Mencintaimu bagai menggenggam kaktus yang penuh duri. Berusaha bertahan. Namun harus siap terluka dan rela tersakiti. Bahkan mungkin bisa mati rasa. - Nadhira Farzana -
Hasrat tak kuasa dicegah. Nafsu mengalahkan logika dan membuat lupa. Kesucian yang semestinya dijaga, ternoda di malam itu.
Sela-put marwah terkoyak dan meninggalkan noktah merah.
Dira terlupa. Ia terlena dalam indahnya asmaraloka. Menyatukan ra-ga tanpa ikatan suci yang dihalalkan bersama Dariel--pria yang dianggapnya sebagai sahabat.
Ritual semalam yang dirasa mimpi, ternyata benar-benar terjadi dan membuat Dira harus rela menelan kenyataan pahit yang tak pernah terbayangkan selama ini. Mengandung benih yang tak diinginkan hadir di dalam rahim dan memilih keputusan yang teramat berat.
'Bertahan atau ... pergi dan menghilang karena faham yang tak sejalan.'
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwidia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 21 Lamaran
Happy reading
"Ra, aku sengaja datang membawa keluarga besarku untuk melamar mu. Aku harap, kamu sudi menerima niat baikku ini." Aldi berucap dengan kesungguhan hati. Pandangan netranya tak lepas dari pahatan cantik yang masih bersemayam di dalam kalbu.
Dulu, Dira selalu menunggu saat ini tiba.
Namun sekarang berbeda. Rangkaian kata yang terucap dari bibir Aldi terdengar sumbang di telinga. Mengoyak ulu hati dan mencipta rasa ngilu.
Lamarannya sudah terlambat.
Kenapa tidak dari dulu Aldi datang melamar? Sebelum kesucian Dira masih terjaga.
Andai Aldi tidak mengabaikan Dira di malam kelam itu, mungkin kisah cinta mereka masih berlanjut sampai detik ini. Atau mungkin sampai esok, bahkan sampai selamanya hingga mereka menua dan mati.
Nasi sudah menjadi bubur. Semua yang sudah terlanjur terjadi tidak mungkin bisa dibenahi lagi.
Kesuciannya sudah terno-da. Ada nyawa yang mesti dijaga dan dicinta. Bukan diabaikan atau dienyahkan hanya karena ego semata.
"Ra, kamu mau 'kan?"
Tidak ada jawaban yang keluar dari bibir Dira. Hanya sorot mata yang menatapnya dingin dan mimik wajah yang terlihat datar.
Hening sesaat menyelimuti. Namun segera tergantikan oleh suara lembut yang menoreh luka.
"Aku sangat menghargai niat baikmu, Al. Tapi maaf, aku nggak bisa menerimanya."
Jleb
Ucapan Dira menghujam ulu hati, menampar wajah yang semula terbingkai percaya diri.
Sungguh di luar ekspektasi.
Aldi teramat yakin, Dira akan luluh dan dengan senang hati menerima lamarannya. Namun ternyata sebaliknya.
Dira masih sama seperti dua bulan yang lalu. Tepatnya, saat mereka terakhir bertemu.
Sekali putus tetap putus. Tidak ada keinginan untuk kembali merangkai kisah cinta yang indah bersama pria yang sering mengabaikan dan membuatnya kecewa. Apalagi menuntut kesucian.
"Ra --" Bibir Aldi bergetar. Netranya memerah, terhias titik-titik air yang mulai menganak di sudut netra.
Dalam kalbunya tercetus rentetan tanya, kenapa Dira menolaknya? Tak adakah niatan untuk kembali? Bukankah dulu rasa cintanya teramat besar?
"Setelah kita putus, aku menambatkan hatiku pada pria lain dan memilihnya sebagai kekasih. Dia ... sudah mengikatku dengan cintanya. Kisah kita sudah berakhir. Aku nggak mungkin bisa kembali padamu. Apalagi menerima lamaranmu, Al."
Dira kembali bertutur. Namun ucapannya hanyalah semu. Ia terpaksa sedikit berdusta untuk meyakinkan Aldi, agar mantan kekasihnya itu legawa menerima penolakannya.
