Seorang Food Vlogger modern yang cerewet dan gila pedas, Kirana, tiba-tiba terlempar ke era kerajaan kuno setelah menyentuh lesung batu di sebuah museum. Di sana, ia harus bertahan hidup dengan menjadi juru masak istana, memperkenalkan cita rasa modern, sambil menghindari hukuman mati dari Panglima Perang yang dingin, Raden Arya.
3. Lidah tak Bisa Bohong
Suasan di kamar pribadi Prabu Wirabumi terasa sunyi dan berbau obat-obatan herbal yang pahit. Sang Raja berbaring lemah di atas dipan kayu berlapis sutra kuning. Wajahnya pucat, matanya cekung.
Di sampingnya, duduk wanita cantik dengan sanggul tinggi dan kebaya merah marun yang mewah. Dyah Sekar Ayu, selir kesayangan Raja, sedang berusaha menyuapkan bubur putih encer ke mulut Baginda.
“Satu suap saja, Gusti Prabu.” Bujuk Dyah Ayu dengan suara yang mendayu-dayu. “Hamba sudah buatkan bubur ini dengan sarang burung walet terbaik.”
Prabu Wirabumi memalingkan wajah, menepis pelan tangan Dyah Ayu. “Pahit. Lidahku rasanya seperti makan tanah. Jauhkan itu.”
Dyah Ayu menahan geram, namun tetap memaksakan senyum manis. “Tapi Gusti harus makan…”
KRIET.
Pintu kamar terbuka.
Raden Arya melangkah masuk, diikuti aroma yang sangat tidak sopan untuk ruangan Raja yang steril. Aroma terasi dan bawang goreng yang begitu kuat langsung memenuhi ruangan, mengalahkan bau jamu pahit di sana.
Prabu Wirabumi yang tadinya memejamkan mata, tiba-tiba menggerakkan hidungnya. Matanya terbuka perlahan.
“Bau apa ini?” Tanya Raja, suaranya parau tapi terdengar tertarik.
Raden Arya berlutut, meletakkan nampan berisi Nasi Goreng Kampung itu di meja kecil tempat tidur.
“Ampun, Gusti Prabu.” Ucap Arya dengan nada datar. “Seorang…tawanan asing mengklaim bisa membuat makanan yang menggugah selera Gusti. Hamba membawanya sebagai bukti.”
Dyah Ayu melirik isi piring itu dengan tatapan jijik.
“Makanan apa ini?” Seru Dyah Ayu, menutup hidung mancungnya dengan selendang. “Warnanya cokelat kotor seperti tanah! Berminyak! Dan baunya…menjijikkan! Kau mau meracuni Gusti Prabu dengan makanan rakya jelata, Arya?”
Arya tidak menanggapi celotehan Dyah Ayu. Ia hanya menatap Raja. “Jika Gusti tidak berkenan, hamba akan membuangnya dan memenggal pembuatnya sekarang juga.”
Prabu Wirabumi berusah bangun untuk duduk. Matanya terpaku pada piring itu. Aneh. Bau ini mengingatkannya pada masa kecilnya, jauh sebelum ia menjadi Raja, saat ia masih sering menyelinap ke dapur desa untuk makan masakan sederhana.
“Bantu aku duduk.” Perintah Raja.
Dyah Ayu terbelalak. “Tapi Gusti…”
“Diam, Dyah.”
Dengan tangan gemetar, Prabu Wirabumi mengambil sendok kayu. Ia menyendok nasi berwarna kecokelatan itu. Uap panas masih mengepul.
Suapan pertama masuk ke mulut.
Ruangan itu hening. Raden Arya menahan napas, tangannya mencengkeram gagang pedang—siap lari keluar untuk menangkap Kirana jika Raja muntah.
Raja mengunyah pelan. Matanya membesar.
Rasa gurih yang meledak, tekstur nasi yang pera (tidak lembek seperti bubur), dan rasa pedas lada yang menghangatkan tenggorokan. Rasanya ‘kasar’ dan berani, bukan rasa ‘sopan’ dan hambar seperti makanan istana biasanya.
“Air” minta Raja.
Dyah Ayu tersenyum sinis, mengira Raja tersedak karena tidak enak. “Tuh kan! Pedas dan beracun! Arya, tangkap koki itu!”
Namun, Prabu Wirabumi menepis gelas air yang disodorkan. Ia malah menyendok suapan kedua. Lalu ketiga. Lalu keempat.
Gerakannya makin cepat. Raja makan dengan lahap! Keringat mulai muncul di dahinya yang pucat, membuat wajahnya terlihat lebih segar dan kemerahan.
“Enak…” gumam Raja di sela-sela kunyahannya. “Gurih…pedasnya pas…membuat perutku hangat. Perutku tidak perih!”
Dalam waktu kurang dari lima menit, piring itu licin tandas. Tidak tersisa sebutir nasi pun.
Raja bersendawa keras—sesuatu yang sangat tidak sopan, tapi terdengar melegakan.
