Demi melunasi utang ayahnya yang menumpuk, Rumi rela menikah kontrak dengan Radit, duda kaya raya yang kehilangan istrinya tiga tahun silam karena perceraian.
Bagi mereka, pernikahan ini tak lebih dari sekadar kesepatakan. Rumi demi menyelamatkan keluarganya, Radit demi menenangkan ibunya yang terus mendesak soal pernikahan ulang. Tak ada cinta, hanya kewajiban.
Namun seiring waktu, Rumi mulai bisa melihat sisi lain dari Radit. Pria yang terluka, masih dibayang-bayangi masa lalu, tapi perlahan mulai membuka hati.
Saat benih cinta tumbuh di antara keterpaksaan, keduanya dihadapkan pada kenyataan pahit, semua ini hanyalah kontrak. Dan saat hati mulai memiliki rumah, mereka harus memilih. Tetap pada janji atau pergi sebelum rasa itu tumbuh semakin dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurAzizah504, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Dijaga atau Dikurung?
"Aku ... nolak dia, Rum."
Rumi sempat terkejut. Ia diam beberapa saat sebelum kembali berkata. Nadanya terdengar lembut, tapi mantap. "Nov, kamu tuh tahu banget Nauval itu kayak apa. Dia sopan, baik, jelas niatnya. Ya, walaupun sering terlihat nggak serius, sih. Tapi, kalau aku boleh tau, kenapa kamu sampai nolak dia? Bukannya kamu sempat ada rasa, ya?"
"Aku belum yakin, Rum. Aku takut. Takut ngecewain, takut gagal. Apalagi kita baru kenal sebentar."
"Kalau kamu terus takut, kamu nggak akan pernah tahu seperti apa rasanya disayang beneran. Kadang, kita harus berani buka hati, Nov."
Novi menunduk, lalu mengangguk pelan. "Kalau kamu yang ngomong gitu, rasanya jadi lebih masuk akal deh, Rum."
"Kalau kedepannya Nauval nembak kamu lagi, kamu terima aja, Nov. Tapi, pastikan juga kamu nerima karena kamu nyaman, bukan karena tekanan. Cuma kalau aku boleh jujur, kalian tuh cocok banget."
Novi tersenyum malu-malu, lalu menepuk lengan Rumi cukup pelan. "Aku juga ngerasa cocok, sih. Dia lucu banget kalau lagi gugup."
Mereka berdua tertawa kecil bersama, suasana kembali hangat.
"Fix ya, aku nanti yang dandanin kamu kalau kalian resmi jadian," ucap Rumi.
"Hah?! Baru juga mikir jawabannya! Itu pun kalau dia mau nembak lagi."
"Terlambat. Aku udah bayangin kamu jadi pengantinnya Nauval."
Tawa Novi pecah saat itu juga. Sambil melempar bantal kecil ke arah Rumi, ia berkata, "Kamu tuh kebanyakan nonton drama tau nggak!"
Obrolan hangat itu terpaksa dihentikan sewaktu suara pintu terdengar dibuka dari arah depan.
"Rum, aku pulang!" seru Radit tersenyum lebar.
Rumi berdiri, siap menyambut kedatangan sang suami. "Tumben pulangnya sore, Mas?"
"Iya nih. Kangen kamu soalnya," jawab Radit membuat Rumi tersipu malu.
Ternyata Radit tak sendiri. Ada Nauval yang menyusulnya sambil membawa beberapa kantong belanjaan.
Wajah Rumi tampak sumringah, sementara Novi buru-buru membetulkan cara duduknya agar tampak lebih kalem dari sebelumnya.
Radit mengernyit kecil, menyadari keadaan canggung di ruang tamu miliknya.
"Wah, ada Novi juga. Bakalan seru banget nih," ucap Radit sengaja menyikut Nauval yang refleks melotot ke arahnya.
