"Bang Akbar, aku hamil!" ucap Dea di sambungan telepon beberapa Minggu lalu.
Setelah hari pengakuan itu, Akbar menghilang bagai di telan bumi. Hingga Dea harus datang ke kesatuan kekasihnya untuk meminta pertanggungjawaban.
Bukannya mendapatkan perlindungan, Dea malah mendapatkan hal yang kurang menyenangkan.
"Kalau memang kamu perempuan baik-baik, sudah pasti tidak akan hamil di luar nikah, mba Dea," ucap Devan dengan nada mengejek.
Devan adalah Komandan Batalion di mana Akbar berdinas.
Semenjak itu, Kata-kata pedas Devan selalu terngiang di telinga Dea dan menjadi tamparan keras baginya. Kini ia percaya bahwa tidak ada cinta yang benar-benar menjadikannya 'rumah', ia hanyalah sebuah 'produk' yang harus diperbaiki.
Siapa sangka, orang yang pernah melontarkan hinaan dengan kata-kata pedas, kini sangat bergantung padanya. Devan terus mengejar cinta Dealova.
Akankah Dealova menerima cinta Devan dan hidup bahagia?
Ikuti perjalanan Cinta Dealova dan Devan hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 : Bukit Sikunir
Berusaha Mengobati
Seminggu berlalu
Selama seminggu itu pula, Devan terus mencari keberadaan Dea. Lama Devan menunggu di depan sanggar, namun kondisinya terlihat sepi. Setiap orang yang ia tanya dengan kompak menjawab tidak tahu.
Dea sudah tidak bekerja di cafe lagi karena sudah di pecat atas permintaan Kasandra. Begitu juga tempat kost, Dea di usir karena beberapa orang suruhan papa Devan melakukan pengerusakan di rumah kost.
Di tempat lain, Laras mengajak Dea dan beberapa anak buahnya melakukan hiking ke bukit Sikunir Wonosobo.
Dea duduk di atas batu besar sambil menatap langit senja yang baru saja hadir. Laras duduk di sampingnya lalu menyodorkan gelas kopi yang asapnya masih mengebul.
"Apa perasaanmu sudah lebih lega?" tanya Laras.
"Tidak bisa sepenuhnya hilang mba. Karena hubungan kami tidak pernah di mulai dan tidak ada kata selesai. Dia mengendap di sini." Dea menepuk dadanya dengan kesal.
"Terkadang, aku berpikir ... Mengapa Tuhan memberikan cinta yang menyakitkan seperti ini pada kita perempuan yang sudah 'dibanting' takdir berkali-kali. Apa ini bentuk kasih sayang atau karma leluhur yang harus kita tanggung."
"Tapi aku yakin akan ada waktunya kita akan diberi kebaikan yang tidak kita pikirkan sama sekali," ucap Laras.
"Aku ingin pulang ke Kalimantan aja mba, melebur dengan alam seperti masa kecilku dulu."
"Sebenarnya aku menyayangkan jika kamu kembali ke sana. Bakat kamu harus terus berkembang di kota besar seperti Jakarta, Dea. Setelah penampilan kamu di kedutaan saat Asean games kemarin. Banyak sekali tawaran untuk kamu tampil di kedutaan dan tawaran di manca negara, De."
"Aku takut hidup di Jakarta. Semua terasa cepat dan bising, aroma bensin yang terbakar menjadi asap kendaraan akan aku temui di mana-mana dan setiap hari," ucap Dea.
"Aku juga ingin melanjutkan kasus pembunuhan papaku. Aku butuh keadilan, papaku korban bukan pelaku penyelundupan hewan langka," imbuhnya.
"Jangan takut. Kamu harus bangkit Dea, hanya dengan berkarya kita bisa melepaskan trauma secara perlahan. Aku ingin buka sanggar di Jakarta. Kamu bisa bantu aku mengelolanya. Untuk masalah hukum, aku punya teman pengacara handal dan dia bisa bantu kamu mengurusnya dari Jakarta," bujuk Laras.
