:"Ya Allah, kalau Engkau tidak mengirimkan jodoh perjaka pada hamba, Duda juga nggak apa-apa ya, Allah. Asalkan dia ganteng, kaya, anak tunggal ...."
"Ngelunjak!"
Monica Pratiwi, gadis di ujung usia dua puluh tahunan merasa frustasi karena belum juga menikah. Dituntut menikah karena usianya yang menjelang expired, dan adiknya ngebet mau nikah dengan pacarnya. Keluarga yang masih percaya dengan mitos kalau kakak perempuan dilangkahi adik perempuannya, bisa jadi jomblo seumur hidup. Gara-gara itu, Monica Pratiwi terjebak dengan Duda tanpa anak yang merupakan atasannya. Monica menjalani kehidupan saling menguntungkan dengan duren sawit, alias, Duda keren sarang duit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Monica , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21
Keesokan paginya, Jakarta bangun dengan kejutan. Trending topic media sosial dipenuhi oleh satu nama: Monica Ayu Rahma. Tagar #MonicaPemalsu dan #YayasanGate bersaing di puncak. Di layar kaca, tayangan breaking news menunjukkan foto-foto lama Monica saat masih menjadi jurnalis lepas, disandingkan dengan dokumen yang ‘bocor’—seolah-olah Monica pernah memalsukan data laporan sosial dalam proyek jurnalistiknya sendiri, beberapa tahun lalu.
Monica terpaku di depan televisi di ruang tamu apartemen Adrian. Napasnya pendek. Tangan Teddy meremas pundaknya.
"Itu semua fitnah," bisik Teddy. "Dan mereka tahu itu."
Adrian mengutuk pelan sambil menyalakan laptopnya, "Mereka pakai strategi lama—serang kredibilitas orang yang pegang bukti."
Monica menggeleng pelan, matanya tetap menatap layar, "Yang mereka tampilkan itu kasus lama. Aku pernah investigasi LSM bodong di daerah, dan hampir diseret ke meja hijau karena narasumberku kabur. Tapi aku bersih."
"Publik nggak peduli soal konteks," gumam Teddy. "Mereka lihat headline, lalu menghakimi."
Sementara itu, di newsroom sebuah portal berita independen, Mbak Tari menatap layar penuh amarah.
"Ini jelas pengalihan," katanya pada rekan jurnalisnya. "Mereka lempar Monica ke publik, supaya orang nggak fokus ke inti kasus."
"Publikasinya tetap lanjut?" tanya rekannya.
Tari mengangguk, "Laporan investigasi utama tetap tayang malam ini. Tapi kita harus kasih ruang untuk Monica juga. Ini nggak bisa didiamkan."
Di tempat lain, Raline menonton semua itu dari ruang kerjanya sambil menyeduh teh.
"Dia bukan target utamaku," katanya pada asistennya. "Tapi Monica terlalu vokal. Terlalu bersih. Kita butuh retak sedikit di reputasinya, biar publik ragu."
"Kalau mereka tetap merilis laporannya?" tanya sang asisten.
Raline tersenyum dingin, "Kita tabur lebih banyak kebohongan. Sampai publik tak bisa membedakan mana fakta, mana fiksi."
Teddy membuka laptopnya dan menunjuk layar pada Monica dan Adrian.
"Aku punya ide. Kita lawan mereka dengan cara yang sama—tapi lebih cerdas. Bukan serangan balik, tapi klarifikasi publik yang terstruktur."
Monica menoleh, "Lewat mana?"
"Kita rilis timeline semua kejadian, dari Nadira sampai yayasan. Bukti-bukti, termasuk video pengakuan Lela, dan scan kontrak fiktif. Tapi kita bungkus bukan sebagai pembelaan—tapi sebagai laporan pembuka, investigasi dari dalam."
Adrian berseru, "Dan tayangkan itu duluan sebelum media nasional menayangkannya malam ini. Kita curi momentum."
Monica mengangguk, semangatnya kembali menyala, "Kalau mereka mainkan persepsi, kita kembalikan ke realitas."
Dan malam itu, sebelum berita utama tayang, unggahan dari akun investigasi independen InsideArah muncul: “Laporan Internal: Yayasan, Uang Gelap, dan Kematian Nadira.” Diikuti video berdurasi 9 menit berisi kronologi, potongan bukti, serta narasi yang membalikkan tuduhan terhadap Monica. Internet mulai gaduh. Tapi kini, dengan suara yang berbeda.
