NovelToon NovelToon
Istri Sang Mafia

Istri Sang Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / Cinta setelah menikah / Roman-Angst Mafia / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:636
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.

Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.

Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.

Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 21 SUASANA BARU

Lima jam sudah perjalanan mereka tempuh untuk kembali. Zia mengerjap ketika mobil sedikit terguncang melewati sebuah lubang.

Matanya kini menangkap siluet pinus dan puncak Calligo yang menjulang di kejauhan.

"Akhirnya... aku kembali," gumamnya dalam hati.

Entah mengapa, setelah semua yang terjadi, tempat ini kini terasa sedikit berbeda. Bukan hanya rumah, tapi mungkin… satu-satunya tempat yang masih bisa disebut "aman".

Gerbang terbuka perlahan. Mobil-mobil yang berkonvoi masuk ke halaman Calligo, membawa jejak peluh, darah, dan diam yang belum sempat dibicarakan.

Zia turun lebih dulu, langkahnya tertahan sejenak sebelum memberi ruang bagi Viren yang menyusul keluar. Lelaki itu tampak kesakitan, menarik napas berat setiap kali gerakan kecil menyeret luka di punggungnya.

Tangga-tangga menuju pintu utama ia lalui dengan perlahan. Angin malam menyambut, tetapi hawa dinginnya tak sekeras sebelumnya. Barangkali karena rumah itu kini terasa lebih dekat.

Jake dan Manuel ikut turun, menyusul dari belakang. Manuel buru-buru menghampiri Zia saat melihat langkahnya limbung.

“Pelan saja, Nona,” ucapnya, lalu membantu menopang dari sisi kanan.

“Terima kasih,” balas Zia, tulus.

Tak lama, seorang penjaga menghampiri Viren dan membisikkan sesuatu. Viren hanya mengangguk, lalu melanjutkan langkah.

Ketika mereka masuk ke dalam, aroma kayu dan cahaya hangat lampu gantung menyambut mereka. Di tengah ruangan utama, Emi berdiri bersama seseorang. Pria asing itu tampak muda, rambutnya terang nyaris putih, kontras dengan sweater biru tua dan celana abu yang ia kenakan.

Sosok itu melangkah mendekat saat melihat Viren.

"Akhirnya kau tiba. Aku sangat khawatir dengan kondisimu," katanya dengan nada sungguh-sungguh.

Zia mengerutkan dahi. Siapa dia? Tak pernah ia melihat pria ini, bahkan saat pernikahan mereka pun tidak.

"Apa dia kakek Viren?" pikirnya cepat, masih mengamati sorot mata dan cara bicara yang terasa… tak asing tapi juga tak akrab.

"Kenapa kau di sini?" suara Viren terdengar datar. Bukan dingin—lebih pada hati-hati.

"Aku ingin melihat adikku sebelum kembali," jawab pria itu.

“Adik?” gumam Zia refleks. Suaranya cukup terdengar, membuat semua kepala menoleh padanya.

Jake hanya mengangkat alis dan Manuel tertawa kecil, “Ups.”

Samuel menoleh ke arah Zia dan tersenyum. “Kau istrinya?” tanyanya santai.

Zia hanya diam.

Samuel mendekat, membungkuk sedikit dan berbisik, “Dia seperti robot rusak, kan?”

“El...” tegur Viren dari belakang.

Samuel terkekeh. “Maaf. Aku hanya bercanda.” Lalu ia melangkah ke arah ruang makan. “Kalian belum makan, kan? Ayo, makan malam bersama.”

Zia masih memperhatikan Viren. Lelaki itu belum bergerak. Tapi kemudian ia menyusul pelan, seperti sedang mencair dari keterpakuannya.

Emi menghampiri Zia, menggantikan Manuel. “Nona tidak apa-apa?”

“Aku baik,” jawab Zia, lalu menoleh ke arah Viren yang baru saja melewati ambang pintu. “Hanya dia yang terluka.”

Meja makan terlihat lebih semarak malam itu. Makanan beragam tersaji—dari sayur bening hangat sampai lauk yang belum pernah Zia lihat sebelumnya di Calligo. Entah siapa yang menyiapkannya, tapi kesan ‘selamat datang’ begitu terasa.

