NovelToon NovelToon
Ayah Anakku, Ceo Amnesia

Ayah Anakku, Ceo Amnesia

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO Amnesia / Bertani / Romansa pedesaan
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: indah yuni rahayu

Lia, gadis desa Tanjung Sari, menemukan seorang pria pingsan di pematang sawah tanpa ingatan dan tanpa identitas. Ia menamainya Wijaya, dan memberi lelaki itu tempat pulang ketika dunia seolah menolaknya.

Tekanan desa memaksa mereka menikah. Dari pernikahan sederhana itu, tumbuh rasa yang tak pernah direncanakan—hingga Lia mengandung anak mereka.

Namun Wijaya bukan lelaki biasa.

Di kota, keluarga Kusuma masih mencari Krisna, pewaris perusahaan besar yang menghilang dalam kecelakaan misterius. Tanpa mereka sadari, pria yang dianggap telah mati kini hidup sebagai suami Lia—dan ayah dari anak yang belum lahir.

Saat ingatan perlahan mengancam kembali, Lia harus memilih: mempertahankan kebahagiaan yang ia bangun, atau merelakan suaminya kembali pada masa lalu yang bisa merenggut segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saat Rasa Aman Mulai Retak

Malam itu, desa terlalu sunyi.

Tidak ada suara jangkrik yang biasa bersahutan. Angin pun seperti menahan napas. Lia terbangun tanpa alasan jelas, jantungnya berdebar cepat, seolah ada sesuatu yang memanggilnya untuk sadar.

Ia duduk di tepi ranjang.

Wijaya masih tertidur, napasnya teratur, wajahnya tampak lelah. Lia memperhatikannya lama, lalu perlahan bangkit dan melangkah ke luar kamar.

Lampu dapur masih menyala redup. Ia hendak mematikannya ketika mendengar suara di luar.

Langkah kaki. Bukan langkah Pak Wiryo. Bukan pula langkah warga yang biasa lewat malam-malam. Lia membeku. Ia mendekat ke jendela dapur dan mengintip ke luar. Dalam cahaya lampu halaman yang temaram, terlihat bayangan seseorang berdiri tidak jauh dari pagar. Tubuhnya tegap, mengenakan jaket gelap, seolah sengaja menyatu dengan malam.

Lia menahan napas. Bayangan itu tidak bergerak. Hanya berdiri… mengamati rumah.

Di luar, Natan mematikan ponselnya. Ia tidak bermaksud menakuti siapa pun. Tapi rasa penasaran yang menumpuk sejak siang tadi mendorongnya kembali ke sini. Ada sesuatu yang tidak bisa ia abaikan—cara lelaki itu berdiri, cara ia menunduk saat berbicara, bahkan kebiasaan menyentuh pelipis kirinya.

Kebiasaan lama. Natan tahu itu.

Ia melangkah sedikit lebih dekat, berhenti tepat ketika cahaya lampu menyentuh wajahnya sebagian.

Dan saat itulah, tirai jendela dapur bergerak.

Sepasang mata menatapnya dari dalam.

Bukan mata lelaki yang ia cari.

Tapi mata perempuan. Tajam. Waspada. Natan refleks mundur satu langkah.

Dia terjaga, pikirnya. Dan itu cukup membuat dadanya berdegup lebih cepat.

Di dalam rumah, Lia mundur cepat. Tangannya gemetar. Ia berbalik dan berlari kecil ke kamar, menutup pintu pelan namun tergesa.

“Mas Wijaya,” bisiknya sambil mengguncang bahu lelaki itu. “Bangun.”

Wijaya terjaga, langsung duduk. “Kenapa?”

“Ada orang di luar.”

Wijaya berdiri seketika. Tanpa banyak tanya, ia mengambil jaket dan melangkah ke depan Lia, seolah tubuhnya otomatis bergerak melindungi.

Mereka keluar bersama. Namun halaman sudah kosong. Tidak ada siapa pun. Hanya angin dan bau tanah lembap.

“Di sana,” Lia menunjuk pagar. “Aku melihat seseorang.”

Wijaya menatap ke arah itu lama. Dadanya terasa aneh—seperti ada ingatan yang ingin muncul, tapi tertahan.

“Tidak ada,” katanya akhirnya.

Namun tangannya mengepal.

Dari kejauhan, di balik pohon randu, Natan mengamati mereka. Ia melihat lelaki itu berdiri di depan perempuan itu—posisi tubuhnya refleks, protektif, tanpa ragu. Itu bukan sikap orang asing. Natan menelan ludah.

Mas Krisna…

Nama itu hampir terucap, tapi ia menahannya. Belum. Ia berbalik pergi, langkahnya cepat namun terkontrol. Malam itu, ia yakin akan satu hal:

Orang yang ia cari…tidak hanya hidup—tapi sedang membangun hidup baru.

Keesokan paginya, desa gempar kecil.

Satu sepeda motor milik warga hilang dari halaman rumah. Tidak ada yang melihat, tidak ada yang mendengar.

“Pencurian jarang terjadi di sini,” gumam Pak RT.

Jono berdiri di kerumunan, matanya menyipit. Ia melirik ke arah Wijaya yang berdiri di samping Lia.

“Kemarin malam ada orang asing,” kata Lia tiba-tiba. “Aku melihatnya.”

Semua orang menoleh.

Jono langsung menatap Wijaya. “Orang asing lain?”

Nada suaranya terdengar bercanda, tapi sorot matanya tajam.

Wijaya mengangkat kepala. “Aku tidak kenal siapa pun.”