Makna yang tersirat dari ucapan Dira laksana sebilah pisau yang kembali menghujam ulu hati, menorehkan luka dan mencipta rasa perih.
Bukan hanya Aldi yang terluka karena penolakan Dira. Namun keluarga besarnya pun turut terluka. Bahkan, harga diri mereka seakan diinjak-injak.
"Siapa pria itu? Apa dia lebih sempurna dibanding putraku?" Rosa meninggikan intonasi suara dan menyorot Dira dengan tatapan tajam.
Ia tidak terima jika niat baik Aldi mendapat penolakan.
Bagi Rosa, putranya teramat sempurna dan tidak patut dicampakkan atau diabaikan. Apalagi ditolak.
"Siapa?" Rosa kembali bertanya dan menambah intonasi suara.
"Dia --" Dira menggantung ucapannya. Ia ragu untuk menyebut satu nama yang mungkin bisa dijadikan sebagai perisai.
"Pria itu aku."
Tanpa terduga, Dariel tiba di waktu yang tepat.
Ia berjalan dengan penuh percaya diri dan terlihat gagah. Pesonanya tak bisa dinafikan oleh semua kaum hawa yang berada di tempat itu. Bahkan, pesona seorang Aldi pun harus rela terbanting.
"Dariel." Aldi seakan tak percaya jika pria yang dimaksud oleh Dira adalah Dariel--sahabat Dira sendiri.
Gila!
Sungguh tidak bisa diterima akal sehat. Seorang Dokter cerdas seperti Dira lebih memilih Dariel. Pria yang tak sepantasnya dicinta karena memiliki keyakinan yang berbeda.
Aldi tersenyum miring dan terlihat meremehkan. "Ra, sepertinya kamu sudah terkena guna-guna. Bagaimana bisa seorang dokter yang dikenal cerdas sepertimu memilih pria ka*** untuk dijadikan kekasih dan menolak lamaranku," ujarnya mencemooh.
"Ra, aku lebih baik dari dia. Bahkan, aku bisa menjadi imam-mu yang pasti menuntun mu untuk memperoleh surga-Nya. Sementara dia ... hanya akan menghancurkan hidupmu dan menyeret mu ke palung neraka," imbuhnya berapi-api. Meluapkan amarah yang memenuhi rongga dada.
Ia tidak terima jika alasan Dira menolak lamarannya hanya karena Dariel.
Dira menghela napas dalam, lalu menarik kedua sudut bibirnya dan menyorot Aldi dengan tatapan tak terbaca.
"Angkuh sekali! Dengan teramat percaya diri berkata seperti itu. Seolah surga bisa diperoleh dengan sangat mudah." Dira menjeda sejenak ucapannya dan kembali menerbitkan senyum. Namun senyum yang mencemooh.
"Al, bercermin lah dulu sebelum berkata. Bagaimana ibadahmu selama ini? Apa benar kamu sudah pantas untuk menjadi seorang imam yang baik? Apa benar kamu bisa menuntunku untuk memperoleh surga-Nya?"
"Sholat lima waktu sering ditinggalkan hanya demi pekerjaan. Puasa selalu diabaikan karena nggak kuat menahan lapar dan dahaga. Bahkan, kamu gemar mengingkari janji, Al."
"Ra --"
"Perbaiki dulu iman-mu sebelum mencemooh orang lain dan ingat ... surga tidak bisa diperoleh dengan keangkuhan!"
"Ra, aku khilaf. Aku minta maaf. Tapi aku nggak rela jika alasanmu menolak ku hanya karena Dariel. Dia ka*** dan kalau kamu menikah dengannya, berati kamu melanggar aturan keyakinan kita."
Dira kembali menghela napas dalam. Mengumpulkan pundi-pundi kesabaran yang sudah setipis tisu.
Rasanya ia sudah lelah menghadapi Aldi.
"Al, aku tau itu. Aku sudah memikirkan dan menimbang keputusan yang aku pilih. Jadi, pergilah. Jangan khawatirkan aku yang mungkin memang nggak pantas mencium bau surga."
