NovelToon NovelToon
Mimpi Ini Terlalu Indah

Mimpi Ini Terlalu Indah

Status: sedang berlangsung
Genre:Duniahiburan / Romansa
Popularitas:87
Nilai: 5
Nama Author: Sabana01

Ia adalah Echo bernama Jae, idol pria berwajah mirip dengan jake Enhypen. Leni terlempar kedua itu dan mencari jalan untuk pulang. Namun jika ia pulang ia tak akan bertemu si Echo dingin yang telah berhasil membuat ia jatuh cinta

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Terus berbohong

Malam itu berakhir tanpa jawaban apa pun. Leni tidak memaksa, tetapi tatapan terakhir yang ia berikan pada Jae sebelum tidur—tatapan yang pelan, penuh tanya, dan sedikit takut—menempel di benak Jae seperti beban yang tak bisa ia lepaskan.

Ia menunggu Leni tertidur sepenuhnya sebelum beranjak dari ranjang. Jae duduk di tepi tempat tidur dan menundukkan kepala, menahan gelombang sakit yang menyapu tubuhnya. Rasanya seperti ada benang tak terlihat yang menarik pusat dirinya ke arah yang berlawanan. Ia meraba dadanya. Tidak ada luka, tapi denyutnya tidak stabil.

Ia memejamkan mata.

Ia tahu ini semakin parah.

Dan Leni sudah mulai curiga.

Besok paginya, Leni bangun lebih awal daripada biasanya. Jae baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah. Leni memandangnya lama, terlalu lama sampai Jae merasa tatapan itu seperti sorotan lampu panggung.

“Kau tidur jam berapa?” tanya Leni akhirnya.

“Tidak terlambat,” jawab Jae.

Leni tidak menanggapi. Ia hanya mengamatinya ketika Jae membuka lemari dan memilih baju. Tangannya sedikit bergetar. Sangat halus—tapi cukup jelas bagi seseorang yang memperhatikannya.

“Jae-ssi,” panggil Leni pelan. “Bisakah kau… menjelaskan sesuatu padaku?”

Jae menegakkan tubuh, berusaha tersenyum. “Tentu. Tanya apa saja.”

“Kau semakin sulit bangun.” Leni duduk di tempat tidur, menautkan jari-jarinya. “Kau sering menahan kepala, memejamkan mata terlalu lama, bahkan saat sarapan. Kau pikir aku tidak melihat?”

Jae membuka mulut, tapi tidak ada kata yang keluar.

“Aku tahu kau sibuk. Aku tahu jadwalmu padat,” lanjut Leni, suaranya mulai pecah, “tapi ini bukan hanya kelelahan kerja, Jae. Ada yang salah denganmu.”

Jae merasakan sakit lain—bukan yang fisik. Yang ini berasal dari cara Leni menatapnya: takut, sedih, dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

Ia ingin merentangkan tangan dan memeluknya. Ia ingin mengatakan semuanya. Ia ingin menyerah.

Tapi ia tidak bisa.

“Leni…” Jae menghela napas pelan. “Aku benar-benar baik-baik saja.”

“Jangan bohong,” bisik Leni.

Itu lebih menyakitkan daripada seribu tarikan Resonansi.

Hari-hari berikutnya, Leni menonton Jae seperti seorang ilmuwan yang takut hasil eksperimennya akan meledak kapan saja.

Jae tidak bisa menyembunyikan semuanya. Semakin ia menjaga jarak, semakin ia terasa dingin. Dan semakin ia dingin, semakin Leni merasa ada sesuatu yang salah.

“Kenapa kau tidak mau tidur di sebelahku lagi?” tanya Leni suatu malam, suaranya seperti kaca tipis.

“Aku takut membuatmu tidak nyaman,” dalih Jae.

“Sejak kapan kau peduli soal itu?” Leni tersenyum getir. “Kau dulu tidur menempel seperti stiker.”

Jae tidak bisa menatap matanya.

“Begini,” ujar Leni. “Kalau kau tidak mau cerita padaku, setidaknya jangan buat aku merasa kau sedang menjauh.”

“Aku tidak menjauh,” balas Jae cepat.

“Jae… kau bahkan tidak melihatku ketika aku berbicara.”

Jae kehilangan kata-kata. Setiap penyangkalan terasa seperti pisau yang menusuk dirinya sendiri. Tapi kebenaran jauh lebih berbahaya.

Ia mencoba tersenyum, meski matanya tampak buram sejenak. “Aku hanya—”

Rasa sakit itu datang lagi. Kuat. Seperti ada serat halus di dalam tubuhnya ditarik paksa. Jae terhuyung sedikit, menggenggam sisi sofa agar tidak jatuh.

Leni langsung berdiri. “Jae!”

“Aku tidak apa-apa,” desisnya, memaksa tubuh tetap tegak.

“Kau bohong lagi.”

Kali ini, suara Leni bukan marah. Bukan kecewa.

Hanya… patah.

Beberapa jam kemudian, Leni duduk sendirian di ruang tamu, lampu tidak dinyalakan. Hanya cahaya kota dari luar jendela yang menerangi wajahnya.

Jae keluar dari kamar setelah rasa sakitnya mereda. Ia melihat Leni di sana—duduk, memeluk lutut, seperti seseorang yang berusaha memahami sesuatu yang tak masuk akal.

“Aku sudah memikirkan sesuatu,” katanya tanpa menatap Jae.

Jae mendekat perlahan. “Apa?”

“Kita harus pergi ke rumah sakit.”

Jae membeku. “Tidak.”

“Kau punya tubuh sekarang. Kau bisa diperiksa.”

“Leni. Tidak.”

“Aku tidak bisa duduk diam dan melihatmu seperti ini!” Leni berdiri, suaranya bergetar. “Kau bilang kau stabil—tapi kau semakin lemah. Kau bilang kau bahagia—tapi kau menahan nyeri setiap hari. Kau bilang kau baik-baik saja, tapi tubuhmu tidak percaya!”

“Leni—”

“Aku kehilanganmu sekali.” Air mata mengalir. “Aku tidak mau kehilanganmu lagi. Tidak peduli atau tidak kau nyata. Kau… Jae. Kau orang yang kupilih.”

Jae menatapnya lama.

Dan itulah saat ia merasakan sesuatu pecah di dalam dirinya—sebuah ikatan tipis yang selama ini ia tarik agar Leni tidak terlalu dekat. Emosi Leni merambat ke tubuhnya, menyakitkan sekaligus menghangatkan.

Ia tahu jika ia terus membohongi Leni, ia yang akan hancur duluan. Dan jika ia mengatakan kebenaran… mungkin justru dunia di sekitar mereka yang akan hancur.

Tapi ketika ia melihat Leni menangis, ia menyadari bahwa pilihan itu bukan miliknya lagi.

Jae menelan ludah, mendekat perlahan, dan memegang wajah Leni dengan kedua tangannya.

“Aku tidak ingin membuatmu takut,” katanya pelan.

“Lalu jangan buat aku merasa sendirian,” balas Leni, matanya merah. “Katakan padaku apa yang kau sembunyikan.”

Hening memenuhi ruangan.

Jae menarik napas panjang—napas yang bergetar.

Dan untuk pertama kalinya, ia hampir, hampir, mengatakan kebenarannya.

Tapi ia menahannya, malah memeluk Leni kuat

...****************...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!