NovelToon NovelToon
Legenda Hua Mulan

Legenda Hua Mulan

Status: tamat
Genre:Mengubah sejarah / Romansa / Fantasi Wanita / Tamat
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: inda

Cerita ini tidak melibatkan sejarah manapun karena ini hanya cerita fiktif belaka.

Di sebuah kerajaan Tiongkok kuno yang megah namun diliputi tirani, hidup seorang gadis berusia enam belas tahun bernama Hua Mulan, putri dari Jenderal Besar Hua Ren, pangeran ketiga yang memilih pedang daripada mahkota. Mulan tumbuh dengan darah campuran bangsawan dan suku nomaden, membuatnya cerdas, kuat, sekaligus liar.

Saat sang kaisar pamannya sendiri menindas rakyat dan berusaha menghancurkan pengaruh ayahnya, Mulan tak lagi bisa diam. Ia memutuskan melawan kekuasaan kejam itu dengan membentuk pasukan rahasia peninggalan ayahnya. Bersama para sahabat barunya — Zhuge sang ahli strategi, Zhao sang pendekar pedang, Luan sang tabib, dan Ling sang pencuri licik — Mulan menyalakan api pemberontakan.

Namun takdir membawanya bertemu Kaisar Han Xin dari negeri tetangga, yang awalnya adalah musuhnya. Bersama, mereka melawan tirani dan menemukan cinta di tengah peperangan.
Dari seorang gadis terbuang menja

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3 — Bayangan yang Terbangun

Malam turun perlahan di atas ibu kota, seperti tinta hitam yang menetes dari langit. Angin membawa suara gong dari menara penjaga; setiap dentang menjadi pengingat bahwa hari sudah berganti, tapi hati Mulan belum juga tenang.

Ia duduk di serambi kamarnya, masih mengenakan jubah abu-abu yang tadi ia pakai menyamar di pasar. Di tangannya, pedang kayu kecil bukan pedang latihan, melainkan milik ibunya yang sudah patah di bagian ujung.

“Kalau Ibu masih hidup,” bisiknya, “pasti Ibu tidak akan diam melihat rakyat menderita seperti ini.”

Dari balik pintu, suara langkah kaki terdengar mendekat. Zhuge Wei muncul, membawa lentera. Wajahnya tampak serius.

“Kau membuat kekacauan di pasar hari ini,” katanya tanpa basa-basi. “Tiga prajurit istana terbaring pingsan, dan semua orang membicarakannya. Kau tahu apa artinya itu?”

Mulan berdiri, matanya tajam. “Artinya, ada yang akhirnya berani melawan mereka.”

“Itu juga artinya ada mata-mata istana yang sedang mencari siapa dalangnya,” balas Zhuge cepat. “Dan jika mereka tahu yang melakukannya adalah putri Jenderal Hua, maka—”

“Mereka akan datang,” potong Mulan pelan, “dan itulah yang kuinginkan.”

Zhuge terdiam. Ia tahu gadis itu keras kepala, tapi kali ini nada suaranya berbeda — bukan sekadar keberanian remaja, melainkan tekad yang terbentuk dari luka.

“Kalau begitu,” katanya akhirnya, “aku tidak bisa melarangmu. Tapi setidaknya, biarkan aku merencanakan sesuatu agar tindakanmu tidak sia-sia.”

Mulan menatapnya, lalu mengangguk. “Kau punya rencana?”

“Tidak sekarang,” Zhuge menatap langit malam, “tapi aku punya firasat. Kau tidak sendirian, Mulan. Ada banyak yang sudah menunggu pemimpin baru.”

Beberapa hari kemudian, istana pusat bergemuruh oleh kabar kekacauan di pasar. Di ruang singgasana yang megah, Kaisar Tiran — pamannya Mulan — duduk di atas takhta naga emas. Di sisi kirinya, seorang pejabat kurus menunduk dalam-dalam, gemetar.

“Kau bilang,” suara sang kaisar berat dan dingin, “ada seorang pemuda yang menumbangkan tiga prajuritku hanya dengan tangan kosong?”

“B-betul, Yang Mulia,” jawab pejabat itu terbata. “Tapi tak ada yang tahu siapa dia. Rakyat hanya menyebutnya... Bayangan Naga.”

“Bayangan Naga…” Kaisar mengulang perlahan, lalu tertawa pelan. “Nama yang bagus untuk orang yang berani menantangku.”

