Bagi Lira, Yash adalah mimpi buruk. Lelaki itu menyimpan rahasia kelam tentang masa lalunya, tentang darah dan cinta yang pernah dihancurkan. Namun anehnya, semakin Lira menolak, semakin dekat Yash mendekat, seolah tak pernah memberi ruang untuk bernapas.
Yang tak Lira tahu, di dalam dirinya tersimpan cahaya—kunci gerbang antara manusia dan dunia roh. Dan Yash, pria yang ia benci sekaligus tak bisa dihindari, adalah satu-satunya yang mampu melindunginya… atau justru menghancurkannya sekali lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senara Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10
Genderuwo kembali menyerang dari balik kabut air, mencengkram tubuhnya. Yash menahan, menjerit, lalu melepaskan ledakan cahaya hitam kebiruan yang membuat makhluk itu terburai menjadi serpihan kabut.
Yash terhuyung, tubuhnya bergetar hebat. Tapi ia tetap meraih Lira yang tenggelam tak berdaya. Leher gadis itu berdarah segar, membasahi perban yang terlepas, wajahnya pucat dingin.
“Tidak… bertahanlah, Lira…”
Dengan sisa tenaga, Yash membawa tubuh Lira ke permukaan, memaksa paru-parunya yang terbakar untuk terus bernapas. Ombak bergulung, langit perlahan memucat, sementara di dermaga tubuh Kai terbujur kaku—diam, tak lagi kembali.
Dengan sisa tenaga yang ada, Yash mengangkat tubuh Lira ke dalam gendongannya. Napasnya terengah, tubuhnya masih basah kuyup, tapi ia memaksa kaki-kakinya melangkah cepat meninggalkan dermaga yang sunyi.
Lira terkulai di pelukannya, wajahnya pucat pasi, bibirnya membiru. Darah segar masih merembes dari perban kain di lehernya, menodai kemeja putih Yash yang sudah compang-camping.
“Bertahanlah… hanya sedikit lagi…,” desis Yash, suaranya parau, seakan lebih ditujukan untuk menenangkan dirinya sendiri. Matanya sesekali melirik ke wajah Lira yang semakin dingin. Denyut nadi di pergelangan tangan Lira nyaris tak terasa, membuat dada Yash serasa diremuk.
Langkahnya terhuyung ketika tiba di halaman rumah kayu Pak Merta. Dengan bahu bergetar, ia menghantam pintu dengan kakinya. “Pak Merta! Tolong dia!!” teriak Yash nyaring, penuh panik.
Pintu terbuka, Pak Merta terkejut melihat kondisi Lira. Matanya melebar melihat darah yang tak kunjung berhenti, lalu segera memberi isyarat agar Yash meletakkan Lira di atas dipan bambu di ruang tengah.
Yash menurunkan Lira dengan hati-hati, tangannya tak mau lepas dari tubuh gadis itu. “Kau harus menyelamatkannya… lakukan apapun, aku mohon…,” suara Yash bergetar, matanya merah menahan rasa bersalah.
Pak Merta hanya mengangguk singkat, lalu mulai mengeluarkan ramuan dan daun-daun dari wadah anyaman. Tangannya bergerak cepat, wajahnya penuh konsentrasi.
Pak Merta menekan luka di leher Lira dengan ramuan tumbukan daun, tapi darah terus merembes melewati sela-sela jemarinya. Nafasnya berat, sorot matanya muram.
“Keadaannya buruk sekali,” gumamnya, hampir tenggelam oleh desah napas Lira yang kian lemah. “Racun kemarin sudah merusak tubuhnya. Kini luka di lehernya kembali… ia takkan bertahan lama dengan ramuan biasa.”
Yash merunduk, jemarinya menggenggam erat ujung dipan bambu. Bahunya bergetar menahan amarah sekaligus panik. “Kau pasti tahu cara lain. Katakan, Pak Tua!”
Pak Merta menggeleng. “Tak ada ramuan, tak ada jampi. Hanya satu jalan… cahaya itu.”
Mata Yash terangkat, sorotnya bergetar.
“Cahaya yang diturunkan sejak ratusan tahun lalu,” lanjut Pak Merta. “Cahaya yang seharusnya membungkam gerbang kala itu… sebelum semuanya gagal. Cahaya yang dulu ada pada Arum.”