Viren duduk di kursi utama. Di sisinya, Samuel, lalu Zia tepat di seberangnya. Jake dan Manuel duduk berurutan di sisi kanan meja.

“Sepertinya makanan ini bukan dari dapur biasa,” komentar Jake sambil mengangkat sepotong ayam panggang. “Kalau tiap ada orang pulang, kita disambut begini, aku rela terluka sedikit tiap minggu.”

Manuel tertawa pelan. “Kau tahu siapa yang memasaknya?” bisiknya ke Jake. “Aku.”

Jake terdiam sejenak, lalu menatap lauk di piringnya.

“...Oh.”

Suasana mencair sesaat karena itu. Zia tersenyum kecil. Ini pertama kalinya dia mendengar tawa ringan di dalam rumah itu.

Samuel menatap Zia di sela kunyahannya. “Namamu siapa?”

“Zia,” jawabnya, agak pelan.

“Senang bertemu denganmu, Zia.”

Zia mengerjap. Ucapan itu sederhana, tapi terasa asing di telinganya. Belum pernah ada yang mengatakannya di tempat ini.

Sementara itu, Viren hanya fokus pada makanannya. Ia tak banyak bicara. Namun sesekali, matanya terarah ke arah Samuel. Ia mencuri pandang, diam-diam mencatat napas dan gerak kakaknya—seolah ingin memastikan bahwa orang itu benar-benar di sana. Pulang. Hidup.

Ada sesuatu yang menghangat dalam diamnya. Tak diucapkan, tapi terasa: sebuah kelegaan.

Setelah selesai, ruang makan kembali sunyi, menyisakan udara dingin yang mengendap. Hanya denting alat makan yang tengah Emi rapikan terdengar samar. Jake dan Manuel telah kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat—esok, mereka masih harus mengurus banyak hal yang belum rampung.

Zia juga sudah diantar oleh Emi ke kamarnya. Tubuhnya lelah, dan rasa gerah yang menempel seharian membuatnya ingin segera mandi. Sementara itu, di tempat yang lebih sepi dan jarang tersentuh—ruang kerja Viren—dua kakak beradik itu saling berhadapan dalam diam yang berat.

Viren memutar gelas kristal di tangannya. Cairan dalamnya bergetar tipis. Ia menatap ke jendela, ke arah gelapnya malam yang dihiasi bintik-bintik lampu kota seperti lukisan murung.

“Kau menikahi siapa, Viren?” tanya Samuel tiba-tiba. Suaranya datar, tapi sorot matanya penuh desakan. “Dia tidak ada hubungannya dengan bisnis kita.”

“Ini bisnisku,” jawab Viren pelan, setelah meneguk minuman itu, “bukan bisnis kita.”

Samuel mendengus, frustrasi. Ia melangkah mendekat, tubuhnya tegang.

“Kenapa kau jadi sebodoh ini?” serunya. “Lihat dirimu sekarang. Rusak begini... untuk perempuan yang bahkan—”

“Cukup.”

Kata itu meluncur dari bibir Viren, tajam, nyaris berbisik. Ia meletakkan gelas ke atas meja perlahan, tapi penuh tekanan.

“Aku sudah urus semuanya. Kau hanya perlu diam dan urus Cinderline dari depan,” ucap Viren. Suaranya tetap datar, tapi tak memberi ruang bantahan.

Viren bangkit, mengambil langkah santai namun tegas menuju pintu.

“Vi…”

Samuel memanggil, tapi pria itu tak menoleh. Ia lenyap ke lorong panjang tanpa jawaban, meninggalkan adiknya dalam ruang kerja yang kini terasa terlalu luas dan terlalu dingin.

“Sial…” gumam Samuel sambil mengacak rambutnya. “Apa yang dia pikirkan sebenarnya…”

***

Zia baru selesai mencuci rambutnya. Setelah seharian berkeringat, kehujanan, dan terombang-ambing antara realita dan kebingungan, air hangat tadi terasa seperti pelukan pertama yang ia dapat hari ini. Ia duduk di tepi ranjang, mengambil ponsel yang tergeletak di meja.

Dengan satu jari, ia menggeser layar mencari nama yang ia hafal di luar kepala. Ami.

Ponsel kini berada di telinganya. Satu detik. Dua. Tiga.

“Halo~” suara cerah di seberang sana langsung membuat ujung bibir Zia naik sedikit.