"Ra --"
"Pergilah dan jalani hidupmu dengan lebih baik." Dira berucap pelan. Namun penuh penekanan.
"Ra --"
"Pergilah, Al."
Dira lantas memutar tubuhnya, membelakangi Aldi yang tengah menatap sendu.
"Baiklah, Ra. Jika itu mau-mu, aku akan pergi. Tapi aku mohon, jangan melangkah bersamanya. Sungguh, aku nggak rela jika kamu menanggalkan keyakinan hanya demi pria itu. Aku yakin ... dari dulu dia berambisi memiliki mu dengan menggunakan topeng persahabatan."
Seusai bertutur, Aldi melangkah pergi dan diikuti oleh keluarga besarnya.
Mereka pulang dengan tangan hampa dan membawa sayatan luka. Bahkan mungkin ... dendam.
Hari ini, merupakan hari yang terburuk bagi Aldi. Namun dibalik itu, tersemat hikmah yang mendorongnya untuk berubah.
"Ra." Dariel memegang pundak Dira dan memutar tubuhnya, hingga mereka saling berhadapan.
Netranya tak lepas dari paras cantik yang kini tertunduk lesu dan itu membuat hatinya terasa ngilu.
"Maaf. Karena perbuatan ku, kamu terpaksa menolak lamaran Aldi. Aku yakin, kamu masih sangat mencintainya. Tapi --"
"Riel, jangan membahas itu. Saat ini, aku hanya ingin sendiri. Jadi, aku minta kamu untuk pergi." Dira memangkas ucapan Dariel dan masih setia menundukkan wajah yang terbingkai sendu.
Ia berusaha tegar, meski batinnya remuk redam. Raganya terasa lunglai karena energinya terkuras untuk menghadapi kenyataan pahit yang tak pernah terbayangkan di ruang pikir.
Saat ini, Dira hanya ingin sendiri.
Merenung, merintih, menangis, meluapkan segala rasa yang membuncah.
"Riel, pergilah." Dira kembali bersuara dan mendorong pelan dada Dariel agar menjauh.
Namun bukannya pergi. Dariel malah merengkuh tubuh Dira dan membawanya ke dalam pelukan.
Dira tak kuasa menolak.
Untuk kesekian kali, ia jatuh di pelukan Dariel.
Hangat dan nyaman.
Aroma tubuh Dariel membuatnya ingin terus berada dalam pelukan sambil memejamkan mata. Melupakan sejenak duka dan lara hati.
Namun seketika Dira tersadar jika ini tidak benar. Ia pun kembali mendorong pelan dada Dariel.
"Riel, pergi. Aku mohon," pintanya.
"Tapi, Ra --"
"Please, Riel. Pergilah."
"Baiklah. Aku akan pergi. Tapi, besok lusa kamu harus datang ke rumahku. Ada kejutan untukmu."
"Maaf, Riel. Sepertinya aku nggak bisa."
"Datanglah, Ra. Please." Dariel memasang mimik wajah memohon. Namun tak ada respon dari Dira. Bahkan, wanita yang dicintainya itu malah berlalu dan masuk ke dalam rumah.
"Ra, besok lusa ... aku ingin membuktikan kesungguhanku, tepat di hari ulang tahunku." Dariel bermonolog lirih, lalu melangkah pergi. Meninggalkan halaman rumah yang kini terlihat sunyi.
Ia tidak menyadari jika Dira tengah memperhatikannya dari balik kaca jendela.
Menatap hingga raganya menghilang dari pandangan netra.
Bayu berbisik lirih. Membelai jiwa yang terasa hampa terbalut dilema.
Ada dua keputusan yang harus dipilih. Tetap bertahan di sini atau pergi dan menjauh darinya. Bahkan mungkin ... menghilang.
🌹🌹🌹
Bersambung
sukses selalu buat Autor yg maniiiss legit kayak kue lapis.
apalagi aku..
itu memang nama perusahaannya..??
wawww
aku aminkan doamu, Milah
ya pastilah hasratnya langsung membuncah