"Om Bima! Apa yang Om lakukan padaku!"
Sambil mengernyitkan dahi dan langkah pelan mendekati Sang Gadis yang kini menjaga jarak waspada dan tatapan setajam silet menusuk netra tajam Bima.
"Seharusnya, Saya yang bertanya sama Kamu? Apa yang semalam Kamu lakukan dengan Alex?"
Bima, Pria yang masih menggunakan handuk sebatas lutut kini menunduk mendekati Laras, Perempuan yang seharusnya menjadi Calon Menantunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiara Pradana Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pilihan
Langkah Bima terasa lebih ringan. Mendapat dukungan dari keluarga barunya, Bima merasa ada jalan keluar untuk mengurai satu per satu persoalan Alex.
Sebelum ke kantor, Bima sengaja ke Rumah Sakit dulu, untuk melihat kondisi Alex dan Bella hari ini.
Sesampai di rumah sakit, Bima bergegas menuju ruang rawat Alex, namun saat akan masuk ke dalam ruangan Alex Bima melihat dari celah pintu yang sedikit terbuka mendengar bahwa Bella yang duduk di kurai roda sedang bertatap tegang dengan Alex yang masih berada di atas brangkar.
Bima menahan diri tidak masuk, ingin tahu apa yang Alex dan Bella bicarakan.
"Gugurkan!"
DEG!
Hati Bima mencelos. Bukan. Betul itu suara Alex? Bima masih menolak percaya indera pendengarannya yang menangkap kata-kata keji itu.
Terlalu naif memang hati seorang orang tua yang selalu berpikir anak Mereka adalah anak baik. Namun Bima sadar, saat ini adalah kenyataan bukan imajinasinya.
"Lex, tapi dia ada karena kesalahan Kita, dia gal salah apa-apa," suara parau Bella, sesungguhnya menyayat hati, menarik iba dan perasaan simpati.
"Lo tahu Bel, sejak awal Gue cuma cinta sama Laras! Dan Gue cuma butuh kepuasan aja dan Lo nyerahin diri Lo begitu aja! Gue gak mau tanggung jawab! Gugurkan Bel!"
Bima tak bisa lagi menahan dirinya, masuk tanpa permisi dan aba-aba berjalan cepat dan kini dalam sekali ayun lima jari Bima sudah mendarat indah di atas pipi pucat Alex.
PLAK!
Suasana yang tegang berubah hening sejenak terasa membeku, tak ada suara hanya suara tamparan memecah ricuh diantara Alex dan Bella.
"Papa!" Alex tak percaya. Seumur hidupnya, Bima, Papanya tak pernah menamparnya. Jangankan menamparnya, dulu saat Alex kecil, saat Alex di cubit oleh seorang Ibu temannya, Bima tak segan mempersoalkan dan berakhir dengan permintaan maaf.
Padahal hanya anak-anak, dan Bima tak rela ada kekerasan yang dilakukan pada Alex.
Tapi hari ini, Papanya menamparnya. Sakit. Tak hanya panas di pipi yang dirasakan Alex. Tapi sakit hingga ke hati karena tak pernah Papanya semarah ini sebelumnya.
Bella menatap terkejut, mulutnya yang semula lancar menghiba kini terdiam, terpaku dan keluh menciptakan atmosfer ketegangan dalam ruangan yang seharusnya sejuk.
"Papa tidak pernah mendidik Kamu menjadi pecundang Alex! Berani berbuat, maka harus berani bertanggung jawab! Papa harap tidak lagi mendengar kata-kata tidak bermoral seperti tadi. Istirahat! Dan Kamu, kembali ke ruanganmu, Saya pastikan Alex akan bertanggung jawab pada janin yang ada dalam perutmu."
Bima keluar ruangan, langkahnya berat. Kakinya yang biasa gesit melangkah seketika terasa berat. Memory Bima membawa pada kenangan puluhan tahun lalu manakala Ia yang kala itu masih kuliah dan merintis usahanya, dihadapkan satu fakta bahwa seorang Perempuan hamil.
"Bim, Aku hamil."
Bima muda kala itu mengernyit. Bukan terkejut namun lebih kepada heran, "Kok bisa Kakak Hamil?" Pertanyaan Bima memancing tangis raungan dan mengalirlah cerita mengapa semua bisa terjadi.
Kala itu, Bima muda bingung. Bagaimana Ia bisa memahami persoalan Kakaknya yang hamil dikuar nikah dan pria brengsek yang menghamilinya malah kabur ke Luar Negeri.
Sang Kakak pun tak mau memberi tahukan siapa dia dan kemana larinya Pria tak bertanggung jawab itu.
"Bim, Aku takut. Bagaimana Aku menghadapi orang, Aku malu Bim!" Tangisan yang mampu menyayat hati Bima.