“Arya.” Panggil Raja, napasnya terdengar puas.
“Hamba, Gusti.”
“Siapa yang memasak ini? Ki Gedeng tidak mungkin bisa membuat masakan yang ‘nakal’ seperti ini.”
“Seorang wanita asing bernama Kirana, Gusti. Dia…agak gila.” Lapor Arya jujur.
Prabu Wirabumi tertawa terbahak-bahak, tawa yang sudah berbulan-bulan tidak terdengar di istana.
“Masa depan, ya? Pantas rasanya aneh tapi nikmat. Bawa dia kesini besok pagi. Aku ingin sarapan buatannya lagi. Dan kau, Dyah…” Raja menoleh ke selirnya yang wajahnya kini merah padam karena cemburu dan malu. “Bawa buburmu keluar. Aku sudah kenyang.”
Arya menunduk hormat, menyembunyikan senyum tipis—sangat tipis—di sudut bibirnya.
“Sendika Dawuh, Gusti.”
Kembali di Dapur Istana.
Kirana mondar-mandir seperti setrikaan rusak. Kuku jempolnya sudah habis ia gigiti.
“Udah setengah jam, Laras! Setengah jam! Kirana histeris. “Kenapa belum ada kabar? Apa Raja mati keracunan? Apa Raja alergi terasi? Duh, harusnya gue tanya dulu riwayat medisnya!”
Laras yang duduk di pojok hanya bisa berdoa komat-kamit. Ki Gedeng pura-pura sibuk mencuci kuali, padahal telinganya dipasang tajam-tajam ke arah pintu.
Tiba-tiba, pintu dapur terbuka lebar.
Raden Arya masuk. Wajahnya gelap. Auranya mencekam. Di belakangnya, dua prajurit masuk dengan tombak terhunus.
Jantung Kirana berhenti berdetak.
“Kirana.” Panggil Arya, suaranya rendah dan berat.
“I-iya, Mas…eh, Gusti Panglima.” Cicit Kirana.
Arya berjalan mendekat, langkahnya pelan dan mengintimidasi. Ia berhenti tepat di depan Kirana, menatap gadis itu dari atas ke bawah.
“Piringnya kosong.” Kata Arya datar.
“Ha?” Kirana mengerjap. “Maksudnya…dibuang?”
“Di makan. Habis. Tanpa sisa..” lanjut Arya.
Lutut Kirana lemas seketika. Ia hampir jatuh kalau tidak memegang pinggiran meja. “Alhamdulillah…Thanks God…Ya ampun, gue masih idup!”
Kirana bersorak girang, reklefs ingin memeluk Laras, tapi ia sadar ada ‘kulkas dua pintu’ (Arya) di depannya.
“Jadi…saya bebas kan? Boleh pulang?” Tanya Kirana penuh harap.
Arya menyeringai tipis. Seringai yang membuat bulu kuduk Kirana meremang.
“Pulang? Tidak semudah itu, Nona Asing.”
Arya mengeluarkan sebuah gulungan lontar kecil dari balik sabuknya.
“Baginda Raja sangat menyukai masakanmu. Beliau memerintahkan kau diangkat menjadi “Juru Masak Pribadi Raja”
“Wuih! Promosi Jabatan!” Seru Kirana. “Gajinya uang kan, Mas?”
“Dengarkan dulu.” Potong Arya. “Karena kau orang asing yang mencurigakan, kau tidak boleh lepas dari pengawasan. Mulai hari ini, kau akan tinggal di paviliun belakang kediamanku.”
Mata Kirana melotot. “Hah? Tinggal sama situ? Serumah?”
“Satu komplek, bukan satu atap, Bodoh.” Koreksi Arya cepat, telinganya sedikit memerah. “Aku yang akan mengawasi gerak-gerikmu, setiap bumbu yang kau racik, dan setiap napas yang kau ambil. Jika Raja sakit perut sedikit saja…lehermu akan kupenggal.”
Arya berbalik badan, memberi isyarat pada prajurit.
“Bawa dia. Dan cuci dia dulu sampai bersih. Dia bau asap.”
Kirana melonggo melihat punggung tegap Arya yang menjauh.
“Laras…” bisik Kirana horor. “Gue selamat dari buaya, tapi kayaknya gue masuk kandang macan. Gue bakal diawasin 24 jam sama Panglima Bad Mood itu!”
Laras tersenyum polos. “Tapi Nyai Key…Panglima Arya itu idaman semua wanita di kerajaan loh. Nyai beruntung.!”
“Beruntung gundulmu.” Kirana menepuk jidat. “Ini namanya Simalakama. Tapi ya udahlah… The show must go on.”
Dari sudut dapur, Ki Gedeng Roso menatap kepergian Kirana dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada rasa lega, tapi juga ada rasa waspada.
“Hati-hati, Nak.” Gumam Ki Gedeng pelan. “Istana bukan cuma soal masak enak. Banyak lidah yang berbisa di sana.”