Nauval memang belum cerita apa-apa kepadanya tentang Novi. Tapi, tanpa dikasih tahu pun, Radit tahu betul kalau sahabatnya ini mempunyai rasa lebih kepada sahabat istrinya.
"Novi bawain buah, nemenin aku. Kita lagi bahas soal hati. Iya, kan, Nov?"
Nauval yang baru meletakkan kantong belanja di atas meja, langsung terdiam saat mendengar kalimat itu. Ia melirik sekilas ke Novi, yang juga spontan menunduk, pura-pura sibuk mengambil tisu.
Radit menatap Nauval sambil menahan senyum. "Hm, topik berat ya? Hati. Kebetulan Nauval tadi sepanjang jalan diem terus, mungkin ada yang dia pikirin juga tuh soal hati."
"Eh, enggak kok, Dit. Aku cuma mikirin kerjaan besok," sanggah Nauval seraya menggaruk tengkuk.
Rumi bersikap pura-pura polos. Sengaja menoleh ke Novi dan bertanya, "Nov, Nauval mikirin kerjaan atau mikirin kamu, ya?"
"Rummm .…" Wajah Novi memerah, lalu menunduk makin dalam. Dalam hati, ia mengucapkan sumpah serapah untuk sahabat tersayangnya ini.
"Wah, Rum, kamu ngajak berantem nih kayaknya," kata Nauval.
Radit tertawa. Drama percintaan ini makin seru saja.
"Eh, aku pulang dulu deh. Makin lama makin panas di sini," ujar Novi yang gagal menyembunyikan senyum malu-malunya.
"Panas? Baru juga pemanasan, Nov!"
Radit tertawa, tapi Nauval hanya diam sambil menatap Novi.
Ia sudah ditolak. Tapi, haruskah ia berjuang sekali lagi?
...****************...
Radit duduk bersandar di kepala ranjang, memandangi Rumi yang tengah menyisir rambutnya di depan meja rias.
"Emang Novi dan Nauval belum pacaran, ya, Rum?"
"Belum, Mas. Novi belum yakin katanya. Padahal duluan dia yang suka sama Nauval. Tapi pas diajak pacaran, dia malah takut gitu," jawab Rumi sambil menatap pantulan Radit di cermin.
"Mungkin Novi butuh waktu, Rum. Kita tunggu aja kabar baiknya. Dan, semoga aja, Nauval nggak nyerah gitu aja."
Rumi mengangguk. "Iya, Mas. Soalnya aku pengin banget liat Novi bahagia sama pasangannya. Kayak aku sekarang."
Radit bangun dari tempat tidur, berjalan pelan ke belakang Rumi. "Kamu lebih dari bahagia, Sayang. Kamu adalah alasan kenapa aku mau terus pulang."
Radit mencium ubun-ubun Rumi dengan lembut. Namun tak berselang lama, Rumi memejamkan mata dan memegangi perutnya.
"Duh, kepala aku muter. Perut aku juga kayak diaduk."
Radit panik, refleks menahan tubuh Rumi dengan tangannya. "Rum?! Kamu kenapa?"
Tiba-tiba, Rumi berlari ke kamar mandi dan terdengar suara muntah. Radit mengejarnya dengan wajah cemas. Ia menahan rambut Rumi, mengusap punggungnya perlahan. Setelah beberapa saat, Rumi lemas di pelukannya.
"Sayang, kamu nggak apa-apa? Besok kita ke dokter, ya. Aku nggak mau nebak-nebak."
Rumi mengeluh lemah. Kedua matanya mulai terpejam. "Aku capek, Mas. Pusing banget."
"Udah, istirahat dulu. Aku jagain kamu malam ini."
Hari-hari berikutnya, Radit berubah menjadi suster pribadi 24 jam. Ia menyiapkan sarapan, memastikan vitamin Rumi diminum, bahkan ikut mencatat menu makanan dari dokter gizi.
"Ini buahnya udah aku potong, air putih dua gelas, vitamin jam 9. Kamu duduk manis aja, jangan gerak banyak."