“Ami... sepertinya minggu ini kafe akan tutup total,” katanya pelan.

“Eh? Kenapa?” suara Ami naik satu oktaf. “Kafe Ollano lagi rame-ramenya, Kak...”

“Aku sakit. Harus istirahat total,” jawab Zia, mengusap anak rambut yang masih basah.

“Sakit? Kak Zia kenapa? Parah?” panik Ami.

“Tidak, dokter bilang aku cuma butuh istirahat. Itu saja.”

“Baiklah… aku bakal kabarin Lily. Cepet sembuh ya, Kak.”

“Terima kasih…”

Setelah panggilan terputus, Zia menarik napas. Udara terasa sedikit lebih ringan. Tapi ia tidak tahu, di balik pintu kamarnya, seseorang telah mendengar setiap kata yang ia ucapkan.

Viren mendorong pintu perlahan, membuat Zia sontak menoleh.

“Kau dari mana?” tanyanya.

“Ruang kerja,” jawab pria itu sambil membuka lemari. Ia menarik piyama berwarna biru tua dan beranjak ke kamar mandi untuk berganti.

Zia menyimpan ponselnya. Ia bangkit, menuju meja rias, mengeringkan rambutnya dengan hairdryer. Suara mesin itu memenuhi ruangan yang sunyi. Udara hangat dari alat itu menyapu pipinya, sementara pikirannya mengambang ke mana-mana.

Tak lama kemudian, Viren keluar. Rambutnya basah, bahunya sedikit turun—menandakan tubuhnya belum benar-benar pulih. Ia berjalan menuju laci kecil di samping ranjang, mengambil salep yang tadi diberikan dokter. Tapi saat ia mencoba mengoleskannya ke punggung, gerakannya tersendat. Bahunya tak cukup fleksibel.

Zia menoleh melalui cermin. Ia mematikan hairdryer, lalu bangkit tanpa bicara.

Tangannya terulur, meminta salep itu. Viren menatapnya, kemudian menyerahkan tabung kecil itu tanpa kata. Zia duduk di belakangnya, mengoleskan salep perlahan ke garis luka di punggung pria itu. Ia meniup sesekali, membuat kulit Viren yang hangat bergidik.

Luka itu masih merah. Hanya satu, namun kontras sekali dengan kulit pria itu yang bersih dan… nyaris sempurna. Jelas ia bukan petarung jalanan—ia seorang pebisnis.

“Kau tidak boleh kemana-mana dulu. Harus istirahat,” ucap Zia akhirnya.

“Aku tidak bisa,” jawab Viren, suara seraknya terdengar lebih pelan dari biasanya. “Ada banyak hal yang harus ku kerjakan.”

Ia hendak berdiri. Tapi Zia cepat-cepat menahan bahunya.

Viren mendongak. Menatap wanita itu seolah menunggu alasan.

“Aku tidak bermaksud ikut campur urusanmu… tapi kau terluka. Dan itu karena aku,” bisik Zia, nyaris tanpa suara. “Aku akan tanggung jawab.”

Mata mereka bertemu dalam diam.

“Hanya tanggung jawab?” suara Viren terdengar rendah, mengalir ringan namun tetap menggelitik. “Tidak ada imbalan?”

Zia mengernyit, ragu. “Imbalan?”

Viren menyipitkan mata sedikit, senyum tipis muncul di sudut bibirnya. “Ingatanmu... buruk sekali.”

Zia langsung memalingkan wajah. Matanya membesar, pipinya memerah seketika.

Dan saat itu juga, ia ingat—saat tubuhnya menggigil di dalam lubang pohon, dengan udara dingin menusuk tulang, pria itu masih sempat bergurau, meminta imbalan atas pelukannya. Dan… ya Tuhan, ia mengangguk waktu itu. Tanpa berpikir.

Astaga.

Apa yang dia inginkan sebenarnya?

Wajah Zia kian tertunduk, seakan ingin mengubur dirinya di lantai.

Di belakangnya, Viren hanya tersenyum kecil.

“Bocah mesum,” batinnya, geli.

Zia tak menggubris ucapan Viren dan kembali ke meja riasnya. Ia ingin bersikap biasa, tenang, seolah detik sebelumnya tidak ada apa-apa. Tapi pikirannya melayang ke mana-mana. Kata-kata Viren tadi terus berdengung, membentuk gema yang tak kunjung padam. Ia menyisir rambutnya secara otomatis—terlalu keras, terlalu cepat, terlalu dalam.

