Anesha dan Anisha adalah kakak beradik yang terpaut usia tiga tahun. Hidup bersama dan tumbuh bersama dalam keluarga yang sama. Namun mereka berdua dibesarkan dengan kasih sayang yang berbeda. Sebagai kakak, Nesha harus bekerja keras untuk membahagiakan keluarganya. Sedangkan Nisha hidup dalam kemanjaan.
Suatu hari saat mereka sekeluarga mendapat undangan di sebuah gedung, terjadi kesalah pahaman antara Nesha dengan seorang pria yang tak dikenalnya. Hal itu membuat perubahan besar dalam kehidupan Nesha.
Bagaimanakah kehidupan Nesha selanjutnya? Akankah dia bahagia dengan perubahan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Halu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akibat Tampan
Garvi dan Nesha akhirnya pergi jalan-jalan pagi keliling kampung. Menikmati udara segar sambil berjalan kaki santai. Mereka juga bertemu dengan banyak warga dan saling menyapa. Tak seperti yang Nesha pikirkan, warga yang mereka temui justru menyanjung dan menyapa suaminya dengan baik. Mereka juga mendoakan kelanggengan untuk ia dan Garvi. Bahkan ada beberapa orang yang saking senang dan tidak menyangka melihat ketampanan Garvi, memberikan berbagai macam makanan. Ada yang memberi gorengan, nasi pecel, buah jambu yang ada di pekarangan, pisang, dan juga sayur sop.
Nesha dan Garvi tertawa cekikikan seraya menenteng semua pemberian warga.
"Mas udah kayak artis aja", celetuk Nesha seraya terkekeh.
"Kalau kita jalan-jalan tiap pagi, kayaknya kita bisa buka warung, Nes", kelakar Garvi. Mereka pun tertawa sepanjang jalan dan tak lupa tetap menyapa orang setiap bertemu.
"Nesha!" Teriak seorang dari arah belakang mereka. Saat menoleh, mereka melihat Bu Endang yang berlari kecil menghampiri.
"Ada apa, Bu Endang?" Tanya Nesha memperhatikan Bu Endang yang menenteng kresek putih ditangannya.
"Ini kasih ke ibumu, saya nitip jahitin baju nanti." Bu Endang menyerahkan kantong tersebut ke tangan Nesha.
Nesha yang kewalahan karena membawa pemberian warga, sedikit terhuyung. Dengan cepat Garvi berdiri di belakang Nesha, menahan tubuh kecil itu agar tak jatuh.
"Sini aku yang bawa ini". Garvi meraih beberapa kantong kresek di tangan Nesha.
"Nggak apa-apa, Mas. Kamu kan udah bawa pisang sama jambu yang berat. Nanti tambah berat", Nesha berusaha menolak. Namun Garvi dengan cepat merebut kantong-kantong tersebut.
"Ya elaah.. Mesra banget", celetuk Bu Endang.
Garvi dan Nesha tersenyum malu-malu. Pasalnya sudah beberapa orang yang bertemu selalu meledek mereka.
"Kamu belum isi, Nes?" Tanya Bu Endang seraya menatap perut datar Nesha.
"Isi?" Nesha yang polos bingung dengan pertanyaan Bu Endang. Ia menatap Garvi, seolah bertanya apa maksud Bu Endang. Namun suaminya malah mengangkat bahu, tanda tak tahu pula apa artinya.
Bu Endang pun berdecih, saking gemasnya dengan kepolosan Nesha dan Garvi.
"Maksud saya tuh hamidun, Nes", Bu Endang menggerakkan kedua tangan di depan perutnya berbentuk melengkung ke depan.
"Oohh..", Nesha dan Garvi kompak ber-oh ria. Lalu setelah beberapa detik menyadari pertanyaan Bu Endang, keduanya saling membuang muka. Sama-sama malu.
"Ya Allah..polos banget sih mereka berdua. Gemesnya!" Ledek Bu Endang seraya menepuk lengan Nesha dan Garvi bergantian.
Keduanya mengaduh tanpa suara sambil mengelus lengan yang panas karena tepukan Bu Endang yang sedikit keras.
"Orang berdua polos gini kok dituduh macam-macam, ya, kan?" ucap Bu Endang sambil meleyotkan bibirnya.
"Tapi saya bersyukur Nesha dapat suami baik seperti kamu. Kalau lihat si Nesha mah, bawaannya kudu kasihan saya. Dia selalu aja disuruh ngalah terus sama adiknya". Cerocos Bu Endang tak henti.
"Biasanya adik yang dapat lungsuran baju dari kakak, ya, kan? Tapi si Nesha malah kebalikannya. Dia nggak pernah dapet baju baru. Selalu aja pakai baju bekas si Nisha. Beli baju ya cuma pas hari raya aja. Sedangkan si Nisha, ada baju lucu dikit dibeli'in, ada model baru dibeli'in. Kalau nggak suka, baru dikasih ke Nesha." Penuh antusias, Bu Endang bercerita pada Garvi.
