardan meletakkan sendoknya, lalu meraih tangan Raisa. “Kalau kamu pikir kita salah cuma karena mereka nggak suka, itu berarti kita biarin mereka menang.”
“Tapi… apa kamu nggak takut? Kehidupan kamu juga berubah gara-gara aku.”
Ardan menghela napas panjang. Ia memeluk Raisa dari samping. “Dengerin aku. Aku udah hidup lama, Raisa. Aku tahu mana yang layak diperjuangkan. Kamu—kita—layak.”
Raisa menyandarkan kepalanya di bahu Ardan. Untuk sesaat, ia merasa aman.
Namun di lubuk hatinya, ia tahu badai yang lebih besar sedang menunggu.
Beberapa hari kemudian, Ardan mengajak Raisa ke rumah keluarganya.
“Om… yakin?” Raisa menatapnya cemas di dalam mobil.
Ardan mengangguk. “Kalau mereka mau menghakimi, biar hadapi aku dulu.”
Rumah itu megah, dengan halaman luas dan arsitektur klasik. Begitu mereka masuk, Raisa langsung merasakan tatapan tajam dari seorang wanita paruh baya yang berdiri di ruang tamu.
“Jadi ini… dia?” suara wanita itu dingin.
“Bu…” Ardan mencoba menenangkan. “Ini Raisa.”
Ibunya menatap Raisa dari ujung kaki sampai kepala. “Cantik. Pantas kamu sampai lupa umur.”
“Bu!” Ardan menahan nada marahnya.
“Ardan, kamu pikir apa kata orang tua-tua di sini? Kamu bawa pulang gadis seusia keponakanmu!”
Raisa menunduk, merasa kecil.
Ardan menggenggam tangan Raisa erat. “Kalau Ibu nggak bisa terima, itu urusan Ibu. Tapi dia calon istriku. Dan aku nggak minta izin—aku cuma kasih tahu.”
Suasana memanas. Raisa merasa dadanya sesak. Ia ingin pergi, tapi genggaman Ardan membuatnya tetap duduk di situ.
Malam itu, setelah mereka kembali ke apartemen, Raisa menangis di kamar.
“Om… kenapa semua orang benci kita?”
Ardan duduk di sampingnya, mengusap punggungnya. “Karena mereka nggak ngerti. Tapi mereka akan terbiasa. Percaya sama aku.”
“Kalau… kalau aku nggak kuat?”
Ardan mengangkat wajah Raisa, menatap matanya. “Aku akan jadi kuat buat kita berdua.”
Raisa terdiam. Ia tahu, inilah jalan yang ia pilih. Meski berat, meski penuh duri, ia tidak akan mundur.
Keesokan harinya, undangan pernikahan mulai dicetak.
“Raisa Salsabila & Ardan” — nama mereka terukir di kartu berwarna putih gading dengan tinta emas.
Saat Raisa melihatnya, hatinya campur aduk. Takut, gugup, tapi juga… bahagia.
Ardan merangkulnya dari belakang, berbisik di telinganya. “Sebentar lagi, kamu resmi jadi milikku. Selamanya.”
Raisa memejamkan mata. Dunia boleh menolak mereka, tapi ia tahu satu hal: cintanya pada Ardan nyata.
Dan itu cukup.
Untuk saat ini.