Tawa itu berubah menjadi lirih, dingin seperti suara ular. Ia menatap salah satu jenderalnya.

“Utus pasukan pengintai ke seluruh kota. Siapa pun yang terlihat mencurigakan, tangkap. Dan…” matanya berkilat tajam “datangkan Jenderal Hua ke istana. Aku ingin mendengar pendapatnya.”

Sementara itu, di kediaman Hua, Jenderal Hua sedang memeriksa pedang-pedang pasukan pribadinya ketika seorang pengawal datang tergesa.

“Tuanku! Ada surat perintah dari istana. Kaisar memanggil Anda segera!”

Tatapan Jenderal Hua berubah dingin. “Aku sudah menduga ini akan terjadi.”

Ia memalingkan wajah ke arah Mulan yang baru saja turun dari tangga. “Kau dengar?”

Mulan mengangguk pelan. “Kaisar mulai curiga.”

“Aku akan pergi ke istana. Tapi kau, tetap di sini. Jangan keluar.”

Mulan ingin membantah, tapi kali ini ia menahan diri. Wajah ayahnya tegas, bukan dalam marah, tapi dalam khawatir.

“Baik, Ayah.”

Sebelum berangkat, Jenderal Hua menatap putrinya lama. “Jika sesuatu terjadi padaku, pergilah ke markas bayangan. Temui orang yang membawa tanda naga hitam. Dia akan tahu siapa kau.”

“Tidak akan terjadi apa pun padamu,” balas Mulan dengan suara bergetar. “Aku tak akan biarkan.”

Jenderal Hua tersenyum samar, tapi di matanya ada kesedihan yang dalam. “Dunia ini tak seindah harapan, Mulan. Terkadang, yang benar harus bersiap melawan seluruh dunia.”

Ia berbalik, menaiki kudanya, dan pergi ke istana.

Sore itu, langit di atas istana seperti terbakar. Matahari tenggelam di balik dinding batu raksasa, menyembunyikan rahasia di balik bayangannya.

Jenderal Hua melangkah masuk ke aula utama. Kaisar menatapnya dari atas takhta.

“Saudaraku yang mulia,” katanya dengan senyum dingin. “Kau tentu sudah mendengar keributan di pasar.”

“Aku mendengar,” jawab Hua datar. “Dan aku juga mendengar tiga prajurit istana mempermalukan diri mereka sendiri di depan rakyat.”

“Tapi kau tidak tahu siapa pelakunya?”

“Tidak,” jawab Hua tanpa berkedip.

Kaisar menatap tajam, mencoba membaca wajahnya. Tapi Jenderal Hua adalah batu — tidak ada celah.

“Baiklah,” ujar sang kaisar pelan. “Kalau begitu, bantu aku menemukan siapa pun yang berani memakai simbol naga untuk membuat kerusuhan. Aku tak ingin rakyat menganggap naga selain milikku.”

Jenderal Hua menunduk. “Seperti perintah Anda, Yang Mulia.”

Kaisar tersenyum puas, tapi di balik tirai, mata-mata kerajaan sudah mencatat setiap kata dan gerak tubuh sang jenderal.

Di malam yang sama, Mulan duduk gelisah di ruang rahasia di bawah tanah. Zhuge menyalakan lentera di sudut ruangan, menatap peta di atas meja.

“Pasukan istana sudah bergerak,” katanya perlahan. “Mereka menyisir rumah-rumah di pinggiran kota. Kalau terus begini, cepat atau lambat mereka akan menemukan sesuatu.”

Mulan mengepalkan tangan. “Kalau begitu kita harus bertindak duluan.”

Zhuge menatapnya heran. “Bertindak bagaimana?”

“Kita ambil alih informasi mereka. Kita punya orang di pasar, punya pedagang yang masih setia pada keluarga Hua. Kita bentuk jaringan kecil — mata dan telinga di seluruh kota.”

“Jadi kau ingin membangun pasukan bayanganmu sendiri.”

“Tidak,” Mulan menatapnya, matanya berkilau di bawah cahaya lentera. “Aku hanya ingin menyalakan api pertama.”

Zhuge memandangnya lama, lalu tersenyum samar. “Baik. Maka aku akan jadi anginnya.”