“Desa ini aman,” kata Jono. “Selama tidak terlalu banyak orang luar.”

Kalimat itu menggantung.

Menusuk tanpa menyebut nama.

Lia menatap Jono. “Maksudmu apa?”

Jono tersenyum tipis. “Tidak apa-apa.”

Namun sejak saat itu, pandangannya ke Wijaya berubah—bukan sekadar cemburu, tapi curiga.

Siang harinya, Wijaya membantu memperbaiki gudang kecil di dekat sawah.

Saat salah satu balok hampir roboh, beberapa warga panik. Sebelum siapa pun bereaksi, Wijaya bergerak cepat—menahan balok, memberi perintah singkat.

“Pegang sisi itu.”

“Jangan dorong.”

“Pelan.”

Suaranya tegas. Terbiasa.

Semua mengikuti.

Balok itu selamat. Gudang tidak roboh.

Beberapa warga saling pandang.

“Dia kelihatan terbiasa memimpin,” bisik seseorang.

Wijaya sendiri terdiam.

Kepalanya berdenyut hebat.

Sore menjelang, Lia menemui Wijaya di tepi sawah.

“Kamu kenapa?” tanyanya khawatir.

Wijaya memijat pelipisnya. “Aku tidak tahu kenapa aku bisa melakukan itu… seolah aku pernah.”

Lia menatapnya lama. “Itu tidak salah.”

“Tapi aku takut,” bisik Wijaya. “Takut kalau semua ini bukan milikku.”

Lia menggenggam tangannya. “Selama kamu memilih bertahan, kamu di sini.”

Namun jauh di luar desa, Natan duduk di mobil sewaan, menatap catatannya. Satu baris baru ia tambahkan:

Refleks kepemimpinan muncul. Ingatan mungkin tidak sepenuhnya hilang, Natan menutup buku itu.

.

Televisi di ruang tamu menyala sejak sore.

Bukan karena ada acara yang benar-benar ingin ditonton, tapi karena Pak Wiryo terbiasa menyalakannya sebagai teman sunyi. Suaranya kecil, nyaris tenggelam oleh bunyi sendok yang beradu dengan piring di dapur.

Lia sedang memotong sayur ketika suara dari layar terdengar sedikit berbeda—lebih pelan, lebih berat.

“Sudah hampir tiga bulan sejak putra kami dinyatakan hilang.”

Tangan Lia berhenti.

Ia tidak langsung menoleh. Hanya diam, mendengarkan.

Di layar, seorang perempuan paruh baya duduk tegak, matanya sembab meski riasannya rapi. Di sampingnya, seorang pria berwajah tegas tapi tampak letih menggenggam tangan perempuan itu erat-erat.

“Anak kami terakhir terlihat dalam perjalanan menuju kantor,” lanjut sang perempuan. “Kami hanya ingin tahu… apakah dia masih hidup.”

Pak Wiryo reflek mengecilkan volume. “Berita orang kota,” gumamnya. “Kasihan.”

Lia akhirnya menoleh.

Di pojok layar, muncul tulisan kecil:

ORANG HILANG — PENGUSAHA MUDA

Gambar berganti cepat. Foto seorang pria ditampilkan sekilas. Rambut rapi. Setelan jas. Tatapan dingin dan percaya diri.

Lia mengerjap.

Ada sesuatu yang mengganggu dadanya, tapi ia tidak tahu apa.

“Bu,” panggilnya pelan.

Surti keluar dari dapur, mengelap tangan di kain lap. “Kenapa?”

“Tidak apa-apa,” jawab Lia cepat, meski jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya.

Di kamar, Wijaya sedang duduk di tepi ranjang, memijat pelipisnya. Suara dari televisi masih terdengar samar, terputus-putus.

“Operasi pencarian masih dilakukan…”

“…keluarga berharap…”

Wijaya mengangkat kepala.

Kepalanya tiba-tiba berdenyut keras. Sebuah rasa tidak nyaman menjalar, seperti seseorang memanggil dari kejauhan, tapi suaranya teredam kabut.

Ia berdiri dan melangkah ke ruang tamu.

Tepat saat wajah di layar menghilang, digantikan iklan.

“Kamu kenapa?” tanya Lia, mencoba terdengar biasa.

Wijaya menggeleng. “Tidak tahu. Tiba-tiba pusing.”

Ia duduk, menunduk, telapak tangannya menekan dahi.

Lia memperhatikannya. Ada sesuatu yang berbeda. Bukan sakit biasa—lebih seperti tubuhnya mengingat sesuatu yang tidak bisa dijangkau pikirannya.

“Berita apa tadi?” tanya Wijaya tiba-tiba.

Lia ragu sepersekian detik. “Orang hilang.”

“Laki-laki?”

“Iya.”

Wijaya diam.

Di kepalanya, bayangan samar melintas—lampu mobil, suara rem mendecit, rasa sakit di kepala. Napasnya memburu.

Ia berdiri tiba-tiba. “Aku mau ke luar sebentar.”

“Sekarang?” Lia menahannya. “Sudah mau magrib.”

“Sebentar saja.”

Wijaya melangkah ke halaman. Angin sore menyambutnya. Sawah di depan rumah terlihat tenang, seolah tidak pernah menyimpan apa pun.

Namun dadanya terasa sesak.

Dari jauh, di salah satu rumah warga, televisi lain menyiarkan berita yang sama. Nama yang sama. Wajah yang sama.

Dan tanpa disadari siapa pun di desa itu, malam ini, masa lalu telah menemukan celah kecil untuk menyelinap masuk.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!