Kirana berjalan gontai di koridor istana yang panjang dan berbatu, diapit oleh dua prajurit. Didepannya, Raden Arya berjalan tegap tanpa menoleh sedikitpun.
“Mas Panglima, jalannya bisa pelan dikit nggak?” Protes Kirana sambil membetulkan letak sandal jerami (sandal jepit museumnya putus saat diseret tadi). “Kaki gue lecet nih. Nggak ada ojek apa? Atau kuda gitu?”
Arya berhenti mendadak, membuat Kirana nyaris menabrak punggung tegapnya yang keras seperti tembok.
“Berisik.” Desis Arya tanpa menoleh. “Seorang budak tidak berhak menuntut apa-apa.”
“Dih, budak palelu…” Kirana menggerutu pelan. “Tadi bilangnya juru masak pribadi. Plin-plan banget jadi cowok.”
Saat mereka hendak berbelok di tikungan taman sari, seorang pria muncul dari arah berlawanan. Penampilannya sangat kontras dengan Arya. Ia mengenakan jubah kain halus berwarna krem, rambutnya di gelung rapi, dan wajahnya bersih tanpa jambang. Di tangannya, ia memegang tumpukan daun lontar (naskah kuno).
Pria itu berjalan sambil membaca, nyaris menabrak rombongan Arya.
“Dipa” panggil Arya datar.
Pria muda itu—Pangeran Dipa—mendongak. Senyum ramah langsung merekah di wajahnya yang teduh.
“Ah, Kakang Arya.” Sapa Dipa lembut. Ia melirik ke belakang punggung Arya, dan matanya langsung membulat saat melihat Kirana. “Dan…inikah wanita asing yang sedang digosipkan satu istana?”
Kirana mengerjap. Wah, yang ini bening juga. Tipe-tipe cowok drakor yang soft boy, batinnya.
Dipa melangkah maju mendekati Kirana, mengabaikan tatapan tajam Arya. Ia mengamati Kirana dengan antusiasme seorang ilmuwan yang baru menemukan spesies langka.
“Luar biasa..”gumam Dipa. Ia menunjuk kaki Kirana. “Alas kakimu…bahannya aneh sekali. Kenyal tapi kuat. Ini kulit hewan apa? Badak?”
“Itu sneakers, Mas. Karet. Rubber.” Jawab Kirana refleks.
“Ra-ber?” Dipa mencoba mengeja, matanya berbinar. “Bahasa dari negeri mana itu? Dan celanamu…serat kainnya sangat rapat, berwarna biru seperti laut dalam. Pewarna alami apa yang kau gunakan? Nila?”
Kirana merasa tersanjung karena akhirnya ada yang tertarik pada style-nya alih-alih menghinanya gembel.
“Ini namanya denim, Mas Bro. Pewarna sintetis. Di masa depan…eh maksudnya, di negeri saya, ini kain rakyat jelata yang pengen kelihatan keren.”
“Denim…” Dipa mengeluarkan pena bulu dari balik sabuknya dan mulai mencatat di lontarnya dengan semangat. “Menarik. Sangat menarik. Nona, kau harus menceritakan lebih banyak tentang negerimu. Tentang Ra-ber, tentang Denim…”
“Dipa…” potong Arya tajam, melangkah maju menghalangi pandangan Dipa ke Kirana. Tubuh besarnya seolah menjadi tembok pemisah. “Dia bukan bahan penelitianmu. Dia juru masak Raja. Dan sekarang dia harus dibersihkan karena baunya seperti terasi busuk.”
Dipa terkekeh pelan, tidak terintimidasi oleh kakaknya yang galak.
“Ayolah, Kakang. Jangan kaku begitu. Ilmu pengetahuan bisa datang darimana saja bahkan dari dapur.” Dipa menatap lagi Kirana lewat bahu Arya, lalu mengedipkan sebelah matanya. “Nanti, kalau Kakang Arya sedang lengah, mainlah ke perpustakaan istana. Namaku Dipa. Aku punya koleksi teh bunga yang mungkin kau suka.”
Pipi Kirana sedikit memanas. “O-oke, Mas Dipa. Saya Kirana.”
“Jalan!” Bentar Arya tiba-tiba, memberi isyarat pada prajurit untuk segera menyeret Kirana pergi.
Saat diseret menjauh, Kirana sempat menoleh ke belakang. Pangeran Dipa masih berdiri di sana, melambaikan tangan sambil tersenyum manis.
Kirana menoleh ke depan lagi, menatap punggung Arya yang tampak semakin kaku dan tegang.
Cemburu ya, Pak? Batin Kirana geli. Baru juga ketemu lima menit, udah posesif amat.
Arya, berjalan di depan, mengepalkan tangannya. Entah kenapa, melihat Dipa tersenyum pada wanita aneh itu membuat hatinya dongkol. Bukan karena suka—tentu saja bukan, pikirnya—tapi karena wanita itu adalah ‘tahanan’-nya. Dan barang miliknya tidak boleh disentuh orang lain.