Arsenio Wickley, seorang mafia yang berusia 39 tahun. Semenjak kejadian kekasihnya pergi karena kesalahan pahaman, semenjak itu Arsenio menutup hatinya untuk semua wanita. Tapi, kehadiran seorang gadis mengubah pendiriannya. Clara datang kepadanya, dan berniat menjadi sugar baby Arsen. bukan karena uang tapi karena ia butuh kasih sayang yang tidak ia dapat dari orang tuanya.
" Om, aku mau jadi sugar Baby om" ucap Clara sambil menatap wajah Arsen.
" Apa kau tahu, apa yang dilakukan Sugar Baby?" Arsen mendekati wajah Clara, membuatnya sedikit gugup.
" Memang apa yang harus aku lakukan?" tanya Clara yang penasaran, ia hanya tahu sugar baby itu hanya menemani makan, dan jalan-jalan.
" kau harus menemaniku tidur, apa kau mau?" Arsen semakin memojokkan tubuh Clara.
" tidak!! aku tidak mau.." Clara berlari saat mendengar ucapan Arsen.
" Dasar bocah ingusan" ucap Arsen seraya menggelengkan kepala.
Nantikan kisah kelanjutannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu.peri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hasutan Sera
Malam Hari — Rumah Keluarga Wijaksono
Suasana rumah terasa lengang. Di ruang keluarga, Anton tengah duduk dengan tenang di kursi kerjanya, memeriksa laporan keuangan terbaru perusahaan. Wajahnya serius, sorot matanya penuh konsentrasi.
Pintu utama tiba-tiba dibuka cukup keras dari luar. Sera masuk dengan langkah terburu-buru, wajahnya tampak kesal dan matanya menyala penuh emosi.
“Papa!” panggilnya lantang.
Anton menoleh perlahan, sedikit terganggu. “Ada apa, Sera?”
Sera berjalan mendekat sambil merogoh ponsel dari dalam tas. “Papa harus lihat ini. Aku melihat Clara... di depan kampus... bersama seorang pria tua! Om-om!”
Alis Anton terangkat. “Apa maksudmu?”
Sera menyerahkan ponselnya. “Clara masuk kedalam mobil bersama seorang pria tua,"
Anton menerima ponsel itu. Di layar, tampak foto Clara sedang berjalan cepat menuju sebuah mobil hitam mewah, diikuti oleh seorang pria bertubuh tegap dengan setelan jas rapi. Wajah pria itu tidak terlihat karena diambil dari belakang, namun penampilannya mencolok—terlihat seperti bukan orang biasa.
“Dari mana dia mengenal pria seperti ini?” gumam Anton pelan, nada suaranya mulai berubah menjadi dingin.
“Entahlah, Pa. Tapi lihat saja... sudah tidak tinggal di rumah, lalu tiba-tiba bersama pria tua kaya. Apa itu tidak cukup jelas? Aku rasa Clara... menjual diri.”
“Jangan bicara sembarangan Sera, Tidak mungkin Clara begitu, walaupun dia sering melawan papa, tapi tidak mungkin Clara melakukan itu,m.” Suara lembut namun penuh sindiran terdengar dari arah tangga. Elisa muncul dengan balutan gaun tidur panjang, rambutnya disanggul rapi. Ia berjalan tenang menuju sofa, lalu duduk di samping suaminya. “Tapi mungkin saja... karena Clara pasti tidak punya uang, dan menjual diri untuk bertahan hidup,"
Anton menoleh ke arah istrinya. “Kamu juga mengira begitu?”
Elisa tersenyum tipis. “Sayang, sejak Clara diusir dari rumah ini, dia tidak pernah sekali pun menghubungi kita. Tidak menyesal, tidak minta maaf. Kini, dia bersama pria asing yang mencurigakan. Kalau dia memang hidup lurus, mengapa harus sembunyi-sembunyi? Kenapa tidak menunjukkan siapa pria itu?”
Sera mengangguk cepat. “Benar Ma. pantas saja dia sembunyi-sembunyi. Aku rasa, Clara menjadi simpanan pria tua itu”
Anton menggenggam ponsel lebih erat. Wajahnya kini mengeras, matanya menatap lurus ke arah layar dengan amarah yang mulai menyala.
“Setelah semua yang aku berikan... anak tidak tahu diri itu malah mencoreng nama baik keluarga ini. Aku sudah cukup sabar.”
“Papa harus bertindak,” bisik Sera penuh dorongan. “Jangan sampai nanti nama keluarga Wijaksono tercoreng hanya karena seorang anak yang tak tahu diri.”
Elisa menyentuh tangan Anton dengan lembut. “Sayang, aku tahu hati Papa baik. Tapi papa tidak bisa membiarkan ini. Jangan sampai Clara bilang kalau dia bagian dari keluarga Wijaksono, bisa-bisa perusahaan papa akan hancur,"
Anton tidak menjawab. Ia berdiri perlahan, lalu berjalan menuju jendela besar ruang tamu. Pandangannya kosong, namun rahangnya mengeras, dan jemarinya mengepal di balik punggung.