Nama itu—Arum.
Sekujur tubuh Yash kaku. Ia menoleh pada Lira… dan seolah waktu runtuh, wajah pucat di hadapannya berubah menjadi wajah yang pernah ia genggam berabad lalu. Garis lembut alis, bibir tipis yang rapuh, bahkan cara mata itu tertutup lemah… sama. Terlalu sama.
Lira dan Arum. Jiwa yang sama. Wajah yang sama. Luka yang sama.
“Tidak…” bisiknya, lirih, nyaris patah. “Jangan ulangi lagi…”
Pak Merta menatapnya tajam. “Kau sudah tahu sejak ia datang, bukan? Kau mengenali wajah itu. Kau tahu cahaya ini seharusnya sudah lahir ratusan tahun lalu. Tapi gagal… karena pengkhianatan.”
Dada Yash serasa diremuk. Ia menunduk, menggenggam tangan Lira yang dingin dan pucat. Jemari itu seakan menggema dari masa lalu—jemari Arum, yang dulu terlepas dari genggamannya karena ia memilih cinta di atas takdir.
Ia menekankan keningnya pada punggung tangan Lira, suaranya bergetar. “Arum… atau Lira… siapapun kau. Aku tidak peduli lagi. Aku tidak akan kehilanganmu lagi.”
Pak Merta menghela napas panjang, suaranya berat. “Kalau kau memaksa membangunkan cahaya itu… ia mungkin selamat. Tapi tubuhnya bisa hancur, jiwanya bisa terbelah. Dan sekalipun ia berhasil bertahan… wajah itu akan menjadi mercusuar bagi kegelapan. Semua akan datang untuk menghancurkannya.”
Yash mengecup jemari Lira, matanya berkilat penuh tekad bercampur penyesalan. “Lebih baik ia hidup… meski aku harus menanggung semua kebenciannya. Lebih baik ia membenciku… daripada aku kembali melihat wajah ini mati untuk kedua kalinya.”
Di ruang kayu itu, bau dupa pekat menyesaki udara. Pak Merta duduk bersila di depan Lira yang terbaring pucat. Tangan tuanya gemetar ketika ia menaburkan segenggam bunga kering ke dalam bara api kecil. Asap tipis berwarna kebiruan naik perlahan, berputar membentuk lingkaran di atas tubuh Lira.
“Dengarkan baik-baik, Nak Yash,” suara Pak Merta bergetar, “kalau cahaya ini aku bangunkan sekarang, jiwa gadis itu akan terbakar dari dalam. Dia bisa selamat… atau bisa hancur jadi abu sebelum subuh tiba. Dan ketika cahaya itu muncul, semua makhluk di pulau ini akan tahu.”
Yash menggertakkan giginya, kedua tangannya mengepal. “Lakukan saja. Jangan biarkan dia mati begitu saja.”
Pak Merta menutup mata, lalu menempelkan telapak tangannya di dada Lira. Mantra kuno meluncur dari bibirnya—bahasa yang sudah lama hilang dari ingatan manusia.
Tubuh Lira tiba-tiba melengkung ke atas, seolah ada yang menarik jiwanya dari dalam. Lehernya berdarah lagi, cahaya putih tipis merembes dari retakan luka itu. Nafasnya terengah, mulutnya bergetar memanggil sesuatu yang tak bisa dipahami.
Yash menahan bahunya, namun panas luar biasa menjalar dari tubuh Lira, membakar tangannya seakan memegang besi yang dipanaskan.
Tiba-tiba, dada Lira memancar terang. Cahaya menyilaukan menerobos dinding rumah, menembus celah-celah kayu, lalu memantul ke langit. Sekejap, seluruh pulau berguncang. Pohon-pohon di luar bergoyang seperti disapu badai, binatang malam meraung serempak.
Di kejauhan, suara-suara mengerikan terdengar dari hutan dan pantai. Jeritan, raungan, tawa panjang, semua bercampur jadi satu. Mata Pak Merta terbuka, wajahnya pucat. “Mereka sudah tahu… gerbang bisa ditutup. Dan mereka… akan datang.”