Tiga malam kemudian, Mulan dan Zhuge menyelinap keluar dari kediaman Hua. Mereka mengenakan pakaian gelap, menyusuri jalan-jalan sempit di pinggiran ibu kota. Di balik gudang tua, beberapa sosok sudah menunggu — orang-orang yang dulu prajurit bawah tanah milik mendiang ibu Mulan.

Yang paling depan, seorang pria berambut putih setengah panjang berlutut ketika melihat cincin naga di tangan Mulan.

“Putri Hua... akhirnya, darah naga kembali.”

Mulan menatap mereka satu per satu — sekitar dua puluh orang, semuanya membawa tanda kecil berbentuk naga di pergelangan tangan.

“Bangkitlah,” katanya tegas. “Aku belum pantas disebut pemimpin. Tapi aku akan memimpin jika kalian siap melindungi rakyat.”

Pria itu menunduk. “Kami menunggu perintahmu, Nona.”

Zhuge maju ke depan dan menggelar peta. “Kita mulai dari sini — gudang logistik milik istana di selatan. Tempat itu menyimpan hasil panen yang dirampas dari desa. Jika kita berhasil merebutnya dan membagikan kembali pada rakyat, Kaisar akan kehilangan kepercayaan rakyat.”

Mulan mengangguk. “Kita tidak butuh kekerasan berlebihan. Kita bertindak cepat, tak meninggalkan jejak.”

“Bayangan yang berlari di balik malam,” gumam salah satu anggota.

“Ya,” jawab Mulan. “Mulai malam ini, pasukan bayangan kembali hidup.”

Operasi pertama berlangsung sunyi. Di bawah cahaya bulan, dua puluh bayangan melesat di antara atap-atap kota.

Mulan memimpin dari depan, gerakannya secepat angin. Saat mereka tiba di gudang selatan, para penjaga sudah tertidur karena arak yang dicampur bubuk penenang — hasil ramuan dari Luan, penyembuh muda yang diam-diam membantu mereka.

Mulan memerintahkan anak buahnya membuka gerbang belakang. Mereka memindahkan karung-karung gandum ke gerobak, menandainya dengan simbol naga kecil di sisi samping tanda bagi rakyat bahwa bantuan itu berasal dari pasukan Hua.

Ketika fajar mulai menyingsing, semua barang rampasan istana sudah tersebar ke desa-desa terdekat.

Dan di pagi itu, seluruh ibu kota gempar.

“Gandum muncul di depan pintu kami!” kata seorang petani takjub.

“Di karungnya ada tanda naga! Apakah ini pertanda dewa?”

Mulan mendengarnya dari kejauhan, berdiri di atas bukit kecil bersama Zhuge. Ia menatap matahari yang terbit dengan perasaan campur aduk.

“Ini baru awal,” katanya pelan. “Tapi setiap awal selalu membawa konsekuensi.”

Zhuge mengangguk. “Dan Kaisar tidak akan diam.”

---

Benar saja. Di istana, amarah Kaisar meluap. Ia melemparkan piala emas ke lantai hingga pecah.

“Gandumku dicuri! Dan kalian membiarkan pencuri itu menyebarkan simbol naga di seluruh kota?!”

Seorang pejabat berlutut, gemetar. “Ampun, Yang Mulia! Kami kami sedang menyelidiki—”

“Cukup!” teriak Kaisar. Ia mengeraskan suaranya. “Panggil Panglima Zuyan dari perbatasan. Aku ingin seluruh kota dijaga. Siapa pun yang terlihat membawa tanda naga, tangkap hidup atau mati!”

Sementara itu, di kediaman Hua, Jenderal Hua baru saja kembali dari istana. Wajahnya muram. Ia menemukan Mulan di ruang pelatihan, sedang mengasah pedangnya.

“Jadi ini ulahmu?” tanyanya pelan.

Mulan berhenti. “Aku tidak bisa diam, Ayah. Rakyat kelaparan.”

“Dan kau pikir dengan mencuri dari istana akan menyelamatkan mereka?” suara sang jenderal meninggi. “Itu hanya akan mempercepat kehancuranmu!”

Mulan menggenggam pedangnya kuat-kuat. “Kalau aku hancur untuk menyelamatkan mereka, maka biarlah begitu.”

Untuk sesaat, Jenderal Hua tak bisa berkata apa pun. Ia melihat api di mata putrinya — api yang dulu sama seperti yang menyala di mata mendiang istrinya.