Satu helaian tersangkut.

Lalu beberapa.

Dan sebelum ia sempat menyadari, sisir itu terhenti di tengah rambutnya, tersangkut dalam kusut yang menjalar diam-diam.

Zia mengerjap.

“Tidak…” desisnya pelan, wajahnya menegang. Ia mencoba menariknya pelan. Tidak berhasil.

Jantungnya berdetak lebih cepat—bukan karena rambut yang tersangkut, tapi karena ia bisa merasakan seseorang memperhatikannya. Ia tak perlu menoleh untuk tahu: Viren masih di sana. Diam. Dan sekarang, menatapnya.

Tolong jangan datang ke sini. Tolong diam saja di sana. Aku baik-baik saja.

Tapi langkah itu terdengar. Perlahan. Mendekat.

Oh tidak.

Wajahnya langsung memanas. Tangannya berusaha memperbaiki rambut yang kusut, tetapi justru membuatnya semakin berantakan.

Ketika Viren akhirnya berdiri di belakangnya, bayangan tubuhnya menutupi cahaya kecil dari lampu meja. Dan Zia hampir tak bisa bernapas.

“Aku bisa urus sendiri,” ucapnya cepat, nyaris terburu-buru. Ia tidak berani menatap pantulan pria itu di cermin.

“Tapi aku ingin bantu,” jawab Viren pelan, namun pasti.

Zia merasa tenggorokannya mengering. Jarak mereka sangat dekat. Terlalu dekat. Ia bisa merasakan hawa hangat dari napas pria itu menyentuh lehernya yang terbuka.

Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku mundur? Tapi... kenapa tubuhku tidak bergerak?

Viren mengangkat tangan, menyentuh rambutnya dengan pelan—seolah helaian rambut itu adalah sesuatu yang bisa pecah jika disentuh kasar. Ia mulai mengurai simpul-simpul kecil dengan sabar, dengan ketelitian yang tak pernah Zia sangka akan dimiliki seorang pria sepertinya.

“Hm… kau menyisir seperti sedang memikirkan terlalu banyak hal,” gumamnya, nyaris terdengar seperti senyum.

Zia menggigit bibirnya.

Jangan bicara. Jangan terlalu baik. Aku tak tahu bagaimana harus menahan perasaanku jika kau terus seperti ini.

Sisir itu akhirnya terlepas, tapi tidak tanpa meninggalkan jejak. Beberapa helaian rambut jatuh, dan Zia—yang masih menahan napas karena panik dan malu—hanya bisa mematung di tempat. Viren belum beranjak. Ia berdiri di belakangnya, tenang seperti biasa, tapi ada kilatan geli yang samar di matanya.

"Sudah," ucapnya pelan, hampir seperti bisikan. "Kau tidak perlu menyiksa dirimu sendiri hanya untuk merapikan rambut."

Zia menggigit bibirnya. “Aku… tidak sengaja.”

Viren menolehkan kepalanya sedikit, menatapnya lewat pantulan cermin. "Kelihatan sekali," ujarnya, lalu duduk di sisi tempat tidur tanpa melepas pandangan. “Tapi menarik juga melihatmu panik seperti tadi.”

Zia membuang muka, berusaha merapikan rambutnya yang masih kusut. Tapi jari-jarinya masih gemetar, dan setiap sentuhan terasa canggung. Ia bisa merasakan pipinya memanas.

“Kalau kau ingin menertawakanku, lakukan saja sekalian,” gumamnya kesal.

Viren tidak menjawab. Ia bangkit, berjalan perlahan ke arahnya. Langkahnya ringan, tapi cukup membuat jantung Zia melonjak.

Ia menunduk seketika, pura-pura sibuk mencari sisir yang tadi jatuh. Tapi telinganya bisa menangkap suara langkah yang berhenti tepat di belakangnya.

Saat tangan Viren kembali menyentuh rambutnya, Zia refleks menarik napas. Kali ini, tak ada kekusutan, tak ada sisir. Hanya tangan kosong yang menyingkirkan helaian rambut dari pundaknya, gerakan pelan yang hampir seperti… menenangkan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!