“Aku akan pastikan dia tidak akan membawa nama keluarga ini, aku akan melakukan jumpa pers dan menegaskan pada media, hanya kalian berdua keluargaku," ucapnya perlahan.
Elisa dan Sera saling pandang, senyum samar muncul di wajah mereka. Mereka tahu, amarah Anton telah berhasil disulut. Dan meskipun Clara telah terusir dari rumah, rupanya permainan mereka belum selesai.
*****
Di apartemen Arsen.
Melihat kepergian ketiga orang itu, Arsen tak membuang waktu. Dengan cepat, ia menggenggam pergelangan tangan Clara dan menariknya masuk ke kamar lantai bawah—kamar yang ia tempati selama Clara ada disana.
"Tuan!" pekik Clara spontan, terkejut oleh tarikan itu.
Arsen menutup pintu dan menyandarkan tubuhnya di sana. Tatapannya tak beralih dari wajah Clara. Kali ini, lebih tajam... lebih dalam.
“Malam ini, tidur denganku,” ucapnya pelan namun penuh tekanan.
Clara menelan ludah, panik. “T-tidur... dengan Tuan?” gumamnya, hampir tak terdengar. Ia buru-buru mengalihkan pandangan, namun Arsen maju satu langkah, membuatnya kembali mundur hingga punggungnya menyentuh lemari.
“Aku tidak suka kau terus memanggilku seperti itu,” ucap Arsen. Tangannya yang dingin menyentuh dagu Clara, memaksanya menatap langsung ke matanya. “Panggil aku dengan cara lain.”
Clara terpaku. “J-jadi... aku harus memanggil apa?” bisiknya gugup.
Arsen mencondongkan tubuhnya. “Apa pun... asal bukan 'Tuan',” bisiknya lirih.
"O—Om...?" jawab Clara gugup, spontan.
Arsen hanya terkekeh mendengar panggilan Clara, membuat Clara merasa seperti bocah kecil yang kebingungan. "ya..ya.. terserah kau saja,"
Sebelum Clara sempat menjawab, tubuhnya sudah terangkat ke udara. Arsen menggendongnya begitu saja—tanpa permisi, tanpa aba-aba—dan membawanya ke tempat tidur.
"Akhh... tuan?” Clara memeluk leher Arsen erat karena refleks.
Arsen tersenyum tipis. “Tenang saja. Aku tidak akan melakukan apa-apa padamu.” Ia meletakkan tubuh Clara pelan di atas ranjang, lalu menyusul dengan membaringkan dirinya di samping gadis itu. “Aku hanya... ingin tidur berdua. Itu saja.”
Tapi kata-katanya tidak semudah itu dipercaya oleh jantung Clara. Gadis itu berusaha mengatur napas, namun jantungnya berdetak seperti genderang perang. Apalagi saat Arsen memeluknya dari belakang, dengan tubuhnya yang hangat dan napasnya yang membelai telinga Clara.
Clara memejamkan mata erat-erat ketika Arsen mulai menempelkan bibirnya ke tengkuknya. Ke cu pan kecil yang tak berniat menuntut apa pun, namun justru membuat tubuh Clara menggigil tak tentu arah.
Tangannya menggenggam erat kerah bajunya sendiri, mencoba bertahan.
“Tidurlah,” bisik Arsen di telinganya, suara bass-nya begitu dalam, seolah meresap ke tulang. “Aku tidak akan memakanmu... sampai aku benar-benar siap.”
Clara terdiam. Tak ada suara selain detak jantung mereka yang beradu dalam diam malam ini.
Merasa jika Clara sudah tidur, Arsen segera melepaskan pelukannya. dan menatap Clara yang memejamkan matanya.
"Jika malam ini aku tidak pergi, aku tidak yakin bisa menahannya,"
Arsen melihat bagian bawahnya yang menggembung, dari tadi ia diam karena menahan has rat nya.
sebelum pergi, Arsen menatap Clara kemudian tersenyum. ia tidak menyangka, perasaannya dulu kini muncul lagi. perasaan sayang dan ingin melindungi, seperti saat bersama Freya dulu.
Setelah Arsen pergi, Clara langsung membuka matanya. "huft-... untung saja om itu tidak melakukan apa-apa padaku," ucapnya sambil mengelus dada. Kemudian beranjak berdiri dan kembali kekamar atas.
Tapi, saat dia baru masuk kedalam kamarnya, tiba-tiba ponsel berbunyi. Belum sempat Clara membuka mulut, orang diseberang telepon lebih dulu berbicara.
"Aku tidak pulang malam ini, jangan kemana-mana,"
Tutttt...
Clara menatap ponselnya bingung, Arsen seperti tahu apa yang dia lakukan.