Di balik gunung-gunung yang menjulang,ada dunia lain yang penuh impian. Dunia Kultivator yang mampu mengendalikan elemen dan memanjangkan usia. Shanmu, seorang pemuda desa miskin yang hidup sebatang kara, baru mengetahuinya dari sang Kepala Desa. Sebelum ia sempat menggali lebih dalam, bencana menerjang. Dusun Sunyi dihabisi oleh kekuatan mengerikan yang bukan berasal dari manusia biasa, menjadikan Shanmu satu-satunya yang selamat. Untuk mencari jawaban mengapa orang tuanya menghilang, mengapa desanya dimusnahkan, dan siapa pelaku di balik semua ini, ia harus memasuki dunia Kultivator yang sama sekali asing dan penuh bahaya. Seorang anak desa dengan hati yang hancur, melawan takdir di panggung yang jauh lebih besar dari dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketulusan Dibalas Kekerasan!
Setelah berlari sejauh dua kilometer, desa itu akhirnya terlihat jelas di hadapannya. Shanmu memperlambat langkahnya, napasnya yang memburu perlahan-lahan kembali teratur. Dadanya masih berdebar, namun kini lebih karena antisipasi dan harapan yang bergejolak. Seorang pria paruh baya dengan pakaian kerja sederhana dan membawa beberapa alat berburu melintas di depannya. Pria itu melemparkan senyum ramah, sebuah sapaan biasa antarwarga desa.
Jantung Shanmu bergetar hangat. Senyuman itu, begitu tulus dan tanpa beban, mengingatkannya pada Dusun Sunyi yang telah tiada. Dengan spontan, ia membalas senyuman itu dengan senyumannya sendiri, sebuah ekspresi keluguan dan ketulusan yang jarang terpancar dari wajahnya yang telah diukir oleh penderitaan. Namun, ketika pria itu terus berjalan dengan langkah cepat, seolah terburu-buru menuju hutan, Shanmu melihat ke belakang. Sebuah keinginan untuk bertanya tentang desa ini menggelayut di pikirannya, tetapi ia mengurungkannya.
"Sepertinya paman itu sedang terburu-buru pergi berburu."
Gumamnya pada diri sendiri, mencoba menenangkan rasa sungkannya. Ia memutuskan untuk melanjutkan langkah, memasuki permukiman desa.
Desa ini tampak lebih makmur daripada Dusun Sunyi. Rumah-rumahnya lebih kokoh, terbuat dari kayu dengan atap genting tanah liat. Suara ternak, obrolan para ibu, dan tawa anak-anak memenuhi udara, menciptakan simfoni kehidupan yang begitu akrab di telinganya. Ia menyaksikan seorang ibu muda dengan rambut terikat sederhana sedang berlari-larian kecil mengejar putri kecilnya yang tertawa riang.
Pemandangan itu menusuk hatinya dengan nostalgia yang pahit. Semuanya persis seperti desanya dahulu. Sebuah desa yang damai, penuh dengan kehidupan dan kehangatan sederhana. Kabut kesedihan tipis menyelimuti hatinya, mengenang semua yang telah hilang. Namun, harapan untuk memulai hidup baru berhasil mengusir kesedihan itu dengan cepat. Mungkin di sini, di antara orang-orang yang tampak ramah ini, ia bisa menemukan kedamaian.
Tiba-tiba, tiga bayangan menghalangi cahaya matahari di depannya. Tiga pemuda, mungkin berusia sedikit lebih tua darinya, berdiri dengan postur tubuh yang agresif. Mereka mengenakan pakaian berwarna hijau muda yang seragam, menandakan semacam kesatuan atau mungkin sekadar geng di desa ini. Wajah mereka dipenuhi senyum menyeringai yang tidak menyenangkan, dan tatapan mereka penuh dengan ancaman yang nyaris kasat mata.
Shanmu, dengan keluguannya, justru menyambut mereka dengan senyum tulus yang sama ia berikan pada pria paruh baya tadi. Baginya, setiap orang layak disapa dengan keramahan.
Salah satu dari mereka, seorang pemuda bertubuh kurus dengan mata sipit yang tajam, melangkah maju. Tangannya menggosok-gosok tinjunya seolah memanaskan diri. "Kau... dari mana asalmu?" suaranya kasar, bernada intimidasi. "Kenapa baru kali ini ada orang asing seperti kamu muncul di sini?"
Shanmu, tetap dengan senyum ramahnya, menjawab dengan jujur, "Saya Shanmu, dari desa yang sangat jauh di seberang gunung dan hutan. Saya sedang dalam perjalanan mencari tempat untuk tinggal, dan kebetulan melihat desa ini."
Ketiga pemuda itu saling memandang, lalu mata mereka kembali menelusuri tubuh Shanmu dari atas ke bawah. Mereka melihat pakaiannya yang lusuh dan compang-camping, tubuhnya yang perkasa namun penuh dengan bekas luka dan kotoran perjalanan. Seorang pemuda lain, yang bertubuh paling kekar di antara mereka, melangkah maju. Otot-otot di lengannya menegang.
"Bagus. Tubuhmu terlihat kuat," katanya, suaranya dalam dan berisi. "Tapi, ada satu masalah. Aku tidak pernah mendengar ada desa, bahkan sejauh ratusan kilometer dari sini. Hutan di barat adalah hutan terlarang, tidak mungkin ada desa di sana."
Shanmu tertegun. Ratusan kilometer? Ia tidak menyangka telah berjalan sejauh itu. Ia ingin menjelaskan, mungkin desanya terlalu kecil dan tersembunyi, mungkin mereka tidak mengetahuinya. Ia tersenyum dan mengangguk, bersiap untuk menjawab.