Rumi terkekeh lemah sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit. "Kayak lagi di rumah sakit aja. Aku masih bisa gerak sendiri kok."
"Enggak bisa. Aku nggak mau ambil risiko sekecil apa pun. Bahkan aku udah bilangin Bi Yani buat full jagain kamu. Pokoknya kamu tinggal napas aja, sisanya biar aku urus."
Kekhawatiran Radit tak hanya di rumah saja. Di kantor pun, ia selalu memastikan Rumi baik-baik saja.
Nauval baru saja masuk ke ruangan Radit, dan langsung tertawa saat melihat bosnya video call-an sambil bertanya kehamilan Rumi.
"Rum, kamu udah minum susu belum? Jangan lupa makan camilan jam 10. Kalo pusing, langsung duduk, oke?"
"Dit, kamu CEO atau bidan sih sekarang? Tiap 10 menit ngecek ibu hamil," kata Nauval geleng-geleng kepala.
"Lebih baik lebay daripada nyesel, Val."
"Yaelah, Radit Wijaya sekarang full time husband, part time CEO."
Rumi duduk termenung di sofa, sesekali membuka tirai jendela. Ia menarik napas panjang, merasa hari-harinya makin terbatas.
"Mas, kamu terlalu sayang sampai aku nggak bisa ngapa-ngapain."
Tatapan Rumi menerawang ke luar jendela. Ada rasa cinta, tapi juga rindu akan kebebasannya.
Lampu ruang tamu temaram. Rumi duduk sendirian di sofa, memeluk bantal, menatap jam dinding. Suara mobil terdengar dari luar, lalu pintu dibuka. Radit masuk sambil membawa kantong belanja.
"Sayang, aku beliin buah yang kamu suka. Katanya ibu hamil butuh vitamin C—"
"Mas, duduk dulu." sela Rumi dengan suara tajam, tapi pelan.
Radit menghentikan langkah, menatap Rumi dengan bingung. Ia lalu meletakkan kantong di meja dan duduk.
"Kamu kenapa? Perut kamu sakit? Atau kamu nggak badan?" tanya Radit membelai rambut Rumi perlahan.
Rumi balik menatap tajam. "Justru itu, Mas. Aku nggak sakit. Aku hamil, bukan lumpuh."
Radit tertegun. Matanya berkedip bingung. "Maksud kamu?"
"Kenapa aku nggak boleh ngelakuin apa-apa sendiri? Mau ngambil air aja harus nunggu Mas atau Bi Yani. Mau masak dikit, dilarang. Jalan ke halaman rumah pun Mas larang. Aku ini manusia, Mas. Aku butuh bergerak, bernapas."
"Karena aku nggak mau ada apa-apa sama kamu atau anak kita!" Suara Radit mulai meninggi. Wajahnya berubah serius. "Aku cuma—aku cuma ... takut, Rum. Kamu paham nggak, sih?!"
"Kamu bukan takut, Mas. Kamu terlalu mengatur! Kamu nggak percaya aku bisa jaga diri sendiri! Aku bukan boneka, Mas! Kamu yang harus ngertiin aku!"
Radit bangkit dari duduk, menatap Rumi yang juga berdiri dengan tatapan marah. "Rumi, kamu nggak ngerti posisi aku! Setelah semua yang udah terjadi, perundungan, fitnah, trauma, kamu pikir aku bisa tenang?! Aku cuma pengen jaga kamu!"
"Dan Mas nggak sadar kalau ‘jaga’ yang Mas maksud itu udah kayak ‘kurungan'"
Radit terdiam. Suasana hening sesaat. Tatapannya mulai goyah.
Rumi memberanikan diri untuk mendekat. Kedua matanya mulai berair. Suaranya bergetar, tapi terdengar cukup pelan. "Aku sayang kamu, Mas. Tapi jangan sampai cinta Mas berubah jadi ketakutan yang menyakitiku."