Malam berganti dini hari. Monica, Teddy, dan Adrian masih terpaku di depan layar, memantau dampak unggahan mereka. Respons publik mulai terbagi—banyak yang menyuarakan dukungan untuk Monica, mempertanyakan motif di balik tuduhan lama yang tiba-tiba mencuat.
"Ini mulai menggeser narasi," ujar Adrian, menunjuk grafik interaksi media sosial yang terus naik. "Hashtag dukungan ke Monica mulai naik. #BukaYayasan, #KeadilanUntukNadira…"
Teddy menghela napas lega, "Kita berhasil, setidaknya untuk sementara."
Namun ketenangan itu tak bertahan lama. Ponsel Teddy bergetar. Sebuah pesan masuk, dari nomor tak dikenal:
"Kau masih ingat Livia?"
Wajah Teddy seketika menegang. Monica memperhatikan perubahan ekspresinya. "Kenapa?"
Teddy membuka pesan lanjutan, kali ini disertai foto. Seorang perempuan muda, duduk di bangsal rumah sakit, mengenakan pakaian pasien. Di belakangnya: logo rumah sakit jiwa yang samar namun familiar.
"Kau pikir semua masa lalumu sudah terkubur? Kami tidak lupa. Dan sekarang… waktunya bayar."
Adrian mendekat, ikut membaca, "Siapa Livia?"
Teddy terdiam beberapa saat, lalu duduk. Wajahnya menegang.
"Dia… mantan pasien yang pernah aku rawat. Bertahun-tahun lalu, sebelum aku kenal Nadira. Kasusnya rumit. Dia korban kekerasan… tapi juga pelaku."
Monica duduk di sebelahnya, "Apa hubungannya dengan ini?"
"Livia punya saudara—kakaknya orang penting di jaringan lama yayasan. Waktu aku bantu Livia melapor, kasus itu mencuat. Tapi bukti waktu itu kurang. Saudara Livia kabur… yayasan tutup mulut. Aku juga diancam, makanya aku pindah jalur karier."
Adrian bergumam, "Dan sekarang mereka bawa Livia lagi…"
"Bukan cuma itu," Teddy menatap mereka. "Kalau Livia dibawa keluar lagi, atau dijadikan alat, mereka bisa membalik narasi. Mereka bisa bilang aku yang manfaatkan pasien untuk kepentingan pribadi. Ini bisa menghancurkan semuanya."
Monica menggenggam tangannya, "Berarti mereka mulai putus asa. Mereka cari celah yang paling personal."
Teddy menatap layar ponselnya lagi. Ada pesan terakhir:
"Temui kami. Sendiri. Atau seluruh rekam jejak Livia dan kamu, lengkap dengan rekaman sesi terapi, kami sebar ke media besok pagi."
Monica dan Adrian sama-sama protes, tapi Teddy hanya diam. Pikirannya kacau, tapi tekadnya sudah terkumpul.
"Aku akan pergi," katanya akhirnya.
"Teddy, ini jebakan," Monica memohon. "Mereka tahu kamu terlalu penting buat kita."
"Aku tahu. Tapi kalau aku nggak hadapi ini, mereka tetap punya pegangan. Aku nggak bisa terus bersembunyi di balik data. Ini… salah satu dosa lamaku yang belum lunas."
Sementara itu, di sudut kota, sebuah ruangan remang. Livia duduk memandangi jendela tertutup teralis. Matanya kosong, tapi bibirnya bergerak, seolah berbisik pada bayangan.
Seorang pria mendekat, berbicara pada seseorang di balik layar CCTV.
"Dia sudah cukup stabil untuk dipakai. Tinggal satu dorongan kecil, dan dia bisa dikondisikan bicara apapun yang kita mau."
Dari balik layar, terdengar suara seorang wanita—dingin dan terukur.
"Pastikan dia tampil pagi ini. Di depan kamera. Dan arahkan narasinya: Teddy Munandar, psikiater korup, manipulatif, dan predator dalam balutan belas kasih."
Raline menutup laptopnya perlahan.
"Permainan baru saja dimulai."