"Hai! Ternyata Tuhan mempertemukan kita di sini... " sapa Akbar yang datang bersama rombongannya.
"Lho, ke sini juga?" tanya Laras.
"He'em ... Sejak kapan kalian di sini?" tanya Akbar, tidak ingin kehilangan kesempatan mendekati Dea, ia duduk di samping Dea yang terlihat acuh tak acuh.
"Sudah tiga hari." Dea menaikan ponselnya memotret langit senja yang mulai berganti warna hangat.
"Pantas, aku ke sanggar beberapa kali tidak menemukan kalian," balas Akbar, di saat bersamaan Akbar memotret Dea dari samping.
"Kenapa sih usil banget, aku ngga mau jadi objek foto kamu!" gerutunya sambil menutupi wajahnya yang sedang cemberut.
"Dea," panggilnya pelan. "Kamu tahu gak sih kalau kamu itu menarik?" tanyanya sekaligus pernyataan kalau dia mengagumi Dea.
"Aku ngga mempan di rayu, bang. udah mati rasa aku," balas Dea hendak meninggalkan Akbar. Tapi Akbar menahan lengan Dea.
"Aku tidak merayu tapi mengatakan yang sebenarnya. Kamu cantik dan yang terpenting lagi, kamu menarik dengan semua talenta yang kamu miliki."
"Iya iya terserah Abang aja." Dea tetap berdiri memotret alam dari berbagai sisi.
"Bar, kita bikin tenda dimana?" tanya rekan satu teamnya.
"Bikin tenda di samping mereka aja." Ia menunjuk tenda rombongan Dea.
"Di bukit sana, sunrise nya sangat cantik, Dea. Aku ingin mengajak kalian ke sana," ajak Akbar menunjuk bukit di seberang tempat mereka berdiri.
"Hem ... Aku lihat di akun igeh 'Pengabdi Alam' hasil jepretan bertema sunrise dan sunset di bukit ini sangat cantik. Sepertinya pemilik akun sangat menyukai pemandangan di sekitaran Dieng." ucap Dea.
"Mulai hari ini pemilik akun itu sangat menyukai memandang senyumanmu," bisik Akbar dalam hatinya.
"Kamu follow akun dia?" tanya Akbar sambil membersihkan lensa kamera Mirrorless miliknya.
"Sudah lama, sejak aku kuliah." Dea memperhatikan Akbar membidik objek pemandangan.
"Kamu mau coba?" ia menyodorkan kamera DSLR Nikon D850 pada Dea, gadis itu menyambutnya dengan senyuman manis.
"Bawa kamera banyak sekali, kalian pemburu senja?" tanya Dea penasaran.
"Pemburu senja, sunrise dan sekarang pemburu kamu," goda Akbar.
"Cik! Apa semua tentara begitu ya, pandai merayu abis itu disakitin," keluh Dea.
"Eh? Mantanmu tentara, orang mana, kesatuan apa?" tanya Akbar.
Dea bungkam, ia menyesali tidak sadar curhat dengan Akbar. "Bodoh, kenapa aku bilang begitu barusan!" sesal Dea dalam hati.
"Lho kok diam, tidak semua tentara playboy. Contohnya aku sampai sekarang masih jomblo," sanggahnya.
Sudut bibir Dea menurun, "Haruskah aku percaya?"
"Aku orang yang bisa kamu percaya," ucapnya penuh percaya diri.
Terlalu asik membidik senja, kaki Dea menginjak tanah tebing yang rapuh.
Sreekk
Akbar menarik pinggang Dea hingga punggung Dea membentur keras dada bidangnya. "Hati-hati dengan langkahmu, Dea," bisiknya lembut.
Lama mereka terdiam dalam posisi yang intim, hingga Dea mendorong tubuh Akbar dengan ujung sikunya. Dea menoleh dengan tatapan tajam, "Kamu cari kesempatan ya?!" tuduh Dea dengan wajah cemberut.