"Udah, Bu. Jangan cerita yang aneh-aneh. Kami pamit dulu". Nesha segera menarik lengan Garvi menjauh dari Bu Endang. Ia tak mau kehidupannya yang menyedihkan jadi bahan cerita.
"Bener yang diceritakan Ibu tadi, Nes?" Tanya Garvi seraya melanjutkan perjalanan menuju rumah.
"Udah, nggak usah di dengerin, Mas." jawab Nesha dengan nada terdengar sedih.
Keduanya pun terdiam sampai mereka tiba di rumah. Setelah mengucap salam, mereka menaruh semua kantong kresek yang berisi makanan itu diatas meja makan.
"Belanja apa kamu, Nak? Kok banyak banget?" Suara Pak Edi yang keluar dari kamar karena mendengar salam dari keduanya.
"Kami nggak beli, Pak. Tadi dikasih sama warga", jawab Garvi seraya mengeluarkan satu-persatu isi dari kantung kresek.
"Ngemis kamu?" celetuk Bu Rumi yang melihat banyak makanan di atas meja makan.
"Astaghfirullah, Bu." Ucap Nesha seraya mengelus dada. Sungguh kejam sekali omongan ibunya pada suaminya.
"Jangan hina suami saya, Bu. Kami nggak pernah meminta ataupun ngemis. Kami beneran di kasih sama orang-orang baik yang kami temui." Meski memendam amarah, tutur Nesha tetap sopan dan lembut.
Garvi yang melihat Nesha membela dengan sepenuh hati merasa terenyuh. Baik, sopan, lembut, sholiha dan patuh. Semua hal baik yang ia lihat pada diri Nesha.
"Bu, jangan suudzon, nggak baik." Pak Edi pun turut membela, namun ala kadarnya. Bu Rumi sebal karena Pak Edi selalu membela Nesha akhirnya balik lagi ke kamar.
"Kenapa orang-orang pada ngasih kalian banyak banget ini?" Tanya Nisha yang keluar kamar bersama Fandi.
"Karena lihat aku yang ganteng ini", jawab Garvi enteng dengan nada yang dingin dan datar.
Nisha dan Fandi pun tergelak tawa mendengar jawaban Garvi.
"Itu bukan karena kamu ganteng. Tapi karena kasihan. Kamu kan cuma tukang ojek, takutnya si Nesha nggak bisa makan karena kamu kan nggak punya uang. Makanya mereka sedekah sama kalian!" ucapan Nisha sangat keterlaluan. Membuat kesabaran Nesha terasa di ubun-ubun.
"Tutup mulutmu, Nisha! Atau ku sumpal pakai jambu!" seru Nesha yang sudah penuh amarah.
Melihat Nesha yang sudah memegang jambu di tangannya, segera Fandi siaga menghadang di depan Nisha.
Begitu pula dengan Garvi, melihat Nesha yang matanya memerah penuh amarah, ia segera membawa Nesha ke dalam pelukannya. Dan benar saja, istrinya itu langsung luluh dan menangis dalam pelukan. Dengan cepat Garvi merebut jambu yang ada di tangan Nesha.
"Dasar psiko*pat gila!" gumam Fandi yang masih posisi siaga.
"Jangan menghina istriku", Garvi menatap tajam kearah Fandi.
"Miskin aja belagu!" sarkas Fandi seraya tersenyum miring, lalu diikuti tawa mengejek dari Nisha.
"Aku yang miskin saja bisa memberimu dollar, apalagi kalau aku kaya. Bisa kubeli semua isi showroom murahan milikmu itu!" balik sarkas Garvi seraya melempar senyum miring penuh ejekan.
"Mimpi, kau! Hahaha". Gelak tawa Fandi.
"Kau pikir aku tak tahu kalau uang dollar yang kuberi itu kau gunakan untuk membeli parfum murahan? Huh?!" Kini Garvi mencoba membalik keadaan dengan membuka aib mereka.
"Bahkan masih kurang, kan? Hahaha! Apa uang di tabunganmu sudah habis terkuras oleh istrimu?"
Nisha dan Fandi tercengang mendengar ucapan Garvi. Darimana ia tahu masalah parfum itu?
Nesha mendongak dan menatap Garvi yang sudah tersenyum miring penuh rasa kemenangan. Suaminya itu terlihat sangat menyeramkan. Tatapan tajam serta ucapan tegasnya membuat lawan terintimidasi. Lalu ia melirik kearah Nisha dan Fandi yang raut mukanya berubah pucat pasi. Seolah senjatanya sedang dilucuti oleh Garvi.
"Mas, sudah hentikan. Saya takut", gumam Nesha seraya menenggelamkan wajahnya kembali di dada Garvi.
Garvi mendekapnya semakin erat. Mencoba memberi rasa nyaman pada tubuh kecil istrinya. "Ayo kembali ke kamar", titah Garvi dan di angguki oleh Nesha.
Mereka pun masuk ke dalam kamar. Meninggalkan dua sejoli yang sedang terpaku di tempat dengan pikiran masing-masing.