Akhirnya ia menarik napas panjang. “Kalau begitu, aku tak akan menghalangi. Tapi berjanjilah satu hal padaku.”

“Apa itu?”

“Jangan biarkan kebencian memimpinmu. Karena begitu itu terjadi, kau tak lagi jadi naga, tapi jadi monster.”

Mulan menatap ayahnya lama, lalu berlutut. “Aku janji.”

Sang jenderal menatap putrinya dengan bangga dan sedih sekaligus. “Pergilah. Lanjutkan apa yang kau mulai. Dan ingat pasukan bayangan tidak hanya bersembunyi di kegelapan, tapi juga membawa cahaya.”

Malam berikutnya, Mulan memimpin misi kedua. Kali ini lebih berisiko: membebaskan tawanan politik yang ditahan karena menolak membayar pajak.

Di antara tawanan itu, ada seorang pendekar pedang bernama Zhao Ren, yang nantinya menjadi tangan kanannya.

Saat Mulan membuka sel penjara, Zhao menatapnya dengan mata dingin. “Siapa kau?”

“Mereka menyebutku Bayangan Naga,” jawab Mulan. “Tapi aku hanya orang yang percaya keadilan masih bisa diperjuangkan.”

Zhao tersenyum tipis. “Kalau begitu, aku berhutang satu pedang padamu.”

Dan malam itu, dua puluh bayangan kembali menghilang ke dalam gelap, meninggalkan tanda naga yang berkilau di dinding penjara.

Di kejauhan, dari menara tinggi istana, mata-mata kerajaan melaporkan semua yang terjadi pada sosok berjubah hitam bukan kaisar, melainkan seseorang yang lebih berbahaya.

“Jadi... gadis itu sudah mulai bergerak,” kata pria itu dingin. “Waktu yang ditunggu akhirnya tiba.”

Ia menatap cincin hitam di jarinya, identik dengan milik Mulan namun dengan simbol naga terbalik.

“Bayangan naga... mari kita lihat seberapa terang kau bisa bersinar sebelum aku memadamkanmu.”

Dan dari kejauhan, lonceng istana berdentang tiga kali tanda dimulainya perburuan besar di seluruh negeri.

Mulan tidak tahu, tapi langkah pertamanya telah membangunkan musuh-musuh yang selama ini bersembunyi di kegelapan jauh lebih dalam dari yang ia bayangkan.

Namun di dadanya, keyakinan itu tetap menyala:

“Selama aku bernafas, rakyat tidak akan tunduk pada tirani.”

Dan demikianlah, malam itu menjadi awal dari kebangkitan, kebangkitan Pasukan Bayangan Naga.

Bersambung

1
Ilfa Yarni
huhuhuhu aku nangis lo bacanya cinta mereka abadi sampe seribu tahun
Ilfa Yarni
wah ternyata han Xin hidup lg mereka skrudah bersama lg trus han Xian jg ada ya
Wulan Sari
ceritanya sangat menarik trimakasih Thor semangat 💪👍 salam sukses selalu ya ❤️🙂🙏
Cindy
lanjut kak
Ilfa Yarni
yah han Xin ga hidup lg kyk mulan
Ilfa Yarni
apakah mereka akan ketemu lg kok aku deg degan ya
Cindy
lanjut kak
Ilfa Yarni
trus apakah han Xin msh ada jadian dong mulan sendiri hidup didunia
inda Permatasari: tentu saja masih karena Han Xin juga bukan manusia biasa tapi tidak seperti Hua Mulan yang spesial
total 1 replies
Cindy
lanjut kak
Ilfa Yarni
aaaa sedih mulan pergi apakah mulan bisa kembali
Ilfa Yarni
ceritanya seru walupun aku kurang memgerti
Cindy
lanjut
Cindy
lanjut kak
Ilfa Yarni
aku ga ngerti tentang naga yg aku ngerti cinta mereka ditengah peperangan hehe
Wahyuningsih 🇮🇩🇵🇸
si mulan ini manusia apa naga sih thor? sy kurang paham dg istilah keturunan naga🤔🤔
Ilfa Yarni
berarti han naga jg ya
Ilfa Yarni
apakah mereka mati bersama asuh penasaran banget
Ilfa Yarni
ceritanya menegangkan
Ilfa Yarni
ternyata pamannya msh hidup kurang ajar skali tp aku salut sama mulan dia hebat dan berani
Ilfa Yarni
seru thor lamjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!