Namun, sebelum satu katapun keluar dari mulutnya, tinju pria kekar itu sudah melayang. Dihantam oleh kekuatan penuh, Shanmu terlempar ke belakang. Tubuhnya yang berat mendarat di tanah berdebu dengan suara gedebuk, mengirimkan rasa sakit tajam di pipinya. Hampir bersamaan, si pemuda kurus yang tadi juga menyerang, menendangnya di bagian punggung sebelum ia sempat bangun.
"Hah! Lihatlah orang asing yang tidak tahu diri ini!"
Teriak si pemuda kurus, dan kemudian ketiganya tertawa terbahak-bahak, suara mereka penuh dengan kepuasan melihat penderitaan orang lain.
Shanmu terbaring, bingung dan kesakitan. Telinganya mendenging, dan rasa panas membakar di pipinya. Pemimpin mereka, seorang pemuda dengan postur sedang namun dengan tatapan paling menusuk, melangkah mendekati Shanmu yang masih terbaring. Ia menunjuk Shanmu dengan jarinya, pandangannya penuh dengan merendahkan.
"Kau pikir kami bisa dibohongi dengan mudah?" hardiknya. "Dan anggaplah perkataanmu benar, desa ini tidak menerima orang asing untuk menumpang hidup. Kami tidak butuh sampah seperti mu."
Mendengar kata-kata itu, Shanmu berusaha bangkit. Rasa sakit di wajah dan punggungnya terasa menyiksa, tetapi yang lebih menyakitkan adalah kata-kata mereka. Dengan susah payah, ia berdiri, berdebu dan sedikit goyah. Darah segar mengalir dari bibirnya yang pecah. Dengan suara yang tetap berusaha sopan, ia membela dirinya.
"Kakak-kakak, saya tidak datang untuk menumpang. Saya bisa bekerja keras. Saya bisa bertani, berburu, dan memanggul batu dari gunung. Saya tidak akan menjadi beban."
Mendengar itu, ketiga pemuda itu kembali saling memandang, dan kemudian meledakkan tawa yang lebih keras dan lebih hina dari sebelumnya. Seolah-olah Shanmu telah mengatakan lelucon terbaik yang pernah mereka dengar.
Pemuda yang kekar kembali mendekat, kali ini dengan gerakan yang lebih santai namun tetap mengancam. Ia menepuk bahu Shanmu dengan keras, hampir membuatnya terjatuh kembali. "Orang seperti mu? Banyak sekali di desa ini! Petani, pemburu, kuli? Apakah kami terlihat membutuhkan pekerja rendahan seperti dirimu?"
Kali ini, tinjunya kembali menghujam, mendarat di perut Shanmu. Shanmu membungkuk, menahan rasa mual yang tiba-tiba muncul. Napasnya tercekat, dan matanya berkaca-kaca karena campuran rasa sakit fisik dan kebingungan yang mendalam.
Dengan sisa tenaga, Shanmu kembali berdiri tegak. Ia mengusap darah di bibirnya dengan lengan bajunya yang kotor. Di hatinya, ia tahu ini bukan tempat untuknya. Alih-alih marah atau membalas, sebuah senyum tulus yang lain, namun kali ini berwarna kepahitan, muncul di wajahnya. Ia sedikit membungkuk, sebuah sikap hormat terakhir.
"Kalau begitu, saya mengerti. Saya tidak akan berguna di desa ini. Saya permisi."
Dengan langkah yang berat namun pasti, ia berbalik dan mulai berjalan meninggalkan desa. Ia tidak lagi melihat ke kiri atau kanan. Pandangannya lurus ke depan, menuju jalan di ujung desa yang membentang ke arah timur, menuju ketidakpastian berikutnya.
Dari kejauhan, ketiga pemuda itu saling memandang dengan tatapan penuh arti, sebuah kode yang hanya mereka pahami. Sebuah niat jahat yang tersembunyi di balik kedok preman desa. Dengan isyarat singkat dari si pemimpin, mereka mulai berlari, menyusul Shanmu yang telah menjauh.
Sementara itu, Shanmu yang telah mencapai pinggir desa kembali, hanya bisa mengelus pipinya yang bengkak dan memar. Rasa sakit berdenyut-denyut di wajahnya. Di hatinya, ia merasa sedih dan terluka. Ketulusannya dibalas dengan kekerasan. Kejujurannya dianggap kebohongan.
"Aku bahkan tidak melakukan kesalahan apapun," gumamnya dengan polos, suaranya bergetar. "Mengapa harus dipukul?"
Kenangan akan kehidupan lamanya di Dusun Sunyi muncul. Ya, beberapa orang mungkin pernah memarahinya, mungkin pernah bersikap kasar karena kemiskinannya. Namun, tidak pernah, tidak sekali pun, mereka memukulinya seperti ini. Mereka masih memiliki hati nurani, masih memiliki belas kasihan pada anak yatim piatu yang malang. Mereka marah, tapi tidak kejam. Kekerasan yang baru saja ia alami terasa asing dan jauh lebih keji. Itu adalah kekerasan yang lahir dari kebencian tanpa alasan, dari kesombongan tanpa dasar.
Dan di tengah kepolosan dan rasa sedihnya, sebuah pelajaran pertama tentang kejamnya dunia luar mulai meresap ke dalam jiwanya. Dunia ini, ternyata, tidak selalu mencerminkan kebaikan Dusun Sunyi. Kadang, ia adalah cermin retak yang memantulkan kebuasan dan ketidakadilan.