NovelToon NovelToon
Jadi Simpanan Ceo

Jadi Simpanan Ceo

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / CEO / Selingkuh / Nikah Kontrak
Popularitas:343
Nilai: 5
Nama Author: Celyzia Putri

Nadia mengira melarikan diri adalah jalan keluar setelah ia terbangun di hotel mewah, hamil, dan membawa benih dari Bramantyo Dirgantara—seorang CEO berkuasa yang sudah beristri. Ia menolak uang bayaran pria itu, tetapi ia tidak bisa menolak takdir yang tumbuh di rahimnya.
Saat kabar kehamilan itu bocor, Bramantyo tidak ragu. Ia menculik Nadia, mengurungnya di sebuah rumah terpencil di tengah hutan, mengubahnya menjadi simpanan yang terpenjara demi mengamankan ahli warisnya.
Ketika Bramantyo dihadapkan pada ancaman perceraian dan kehancuran reputasi, ia mengajukan keputusan dingin: ia akan menceraikan istrinya dan menikahi Nadia. Pernikahan ini bukanlah cinta, melainkan kontrak kejam yang mengangkat Nadia .

‼️warning‼️
jangan mengcopy saya cape mikir soalnya heheh

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Celyzia Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2

Nadia melangkah keluar dari kamar, pintu tebal itu tertutup di belakangnya dengan bunyi "klik" yang terasa final. Koridor hotel bintang lima itu hening dan berkarpet tebal, meredam setiap suara. Nadia harus berpura-pura berjalan normal, padahal setiap langkahnya terasa seperti seribu jarum menusuk bagian tubuhnya yang sakit.

Ia menuju lift, tubuhnya gemetar. Di pantulan pintu lift berlapis emas, ia melihat dirinya—wajah pucat dengan mata sedikit bengkak, sisa make-up semalam yang luntur, dan pakaian yang kusut. Ia tampak seperti bangkai kapal yang baru terdampar.

Saat lift turun, Nadia menyandarkan kepalanya ke dinding cermin, mencoba mengatur napas. Jantungnya masih berdegup kencang. Bukan karena ketakutan, tapi karena adrenalin kemarahan yang tertahan. Ia baru saja menolak uang tebusan dari seorang CEO. Tindakan bodoh, mungkin, tapi harga dirinya terasa jauh lebih mahal.

Keluar di lobi utama, suasana langsung berubah drastis. Lobi itu ramai dengan orang-orang berjas rapi, turis kaya, dan bau kopi mahal. Nadia merasa semua mata tertuju padanya, menghakiminya. Ia menundukkan kepala dan bergegas menuju pintu keluar.

Tiba-tiba, suara bernada tinggi memanggilnya.

"Nadia! Astaga, itu benar-benar kamu!"

Nadia menoleh kaget. Di sana, di sofa mewah lobi, duduk seorang wanita paruh baya dengan dandanan mencolok, mengenakan kacamata hitam besar meskipun berada di dalam ruangan. Itu adalah Tante Rita, teman ibunya yang super cerewet dan suka bergosip.

Nadia seketika panik. Tante Rita adalah juru kunci gosip se-kompleks perumahan mereka.

"T-Tante Rita," sapa Nadia gugup, mencoba menutupi tubuhnya yang lusuh dengan tas kecilnya.

"Ya ampun, kamu ngapain di sini, Nak? Hotel ini 'kan mahal banget," Tante Rita bangkit dan menghampiri Nadia, matanya yang tajam menelusuri penampilan Nadia dari ujung rambut hingga kaki. "Kamu kok... berantakan banget, Sayang? Semalaman di mana? Kamu tahu, ibumu itu—"

"Aku semalam... semalam ada acara kantor, Tante," potong Nadia cepat, berusaha terdengar meyakinkan. "Ada meeting dan aku ketiduran di tempat teman. Ini baru mau pulang. Aduh, aku buru-buru banget, Tan. Ada urusan mendadak. Sampai nanti ya!"

Tanpa menunggu jawaban Tante Rita, Nadia langsung berlari kecil keluar lobi, memanggil taksi pertama yang ia lihat. Ia bisa mendengar gumaman tidak puas Tante Rita dari belakang, diikuti suara decakan lidah yang meremehkan.

Di dalam taksi, Nadia akhirnya membiarkan punggungnya bersandar dan air mata yang ia tahan sejak di kamar hotel mengalir deras. Rasa sakit fisik dan mental bercampur menjadi satu.

"Ke Jalan Merpati, Pak," ucapnya kepada supir taksi, suaranya tercekat.

Saat taksi melaju, menjauh dari gedung pencakar langit mewah itu, Nadia merogoh tasnya. Ia menemukan ponselnya yang mati total. Ia menyalakannya dan mendapati puluhan panggilan tak terjawab dari ibunya.

Ia tahu, pulang ke rumah tidak akan menyelesaikan masalah. Ia harus menghadapi ibunya yang cemas, Tante Rita yang pasti sudah menyebarkan gosip tentang 'anak hilang' di hotel mewah, dan yang terpenting, ia harus menghadapi kenyataan pahit tentang malam yang baru saja mencuri sebagian dari dirinya.

Nadia menatap jalanan yang sibuk. Di balik gedung-gedung tinggi itu, wajah dingin dan mata tajam Bramantyo Dirgantara seolah masih membayangi.