"Kakak kenapa tak minta pertanggung jawaban Dia Kak! Kakak kenapa biarkan Dia lari dan tinggalkan Kakak dalam keadaan hamil begini."
"Aku gak tahu Bim. Semua awalnya baik-baik saja. Memang salahku, Aku terlalu percaya dan murahan! Tapi sungguh Bim, Ini anaknya!"
Bima muda kala itu buntu, tak tahu harus bagaimana.
"Bim,"
Bima membaca gelagat tak baik, wajah penuh air mata itu memohon dengan tatapan sendu dan berlinang air mata.
"Kak," seolah paham maksud Kakak Sepupunya.
"Tolong Kakak Bim,"
"Tidak Kak!"
"Bim, cuma diatas kertas saja."
"Tapi Kak, bagaimana Kakak bisa melibatkan Aku, Bagaimana kuliahku? Bagaimana Aku harus menghadapi Pakde dan Bude."
"Aku bingung Bim, Aku, Aku lebih baik bunuh diri saja! Aku gak sanggup Bim!"
Bima muda yang masih belum matang berpikir namun mengedepankan rasa Iba dengan terpaksa mengambil keputusan berat, "Kak,"
"Bim, tolong,"
Kembali kemasa sekarang, Bima sudah berada di kursi nya menatap lembaran dokumen yang menunggu persetujuannya. Suara ketukan dari Sang Asisten Raka dan Anita membuyarkan semua pengalaman pahit yang hingga kini masih Ia simpan sendiri.
"Permisi Pak, berkas yang ada dihadapan Bapak, apakah sudah ditanda tangani?" Raka dan Anita tentu tahu jawabannya karena memang sejak datang Bima hanya duduk terpaku menatap pada titik yang Mereka tahu bahwa pikiran Bima masih berada diluar sana.
"Sebentar," Bima mempersilahkan kedua anak buahnya duduk menunggunya memeriksa dan membubuhkan tanda tangannya kemudian memberikan kembali agar segera di follow up.
"Raka, Anita, tolong siapkan penghulu, urus pernikahan Alex dan Bella. Saya mau Mereka menikah."
Raka dan Anita adalah dua orang kepercayaan Bima. Mereka tentu sudah tahu apa yang sedang menjadi beban pikiran Sang Boss.
"Baik Pak, Saya dan Anita akan berbagi tugas unyuk mengurus semuanya. Pak Bima ingin segera?"
"Iya. Lebih cepat lebih baik."
"Baik Pak Saya dan Raka akan mengurus semuanya. Kami akan kabarkan kalau semuanya sudah beres. Kami permisi akan melanjutkan pekerjaan Kami dan mengurus permintaan Bapak."
"Terima kasih Anita, Raka. Silahkan."
Kembali sendirian dalam ruang kerjanya yang luas dan artistik dengan nuansa putih dan hitam, Bima bangkit dari kursinya, melangkah menuju kaca besar yang menghadap jalan protokol dan terlihat jelas suasana hiruk pikuk kota yang selalu sibuk tak pernah sepi.
"Kak, sekarang anakmu melakukan hal yang sama, apakah ini Karma?" Bima buru-buru menepis pikirannya yang mulai lelah.
Satu nama yang saat ini Ia butuhkan. Laras. Istrinya yang baru beberapa waktu Ia nikahi.
Ponsel yang tergeletak diatas meja kerja, disambar cepat jemari panjang Bima. Jemarinya begitu cekatan mencari kontak yang Ia beri nama "My Wife"
Senyum Bima terbit, manakala tak butuh waktu lama, suara renyah dan ceria Laras menyapa indera telinganya.
"Mas lagi mikirin Kamu,"
Ah, begini mungkin rasanya mulai Sayang. Bima menyukai debaran dihatinya. Bima senang, hatinya bisa merasakan bahagia hanya dengan mendengar suara Laras. Dan Bima akhirnya merasakan apa itu jatuh cinta.
"Kamu mau temani Mas makan siang? Gimana kalau Mas jemput?"
"Ya gapapa, nanti biar sopir kantor yang ambil mobil Kamu, oke?"
"Ah, senangnya! Oke, Mas otw ya?"
"Gak sibuk, eh sibuk deh! Sibuk mikirin Kamu!"
Duh, Duh, Om-Om bercandanya garing amat. Khas Bapack-Bapack sekali!
Sederhana tapi Bima bahagia. Cukup menghangatkan dan memberi kebahagiaan ditengah kusutnya hari Bima.
thor....???
lanjut ceritanya
di tunggu up nya
semangat...
tokoh utamanya karakternya tegas.
kebaikan bima dibalas dngn kehadiran laras yg msh fresh dan suci.
cinta bs dtng dngn sendirinya asalkan ketulusan sllu menyertainya.