Mata Akbar membelalak lalu tertawa salah tingkah, "Woaah... Haha ... bukannya berterima kasih aku cegah kamu jatuh ke jurang, malah menuduhku. Aku cuma khawatir kamera mahal ku jatuh ke jurang. Sini, kembalikan kameraku!"
Dea mengembalikan kamera yang baru saja dipinjamnya.
Akbar segera berbalik dan menjauh, langkahnya kikuk hingga nyaris tersandung kakinya sendiri. "Ah, sial! Kenapa jantungku berdegup kencang seperti ini! Lalu ... Kenapa dia cantik sekali ketika marah!" gumam Akbar dalam hatinya.
Dea menatap punggung Akbar dengan tatapan sinis dan wajah cemberut. Ia berjalan cepat hingga melewati Akbar, langkah kakinya cepat namun berat, setiap hentakan seakan menggambarkan kekesalan hatinya.
"Kenapa wajahmu di tekuk gitu, De?" tanya Laras saat mendapati Dea menghempaskan bokongnya di samping Laras.
"Tuh, manusia aneh!" Dea menunjuk Akbar dengan dagunya dan lirikan sinis.
Laras tertawa lebar, ia gemas melihat kedua orang itu. Pipi Akbar terlihat bersemu merah dan tatapannya kikuk saat beradu pandang dengan Dea. Sementara Dea mirip anjing poodle yang menggonggong orang baru yang ia kenal.
"Kamu kayaknya lebih cocok sama Akbar, dia bisa mengimbangi energi kamu." Laras menyodorkan kentang goreng yang baru saja ia masak.
"Iihh... Engga ya mba. Aura Playboynya kuat banget!" bisik Dea.
"Kurasa dia bukan playboy, tapi dia memang memiliki sejuta pesona dan cerdas," sahut Laras.
"Mba ngga tahu aja kalau dia udah merayu," bantah Dea.
"Ya ngga tahu lah, karena yang dia rayu cuma kamu doang. Kamu lihat kan dari tadi lima pendaki perempuan berusaha mendekatinya tapi tatapan mata dia hanya ke kamu." Laras menunjuk sekumpulan pendaki perempuan yang sedang cari perhatian Akbar.
Dea menunduk saat menyadari tatapan Akbar tertuju padanya, lalu ia memalingkan wajah menatap jauh ke langit yang mulai gelap.
Jam 02.35, tidur Dea terganggu karena Laras mengajaknya ke seberang puncak bukit sikunir melalui jalur para pendaki. Di depan tenda, Akbar sudah bersiap dengan tas kamera dan tongkat hiking.
"Kita hanya berlima?" tanya Dea sambil mengucek matanya.
"Yang lain mau lewat jalur umum ke kaki langit, menunggu mobil jemputan jam 4 pagi."
"Mba boleh nggak aku lanjut tidur saja, aku tidak bersemangat hari ini," ucapnya sambil melirik sinis ke arah Akbar.
"Yaa gimana sih, masa aku sendirian. Cowonya tiga orang, ntar aku di apa-apain mereka ngga ada yang nolong aku, Dea. Ayo De... Plis lah ikut, yaa?!" bujuk Laras
Dengan malas Dea akhirnya bangkit lalu memakai sepatu hikingnya. Dari ekor matanya langkah kaki Akbar makin mendekat. Ia berjongkok di depan Dea dan tangannya menggapai tali sepatu mendaki milik Dea.
"Kalau cara mengikat tali asal seperti ini, kakimu bisa cedera," tegur Akbar. "Keamanan kaki harus diutamakan saat di area bebatuan dan jalan menanjak," lanjutnya.
Dea membiarkan Akbar memasangkan kembali sepatu di kakinya dan mengikat tali.
Kok Kasandra jadi side character di cerita cintanya Devan sama wallpaper 😭
kasihan juga pada Kasandra, tapi mau gimana lagi? udah telat.
semoga zie tidak jadi korban