Nadia turun dari taksi di Jalan Merpati, bukan di rumahnya sendiri, melainkan di depan kontrakan kecil milik Rina, teman kuliahnya. Kepalanya masih berputar, dan rasa sakit di tubuhnya belum mereda.

Ia memaksakan diri tersenyum saat Rina membuka pintu.

"Ya ampun, Nad! Dari mana aja? Ponsel mati semalaman! Ibu kamu panik banget, nelepon aku terus!" Rina langsung merangkul Nadia, menyadari betapa kusutnya penampilan temannya itu.

"Nanti aku cerita, Rin," ujar Nadia lemas. "Aku cuma butuh tempat sembunyi sebentar. Bolehkah aku istirahat di sini?"

Melihat mata Nadia yang berkaca-kaca, Rina tidak banyak bertanya. Ia menarik Nadia masuk.

"Tentu saja. Kamar belakang kosong. Kamu mandi air hangat, ya. Setelah itu, kita bicara."

Di kamar mandi, Nadia berdiri di bawah pancuran air panas yang mengalir deras, mencoba membasuh kotoran, rasa sakit, dan bayangan wajah Bramantyo yang dingin.

Ketika ia selesai, ia duduk di kasur Rina, mengenakan piyama pinjaman. Ia mengeluarkan kartu nama hitam itu. Tulisannya, Bramantyo Dirgantara, terasa seperti cap panas yang membakar kulitnya.

"Semalam... aku salah, Rin," Nadia akhirnya menceritakan semuanya, dari kelab malam, minuman aneh, hingga kejadian di kamar hotel, dan terutama, momen ketika pria itu pergi begitu saja setelah meninggalkannya tumpukan uang.

Rina mendengarkan dengan mata membulat. "Ya Tuhan, Nad... Bramantyo Dirgantara? CEO Dirgantara Group?" Rina terdengar ngeri. "Dia itu pengusaha paling kuat di kota ini! Bagaimana bisa kamu..."

"Aku tidak tahu! Aku mabuk, Rin! Aku ketipu!" Nadia menutup wajahnya dengan tangan. "Dan dia punya istri dan dua anak. Aku lihat di internet."

Rina mengusap punggung Nadia. "Oke, tenang. Sekarang apa rencanamu?"

Nadia menatap kartu nama itu lama sekali. Ia melihat sisa uang yang masih ia miliki, tidak seberapa. Jika ia kembali ke rumah, ibunya akan terus mengorek. Jika ia lapor polisi, siapa yang akan percaya? Dia yang terbangun di hotel mewah, bersama seorang konglomerat, tanpa ada bukti fisik pemaksaan yang jelas. Dunia akan melihatnya sebagai 'wanita murahan' yang gagal memeras.

"Aku harus menghilang," putus Nadia, suaranya pelan tapi tegas.

"Menghilang? Maksudmu?"

"Aku akan pergi dari kota ini, Rin. Ganti nomor ponsel, jangan posting apa-apa di media sosial. Bramantyo itu iblis, dia bisa menghancurkanku kalau aku berani macam-macam. Apalagi setelah aku tahu dia punya keluarga, dia pasti akan melakukan apa saja untuk menutupi ini."

Nadia meraih tas kecilnya dan mulai mengemasi barang-barang penting: kartu identitas, sedikit uang, dan beberapa pakaian.

"Aku akan pergi ke tempat bibiku di luar kota. Aku butuh waktu untuk berpikir dan sembuh. Bisakah kamu membantu merahasiakan ini dari Ibuku? Bilang saja aku pergi mendadak karena urusan pekerjaan di luar pulau. Tolong, Rin."

Rina mengangguk, matanya penuh kekhawatiran. "Baiklah, aku akan bantu. Tapi hati-hati, Nad. Jaga dirimu baik-baik."

🚌 Melarikan Diri

Sore itu, Nadia sudah berada di terminal bus. Ia mengenakan topi dan masker, menyamarkan diri di antara keramaian penumpang. Ia memegang erat tas ranselnya, yang berisi semua sisa kehidupannya yang lama.

Tepat sebelum menaiki bus antarkota, Nadia mengeluarkan kartu nama Bramantyo. Ia menatap nama itu untuk terakhir kalinya, menahan rasa sakit dan amarah yang mendidih.

"Kau pikir aku murahan? Kau pikir kau bisa lolos begitu saja karena aku takut?" bisiknya pada selembar kertas itu.

Alih-alih merobeknya, Nadia memasukkan kartu itu kembali ke dompetnya. Ia tahu, meskipun ia memilih melarikan diri, ia tidak akan pernah benar-benar melupakan apa yang terjadi. Kartu itu adalah pengingat. Pengingat bahwa dia telah dicuri, dan dia belum mendapatkan kembali harga dirinya.

Ia menaiki bus, mencari kursi di pojok belakang yang gelap. Bus mulai bergerak, meninggalkan hiruk pikuk kota metropolis yang menyimpan rahasia kelam itu. Semakin jauh bus itu melaju, semakin Nadia merasa jarak aman tercipta antara dirinya dan Bramantyo Dirgantara.

Ia memejamkan mata, berharap saat ia membuka mata lagi, ia akan menjadi Nadia yang berbeda—Nadia yang sudah aman dari jahatnya kenyataan dunia.

Huaaam ngantuk juga nulis cerita , demi pembaca yang setia aku pasti akan perjuangkan selamat membaca😀

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!